Oleh Azmi Abubakar, Lc, MH
Anak-anak disabilitas memiliki potensi untuk mengembangkan diri hingga menjadi ilmuwan atau pakar yang hebat. Mesir misalnya anak-anak disabilitas tanpa campur tangan negara telah berusaha mandiri, mereka berkembang dalam keadaan mencintai ilmu dan mengembangkannnya.
Mesir telah memberi contoh yang cukup elegan kepada kita; bagaimana anak-anak disabilitas ini terus mengembangkan kualitas keilmuwannnya sehingga menjadilah ia sebagai alim ulama atau pakar keagamaan.
Misalnya saja Universitas Al Azhar, Kairo, memiliki para ulama yang tak mampu melihat secara dhahir namun memiliki ketajaman ilmu yang luar biasa yang justru membuka mata hatinya untuk menerangi manusia-manusia ilmu.
Fakta yang terjadi di sekitar kita berbanding terbalik. Miris kita melihat di pinggir jalan sebagian anak-anak disabilitas mengemis. Perilaku ini tak lepas dari praktik orang tuanya lalu diwariskan secara turun temurun. Padahal anak-anak disabilitas ini jika diorbitkan akan menjadi anak yang luar biasa apalagi jika dipumpun dalam ilmu keagamaan; menghafal Alquran misalnya.
Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang buta itu dikarunia daya hafal yang tajam (Stephen Ambrose, 2009). Disekitar kita ruang ini belum dimanfaatkan secara sempurna. Begitu pula Hujjatul Islam, Imam Algazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin telah menggolongkan manusia kepada empat golongan. Pertama manusia yang tahu bahwa ia punya ilmu, lalu memberikan kepada manusia lain. Kedua manusia yang tahu bahwa ia tak mempunyai ilmu lalu ia menggali ilmu. Ketiga manusia yang yang tidak tahu bahwa ia mempunyai ilmu. Yang keempat manusia yang tidak tahu bahwa ia tak mempunyai ilmu.
Anak disabilitas harus dituntun untuk menyadari bahwa ia memiliki bakat yang luar biasa, agar mempergunakan ruang itu untuk terus menggali ilmu. Peran keluarga sebagai masyarakat terkecil sangat berpengaruh dalam melindungi lahir dan batin anak-anak disabilitas.
Kehadiran Negara dalam memberi dukungan materi menjadi kesempatan kepada anak disabilitas. Perlindungan kepada anak-anak secara normatif telah diatur dalam perundangan-undangan Negara, baik itu undang-undnag perlindungan anak maupun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Asbabun Nuzul surah Abbasa tak lepas dari teguran Allah kepada Rasulullah karena mengabaikan seorang sahabat yang tak bisa melihat sebagaimana disebutkan Imam Razi dalam Tafsir Al Kabir. Lalu, Rasulullah saw memberi perhatian khusus kepada sahabat Abdulah bi Ummi Maktum, Rasululah menyebut Abdullah bin Ummi Maktum dengan sahabat mulia yang karena engkau aku ditegur Allah.
Narasi kemudian berlanjut tentang bagaimana Abdullah bin Ummi Maktum mampu mengemban tugas-tugas dakwah dengan baik. Ia menjaga kota Madinah ketika kaum muslimin mengikuti perang, ia juga menjadi muazin bersama Bilal bin Rabah.
Sejarah kegemilangan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah juga turut diwarnai oleh pakar-pakar hebat yang secara fisik mempunyai kekurangan tetapi secara ruh memancarkan cahaya ilmu yang luar biasa.
Kita perlu menyadari kembali bahwa hakikat manusia ini tak hanya bertumpu pada fisik semata. Bahwa konsep al-insanu hayawanun natiq harus dipahami secara aplikatif. Menurut Ibnu Asyur dalam kitabnya Tafsir Tahrir wa Tanwir dalam menafsirkan Ahsanu Taqwim bermakna Kesempurnaan manusia terletak pada akalnya. Jika fungsi akal sudah tak eksis lagi, maka manusia sama saja dengan hewan dengan segala aktivitas hewaniyah seperti tidur dan mencari makan.
Sehingga Islam menempatkan usaha pikir dan dimensi jiwa pada tempat yang mulia.
Para ulama muktabar yang telah meninggal beberapa abad lalu seolah sampai sekarang masih hidup. Bersebab apa yang hidup itu adalah pemikirannya. Ini yang perlu dimiliki tidak hanya anak disabilitas saja tetapi generasi-generasi normal lainnya.
Muhammad Ali As Shabuni dalam tafsir Ayat Ahkam menafsirkan surah An Nur ayat 61 tentang kesetaraan sosial bagi penyandang disabilitas dengan non disabilitas. Dari sini dipahami bahwa Islam adalah agama yang moderat (wasatiyah) yang memuliakan penyandang disabilitas.