Oleh: M. Hanafiah, S.Pd (Guru MA DJA)
Berlahan kuberanikan diri mengangkat tangan menyapu jidatku yang mulai basah. Bulir keringat terus beranak sungai memenuhi sekujur tubuh. Ruang petak 6 x 4 ini terasa begitu sempit dan panas. Dinding warna putih bersih ditambah dengan suhu AC 16oC seakan tidak memberi pengaruh apa apa. Meski sudah sering dipanggil, namun berhadapan dengannya selalu membuat bulu kudukku merinding. Entah magic apa yang dimiliki. Berdiri mematung sambil menatap tajam dikejauhan mampu membuat seisi sekolah manggut dan bergegas. Konon lagi yang persis berada dihadapannya. Perasaan takut dan menyesal datang silih berganti menekan dada hingga rasanya begitu sesak.
“Kapan orang tuamu punya waktu jumpa Ustaz ?”
Kalimat itu bagai gelegar petir ditengah hiruk pikuk hujan dan badai. Jantungku bagai aritmia berdetak sangat kencang, sedang tubuhku terasa dingin menggigil. Otakku berputar random dan cepat. Rasanya begitu berat walau hanya untuk di dongakkan. Tengkuk tak mampu menopang, perlahan lunglai. Dua mata memelas di lantai keramik yang seakan berwarna warni. Kadang terlihat putih, tiba-tiba seperti kuning lalu menjadi semburat jingga.
“Ustaz mau berbicara dengan orang tuamu. Minggu pukul sepuluh disini ?”
Aku masih mencoba memastikan yang terdengar. Ini bukan permohonan tetapi perintah, ini nyata. Tidak mungkin aku berdalih. Semua akal bulus yang kupunya terkuras nyaris tak tersisa.
Andai ibu yang harus mendengar semua khilafku, aku yakin dia tidak kuat. Membayangkan raut ibu yang harus menahan sedih dan malu. Mata sembabnya tidak akan sanggup menahan laju air yang mengalir dari bening jiwanya.
“Anak macam apa aku ini. Yang hanya memberi rasa malu dan kecewa”.
“Tidak. Ibu tidak boleh tau. Dia terlalu lemah untuk mengetahui kelakuanku”
“Biar ayah saja yang kesini. Aku harus terima apapun resikonya. Aku harus siap meski ayah memukulku”.
Perlahan wajah ayah hadir dihadapanku. Tatap matanya tajam menusuk dengan rahang berwarna kecoklatan semakin menujukkan ketegasan. Membayangkan tangan legamnya yang kokoh secepat kilat mendarat di pipiku. Sambil meringis, aku memegang pipi. Mencoba merasakan apa yang akan kualami.
“Kamu kenapa ?” Suara itu membuyarkan lamunanku.
Berlahan aku menatap sosok yang berada di hadapanku. Raut wajahnya terlihat dingin dan tenang. Matanya menatap tak bergeming. Menusuk hingga ke hulu hati yang teraduk begitu kuat hingga hancur dan meleleh. Andai bisa memutar balik waktu, ingin semua salah terganti dengan perilaku terbaikku. Pikiran waras tiba tiba muncul memenuhi bilah rongga benak bebal. Entahlah. Aku pasrah.
####
“Plak”. Tamparan itu nyata.
“Anak tak tau diri. Sengaja ayah masukkan kamu kepesantren supaya kamu menjadi anak yang baik”. Suara ayah penuh emosi.
“Sabar-sabar”. Ustaz Yusuf mencoba menenangkan ayah.
“Maaf. Saya emosi”. Berlahan ayah menumpahkan badannya di sofa warna kehitaman yang berada di sebelah kananku. Rautnya memerah menahan amarah dan malu.
“Ya pak. Saya mengerti kekecewaan bapak. Tapi kita disini untuk mencari solusi terbaik bagi anak kita”. Terdengar begitu lugas dan penuh makna.
“Sudah sering anak bapak kami pangil. Dia selalu berjanji untuk tidak mengulangi. Hmm… janji itu tidak bermakna apa apa. Dalam bulan ini saja entah berapa kali sudah melanggar”.
Aku tertunduk lesu. Desir darahku mulai membeku. Dunia terasa berputar begitu lambat. Kata-kata itu menusuk sangat dalam, menghujam jiwa labilku. Aku mencoba mengumpulkan semua daya yang masih ku punya. Mengerahkan energi sisa di luruh jiwa raga. Meski berat, mataku mampu juga melirik silih berganti ke arah dua lelaki yang berada disisi dan hadapanku. Wajah wajah dingin namun tegas itu terlihat berfikir keras. Memecahkan dilema yang telah ku bebankan di pikiran mereka.
“Maafkan saya dan anak saya”. Terdengar suara berat itu bergetar.
“Mungkin saya terlalu sibuk sehingga lalai memperhatikan perkembangan perilakunya”.
Ruang itu kembali hening. Hanya desir suara AC yang berpadu dengan denting jarum jam yang masih terus bergerak teratur. Mengatur ritme yang selayaknya terjadi. Berbanding terbalik dengan rasa yang memenuhi jiwa yang terjebak dalam ruang kehampaan ini. Pada detik itu, egoku memuncah, pertahananku goyah, lebur pada kesia-siaan terdalam yang pernah kurasa.
Tak terbendung, bola mataku mengalir air bening yang menjalar hingga ke pipi. Dadaku semakin sesak, ada yang mendesak hingga ke kerongkongan. Lalu pecah menjadi tangisan.
Sekoyong koyong. Ayah mendekapku. sangat erat, hingga degup jantungnya terasa oleh ku. Dalam ketakutan dan kesedihan, ada desir yang mengalir energi bahagia hingga ke ubun ubun. Tidak pernah aku merasa sebahagia ini. Sebuah rasa yang menerbangkanku hingga ke awang. Berlahan tangannya membelai kepalaku yang tertutup dengan peci. Ada kasih yang tak terbatas. Begitu suci dari sosok ayah yang selama ini sangat kusegani.
“Maafkan ayah. Selama ini tidak mampu memberikan kasih terbaik untuk mu”. Kudengar suara itu begitu sendu.
“Ayah …”. kata katanya tersendat.
“Andi minta maaf. Andi selalu membuat ayah kecewa”. Kata itu melesat keluar begitu saja diantara isak tangisku. Kepalaku semakin kubenamkan ke dada Ayah. Aku merasa benar benar menjadi anak yang tak tau diri. Egois dan tidak berperasaan.
Suasana ini begitu sempurna. Gambar presiden dan wakil presiden yang tertempel di dinding seakan merestui keheningan ini. Bahkan cecakpun hanya diam menjadi saksi bisu di pojok ruang.
“Ok. Baiklah. Tolong tanda tangan surat perjanjaian ini”. Ustaz Yusuf memecahkan kesunyian. Sambil menyodorkan sebuah map yang berisi lembaran kertas sebagai konsekwensi hari ini.
“Yang penting, kedepan kamu harus menjadi lebih baik. Tidak boleh lagi mengecewakan orang orang yang menyayangimu. Mungkin ini perjanjian terakhir”. Tutup Ustz Yusuf sebelum kami pamit.
###
Desir angin membelai daun padi yang menghampar dipesawahan. Keciprak suara menyanyikan kedamaian. Beberapa belalang berlompatan kegirangan sambil menikmati lezatnya daun muda. Di kejauhan terlihat jejeran gunung menghijau. Diatasnya gumpalan awan memutih masih samar terlihat disinari mentari pagi.
Dua remaja usia lima belasan tahun silih berganti menghembuskan asap dari sebatang rokok yang dihisap bergiliran. Sambil sesekali mengintip dibalik tembok gedung tempat persembunyian, memastikan tidak ada yang tahu ihwal yang sedang mereka lakukan. Mencoba mencari peruntungan diantara pengawasan ustaz. Harusnya mereka berada di mesjid bersama kawan-kawan untuk tunaikan shalat dhuha menjelang waktu belajar tiba. Kenakalan itu memiliki konsekwensi berat yang harus ditanggung. Terlebih Andi, bisa jadi perjanjian kemarin adalah kesempatan terakhir baginya.
“Boleh minta rokoknya ?”.
“Hmm, tar lah. Inikan giliran saya”. Andi menjawab tanpa menoleh. Pandangannya tertuju pada seorang petani yang sedang menjinjing sesuatu, sepertinya sempotran untuk memusnahkan hewan pengganggu.
“Sudah cukup. Sekarang giliran ustaz”.
Bagai ada magnet yang kuat menariknya, keduanya berdiri sigap mematung. Situasi benar benar tidak berpihak pada mereka. Ustaz tepat berada disisi.
“Ustaz akan serahkan kalian ke orang tua masing-masing”. Sambil merogoh kantongnya dan mengeluarkan hanphone. Seirama nada masuk berbunyi kembali rasa penyesalan itu hadir menghampiri. Begitu menyesal.
“Kenapa mesti aku mengikuti ajakan Fatur. Padahal aku tadi sudah siap untuk ke mesjid menunaikan shalat dhuha. Sepertinya tekatku belum kuat”.
“Assalamualaikum. Saya Ustaz Yusuf dari Jeumala Amal. Ini dengan Pak Rahmat ?”
“Alaikumsalam. Bukan. Saya adeknya”. Aku bisa mendengar suara Om Nasir diseberang sana.
“Tapi, kenapa HP Ayah di Om Nasir ?”. Pertanyaan itu memenuhi otakku. Belum sempat aku berpikir jauh. Aku terperanjat dengan penjelasannya.
“Bang Rahmat tadi masuk rumah sakit. Ini masih diruang ICU. Maaf Ustaz. Boleh mita izin Andi sebentar untuk menjenguk ayahnya di rumah sakit ?”.
“Boleh. Dirumah sakit mana ? Biar saya antar sekarang”.
“Kita langsung berangkat. Fatur segera ke mesjid. Waktu ustaz pulang kita selesaikan ini”. Perintah Ustaz Yusuf setelah mendengar penjelasan Om Nasir.
###
“Ayah kenapa Om ?”. Aku langsung menghampiri Om Nasir yang terduduk lesu diruang tunggu.
“Ayah baik baik saja. Yok kita masuk. Mari ustaz”. Ajak Om Nasir setelah bersalaman.
“Ayah… !” Aku langsung menghampiran ayah yang berbaring lemah di tempat tidur.
“Andi. Kamu sama siapa ?” Tanya ayah terbata bata.
“Diantar ustaz. Ayah sakit apa ?” Tanyaku lagi sambil mengelus tangannya yang terpasang jarum inpus. Kulihat di sampingnya ada tabung oksigen, sepertinya baru saja dilepaskan.
“Alhamdulillah ayah nggak apa-apa. Hanya tadi dada ayah sedikit sesak. Sekarang sudah membaik. Ayah gak apa-apa kok”. Ayah mencoba tersenyum, ingin menunjukkan betapa dia kuat didepanku.
“Tapi Andi takut”.
“Semua baik-baik saja. Dokter cuma bilang, harus menghentikan merokok kalau ingin melihat anak ayah hingga meraih sarjana dan sukses”. Ayah masih mencoba memaksa untuk tersenyum.
“Karena jantung ayah sedikit masalah”. Sambung ayah dengan mata berbinar.
“Ayaah”. Sekoyong koyong aku memeluk ayah begitu erat. Aku sangat takut kehilangannya. Air mata mengalir begitu saja tanpa bisa ditahan.
“Ayah gak boleh merokok lagi. Kita nggak boleh merekok lagi”. Ucapku dengan perasaan bersalah.
“Ya Andi. Ayah nggak merokok lagi. Kita nggak akan merokok lagi”. Sambung ayah sambil satu tangannya melingkar ditubuhku.
= Selesai =