Oleh: Azmi Abubakar, Lc, MH
Bagi penulis Ada dua tokoh sejarah keacehan yang sangat menginpirasi, pertama sosok Prof. Teuku Iskandar, kedua Prof.Ibrahim Alfian. Keduanya sama-sama menetap di luar sehingga Aceh yang menjadi objek kajiannya bisa ditatap secara lebih bebas. Leiden menjadi tempat Iskandar mencurahkan ilmu sejarahnya, sementara Yogya adalah rumah ilmu bagi Ibrahim Alfian.
Ibrahim Alfian adalah pengajar sejarah di Universitas Gajah Mada. Beliau tamat Sekolah Rendah dan Sekolah Menengah Darurat di Langsa Aceh Timur, Sekolah Teknik Minyak di Pangkalan Brandan, dan lulus Sekolah Menengah Atas Negeri I di Medan, dan masuk jurusan Sejarah Fakultas Sastra, Pedagogik,dan Filsafat, UGM. Setelah lulus Baccalaureat Ilmu Sejarah, Ibrahim Alfian meneruskan studinya ke University of Kansas, Lawrence, Kansas, USA dan lulus M.A dalam Sejarah Eropa dengan tesis berjudul ´The Potsdam Agreement andthe First Postwar Election in Germanyµ pada tahun 1961. Doktoral Sejarah Indonesia diselesaikannya pada tahun 1964 di UGM, kemudian menjadi mahasiswa di Rijksuniversiteit Leiden, Belanda (1966-1968) dan mengadakan penelitian dengan topik ´De rol van de schriftgeleerden in deAtjeh Oorlog, 1873-1812. Lulus doktor pada tahun 1981 di UGM dengan disertasi doktor berjudul ´Perang di Jalan Allah: Aceh 1873-1912.
Buku Perang di Jalan Allah tersebut menjelaskan bagaimana narasi sejarah dibangun oleh para ulama, ulama memegang peran penting dalam perang Aceh Belanda, dan menjadi sember kekuatan utama dengan genderang hikayat Prang Sabil. Dalam buku ini Ibrahim Alfian menulis pengantarnya:
Di bawah pimpinan ulama, perang bukanlah sekedar menyabung nyawa dalam membela negeri, tetapi juga sebagai tindakan yang secara spiritual bermakna. Maka perangpun disakralkan, dipersuci. Kalau telah begini, mati tidaklah berarti berakhirnya kehidupan tetapi bermulanya kehidupan yang semurninya dan seabadinya yang menjanjikan kebahagiaan yang tanpa henti. Sebab mati dalam perang melawan kafir adalah syahid “di jalan Allah”. Di bawah pimpinan para ulama ideologisasi perang dilakukan. Dalam proses ideologisasi perang, yang dirintis di saat yang keras dan ketika ke- pastian hidup dunia merupakan suatu ilusi, tradisi baru dari mak- na ke-Aceh-an dibina pula. Karena itulah dalam perang ini, ketika barisan Muslimin makin dilanda kekalahan, akibat kekurangan ma- terial dan senjata telah semakin menghebat, unsur nativistik me nunjukkan dirinya pula. (Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987, h. 10).
Dalam literatur Sejarah Aceh,Ibrahim Alfian menyebutkan bahwa perang Aceh sebagai jihad fi sabillah tidak dimulai dengan Belanda saja, jauh sebelumnya Aceh telah menghadapi Portugis dan berhasil memukul mundur Portugis dari tanah Aceh. Dalam bukunya Ibrahim Alfian menulis:
Ideologi perang sabil sudah lama tertanam dalam masyarakat Aceh. Syaikh Ibrahim Lam Bhuek bin Syaikh Marhaban, yang menjadi pejabat uleebalang Mesjid Raya, menyatakan, bahwa pikiran berperang sabil melawan kafir ini sudah ada sejak Portugis menyerang Aceh, 12 Hikayat Malem Dagang, yang ditulis pada abad XVII M. yang mengisahkan masa perlawanan Aceh terhadap Portugis, menyebut tentang perang sabil sebagai berikut:
Peue katakot prang Yahudi
Nibak Nabi asay mula
Peue katakot prang sabi
Teuntee (tuan Teu) Ali neuboh panglima
Bak si’uroe raja muprang
Malem Dagang neuboh panglima. ((Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1987, h. 109).
Sementara Teuku Iskandar adalah Ia merupakan salah satu tokoh yang terlibat dalam pendirian Universitas Syiah Kuala di Aceh pada tahun 1961. Selama 13 tahun ia mengajar di beberapa universitas di Malaysia (termasuk Universitas Malaya), serta bekerja di Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia untuk membantu menerbitkan Kamus Dewan. Ia kemudian bekerja di Universitas Brunei Darussalam dan mendapatkan gelar Profesor. Setelah kembali ke Belanda, ia menjadi profesor dalam bidang sastra bahasa Aceh dan Melayu di Universitas Leiden.
Teuku Iskandar menempat dirinya sebagaimana istilah Reza Idria sebagai sebuah negara merdeka, beliaulah sebenarnya negara itu, beliau memposisikan diri sebagai sejarawan sejati. Teuku Iskandar mempunyai karya yang sangat terkenal, yaitu kamus Aceh-Belanda. Pada tahun 1950 ia lulus dari Universitas Leiden, kemudian pada tahun 1955, ia meraih gelar kedoktorannya tentang Hikayat Aceh yang kemudian diterbitkan dalam bentuk monograf.
Melalui Teuku Iskandar, kita akan banyak menjumpai celah sejarah yang baru, bahwa kitab-kitab beliau akan menjadi rujukan yang amat menantang untuk kembali diteliti oleh para sejarawan berikutnya. Dalam karyanya de hikayat Aceh beliau menulis dalam Bahasa Belanda:
Enkele historische beschouwingen
Ons handschrift begint met een verhaal van Radja Indera Sjah, die zich aan het Chinese hof bevond met zijn echtgenote. De Chinese keizer bood Indera Sjah de erfenis van radja Iskandar aan. Het verhaal eindigt abrupt; door het uitvallen van vier bladen tussen pp 1 en 2, zoals men in de beschrijving van het handschrift zal zien, ontbreekt ons het verband met het volgende verhaal van radja Sjah Muhammad en radja Sjah Mahmud van Lamri.( Dr. Teuku Iskandar, De Hikajat Atjeh, ·S·GRAVENHAGE – MARTINUS NIJHOFF – 1958, h. 24).
Artinya: Beberapa Pengamatan Sejarah
Naskah kami dimulai dengan kisah Radja Indera Shah, yang berada di istana Tiongkok bersama istrinya. Kaisar Tiongkok menawarkan Indera Shah warisan Raja Iskandar. Ceritanya berakhir tiba-tiba; Karena hilangnya empat lembar halaman antara halaman 1 dan 2, seperti yang terlihat pada deskripsi naskah, kami kehilangan kaitan dengan kisah Raja Shah Muhammad dan Raja Shah Mahmud dari Lamri.
Potongan tulisan tersebut menujukkan penelitian Teuku Iskandar terhadap kerajaan Lamuri di Aceh sebelum berkembangnya Kesultanan Aceh Darussalam.
Kini keduanya telah tiada, mereka telah telah mewariskan semangat dan karya besar agar digunakan sebagai acuan dalam penelitian sejarah kedepan. Dari keduanya kta belajar tentang semangat produktifitas berkarya, komitmen dan fokus terhadap apa yang kita kerjakan.