Oleh: Naqia Shada (IX-7)
“Eju, jangan kemana-mana!!!”
“Eju, maukah kau bermain bersamaku?”
“Eju, jangan pergi!”
“Aaakh!!” Teriak Eju, bayangan tentang seorang anak kecil dan bonekanya itu cukup menakut-nakitinya. Eju mengercap-ngercap kedua mata, ia menghela nafas lega.
“Untung lah, cuma mimpi..” betin Eju dengan nafas yang masih tersenggal-senggal. sejujurnya, sudah beberapa hari ini Eju dihantui oleh seorang gadis kecil yang terlihat menyedihkan. Namun, Eju tak peduli. Ia meraih ponsel di sampingnya, tampak pada layar ponsel jam menunjukkan angka 09:15. Bukannya segera mandi dan berangkat ke sekolah, Eju malah kembali menarik selimutnya. Entah pikiran apa yang mengganggunya saat ini.
Drrrtt… drrrtt… Ponsel yang di genggam Eju bergetar. Sambil mengendus kesal, Eju menyalakan layar ponselnya. Tatkala layar menyala, Eju terkejut melihat pemandangan mengerikan di depat batang hidungnya. Tampak seorang laki-laki berbadan setengah monster menuju sebuah tempat. Ditambah dengan teriakan-teriakan sadis yang aneh dan mengerikan. Tertulis di bawah tagline “Viral! Wabah monster di ***** tiba-tiba manusia menjadi moster”, Eju bergiding ngeri.
****
Matahari sudah mulai condong ke barat, Eju masih saja terlelap di kasurnya. Ruangan minimalis yang disertai AC itu sudah cukup lama menguasai tubuh Eju bersembunyi di balik selimut tebal. Ditambah dengan empuknya kasur impor dari Amerika, seakan telah menculik jiwa Eju hingga ia betah terlelap hingga dua hari berlalu. Tok! Tok! Tok! Suara pintu berbunyi. Dengan wajah semrawut Eju perlahan turun dari kasurnya membuka pintu. Begitu dibuka, terpampang wajah Akbar, Azis dan Rion tepat di depat pintu sembari menyedor sekotak donat JCO.
“Yo, Eju! Apa kabar?” sapa Aziz. Eju tersenyum tipis. Aziz, Akbar dan Rion mulai menjelajahi inchi demi inchi isi kamar Eju. Eju tak keberatan, ia duduk bersila di atas kasur sambil mengunyah donat.
“Kamar kamu keren banget, Ju!” puji Akbar. Eju mengejutkan dahinya.
“Engga ah.. biasa aja” balas Eju. Akbar hanya nyengir.
“Eju, kau sakit apa? Jangan-jangan menular wabah moster, ya?” Mendengar terkaan Rion, Eju memasang wajah malas. Jujur saja, Eju betul-betul malas meladeni hal yang berkaitan dengan yang namanya wabah itu.
“engga, kok! Dasar sok tau!” sergah Eju. Rion mengangkat bahu tak berkutik. “Eju, kau mesti harus hati-hati! Ku dengar virus itu langsur tersebar dari moster itu sendiri,” Eju menelan ludah kasar. Namun, Eju sama sekali tak dapat mengubah pendiriannya. Bagi Eju, hal-hal seperti itu sangat naif.
Setelah setengah jam berlalu dalam perbincangan yang ntah berantah tentang wabah moster, perbincangan itu terputus ketika Eju mengusir mereka bosan dengan pembahasan itu-itu saja.
“Dasar… hal seperti itu buat apa dipercaya..” timpal Eju lirih.
Drrrtt… Ponsel itubergetar, Eju meraih ponselnya di atas meja. Lagi-lagi Eju menerima pesan yang sama. Konten kali ini berisi tentang wabah moster yang sudah menular ke sebagian orang Indonesia. Eju kembali memasukkan hpnya ke dalam tas pinggang. Ia sama sekali tak peduli akan hal itu.
****
Jam telah menunjukkan pukul 10 malam. Eju masih saja terbaring di kasur, tak ada obat yang bisa menghilangkan rasa kantuknya.
“Kriiiiingg…” Eju kaget bukan kepalan karena ponselnya berdering demikian nyaring. Lanjas ia merogah tas pinggang untuk mengambil ponsel. Eju yang lesu mengusap layar ponsel melihat pesan.
“Eju…! Tolong kami…! Ini bukan prank…!” Eju menutup log panggilan. Ia beranggapan Aziz, Akbar dan Rion sedang mengeprank dirinya.
“Huff… buang-buang waktu,” ucapnya. Ia kembali menenggelamkan dirinya dalam hamparan selimut dan kasur. Hari ini terasa sangat lelah untuknya.
-Jam 00:00 –
“Bugh! Bugh! Bugh!”
Eju yang sedang berkelana di alam mimpi terkejut mendengar dentuman keras berasal dari pintu kamarnya. Dengan sigap, Eju duduk di sisi kasur. Suara dentuman pintu yang bertalu-talu membuat jantung Eju berdecak kencang. Ia meraih tas pinggang di dekatnya.
“Brakk!” pintu terbuka lebar. Sebuah tangan berbau busuk dan setengah rusak dengan cepat hendak menyambar tubuhnya. Ia mundur beberapa langkah sambil menepis tangan itu. Kini di hadapannya jelas terlihat sosok makhluk aneh. Mirip dengan Joker, tapi tak menyengat seperti ini. Bau busuk itu membuat dirinya sulit bernafas. Si moster itu berjalan mendekati dirinya. Walaupun Eju berhasil menghindari moster Joker itu, ia tetap waspada jika bahaya kembali menyusul.
“SRaak!” Eju mendarat tepat di samping mobil hitam miliknya. Begitu mendengar suara tubuh Eju beradu dengan tanah, sontak ratusan makhluk aneh itu menoleh serempak ke arahnya. Eju mengerang kesakitan di tanah. Tanpa “ba-bi-bu”, segerombolan makhluk aneh dan mengerikan di sekitar halaman rumah refleks menyerang Eju. Sekarang, sudah tak ada lagi waktu untuk meringis. Eju segera masuk ke dalam mobil. Baru saja ia menyalakan mesin mobil, moster-moster aneh itu mendobrak mobilnya hingga tergores berat.
“Ok!” desisnya. Eju segera tancap gas melaju tanpa memikirkan nasib moster yang tak berasal-usul itu.
Brum.. mobil Eju melaju ke jalan raya. Jalanan terlihat sepi sekaligus hampa. Sepanjang jalan yang dilewati hanya ada mayat-maya berwajah setengah moster berserakan di pinggiran jalan.
Sejujurnya, sudah sejauh ini ia merasa ketakutan. Perasaannya campuk aduk. Keringat dingin membasahi tangan dan keningnya. Rasanya, ia ingin menangis mengingat pekikan Azis kala memberitahunya di telpon. Ternyata rumor itu benar adanya bahkan telah mnggoroti separuh orang di negaranya. Tanpa ia sadari, sebulir air mata mengembun di pipi kanan Eju. Segera ia mengusap dan tegar melanjutkan perjalanannya.
Ketika ia baru saja menurunkan lengannya usai mengusap air mata, seketika ia mendelik. Di bawah sinar rembulan diselimuti aroma darah pekat, terlihat seorang gadis seusianya berseragam SMA berpadu hoodie hitam-merah merentang kedua tangan menghentikan mobil Eju mendadak. Karena kaget, kepala Eju turut terbentur setir kemudi. Ketika mobil berhenti, gadis itu menerobos masuk dan duduk tepat di kursi samping Eju. Ia mengerut kening, “tak paham” asal-muasal perempuan ini.
“Hei, sedang apa kau??” Tanya Eju. Gadis itu tidak menggubris Eju. Ia sibuk mengatur nafasnya yang tak beraturan.
“Seharusnya aku yang bertanya, sedang apa kau? Ayo, jalankan mobilnya!” tukas si gadis.
“RWAAAAKH!!!” gadis tadi seketika kaget mendengar suara dengusan panjang di balik semak-semak. Tiba-tiba gadis itu merebut setir kemudi di hadapan Eju. Gadis itu tetap memaksa walaupun Eju menolak.
“HEHH, NENEK LAMPIR!!” benak Eju. Si gadis tak berkutik.
“Rwaaaaakh!” terdengar lagi dengusan yang sama. Kini dengusan itu terdengar semakin nyaring dan terus mendekat. Reflek, gadis itu membanting Eju hingga ia terpojok ke kursi belakang. Lantas gadis itu mengambil alih kemudi. Sekarang sudah jelas bahwa mobil Eju benar-benar dikendalikan oleh seorang gadis yang entah berantah dari mana asalnya.
“Hei, Kau!! …” belum habis Eju bicara, tiba-tiba sesosok bak kuntilanak nongol dari semak-semak dengan tubuh yang bersimbah darah. Eju menga-nga melihat pemandangan itu.
“Jangan Banyak Bicara!!!” bentak gadis memecah ketegangan. Seketika ia memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Lagi-lagi kepala Eju terantuk terbentur dengan langit-langit. Eju udah muak pada si gadis yang dari tadi mengendalikan dirinya. Namun, andai gadis itu tidak segera tancap gas, bisa jadi Eju udah dilahap kuntilanak. Eju melirik gadis yang dipanggilnya ‘nenek lampir’ itu. Menurutnya, gadis tomboy itu laksana atlet balapan yang sedang berpacu di arena.
“Siapa namamu?” tanya Eju. Gadis itu tersenyum tanpa menoleh.
“Zera” jawabnya singkat. Zera masih fokus mengemudi mobil.
“Oke, Zera. Kau mau membawamu ke mana sekarang?”
“Ke Hotel Tembagapura” jawab Zera. Eju mengangguk mengisyaratkan ia mengerti. Eju melihat keadaan di belakang, tak ada lagi kuntilanak yang mengikuti mereka. Eju menguap malas sambil menyadarkan tubuhnya pada sandaran jok mobil. Malam sudah larut. Tanpa sadar, ia terlelap seketika.
****
Eju membuka mata. Pandangan itu terlihat asing baginya. Kini ia sedang berada di salah satu kamar hotel Tembagapura. Seperti biasa, Eju kembali menarik selimut, hendak melanjutkan tidur. “SRAK!..” Tiba- tiba, Eju refleks membuang selimut yang tadi di pakainya. Eju duduk di sisi kasur dengan wajah kusut dan rambut yang acak-acakan
“Tunggu, bukannya tadi aku di mobil? Kenapa tiba-tiba aku di kasur?” batin dan pikiran Eju melayang kemana-mana.
“ZERAAA!!!” teriak Eju.
***10 menit kemudian di kamar Zera***
“Siapa bilang aku yang mengangkatmu ke kamar semalam?” sahut Zera cuek.
Karena tadi Eju berteriak sangat keras, Zera terpaksa memaksa Eju pergi ke kamarnya untuk menjelaskan keberadaan Eju di kamar itu.
“Zera jangan bohong!!” tukas Eju. Zera memasang wajah masam.
“Sudah kubilang, aku tidak bohong! Dasar keras kepala!!”
“Lalu apa bukti perkataanmu???”
Zera menghela napas panjang, jari telunjuknya menunjuk ke arah pojok dinding di belakang Eju. Ia menoleh ke belakang. Di pojok kamar ada sosok laki-laki seusia mereka duduk sambil memainkan ponselnya.
“Dia orangnya” tunjuk Zera.
Eju menatap lelaki itu aneh. Lelaki putih nan mancung itu tampak begitu berwibawa di hadapan ponsel Iphone 50 pro max. Lelaki itu memangku gitar warna putih dengan senar coklat. Mirip seperti warna rambutnya. Eju mendekatkan mulutnya pada telinga Zera.
“Siapa dia?” bisik Eju penasaran. Zera mengangkat alisnya malas mengubris.
“Raja, anak dari presdir hotel ini” jawab Zera.
“KLEP!” Baru saja Zera selesai bicara listrik hotel tiba-tiba padam. Raja, Zera dan Eju saling bertatapan diselimuti kegelapan. Raja beranjak dari tempat duduknya ingin memperbaiki keadaan.
“Zera, temani aku ke pusat penanganan listrik!” ajak raja.
Zera mengangguk, ia bergegas berdiri menyusuli langkah Raja. Eju terdiam menyerngitkan dahi. Ia kesal mempunyai teman baru yang layaknya gunung es dengan langkah lesu. Tak ada pilihan lain, Eju terpaksa mengikuti langkah mereka berdua.
****
Mereka bertiga mulai meniti anak tangga di sebuah hutan. Eju berjalan paling belakang, jarinya sibuk mencabuti dedaunan yang ditemuinya. Sepasang earphone terpasang di kedua telinga Eju mendengar musik yang keluar dari MP3 yang sedari tadi ia bawa. Melodi demi melodi, oktaf musik mulai mengiringi perjalanan mereka disertai desiran angin pagi sepoi-sepoi. Sesaat, Eju menemukan ketenangan pada dirinya.
“Eju” panggil Raja. Eju mengangkat kepala sambil melepas eaphone di telinganya. Raut wajah Eju terlihat tak bersua dengan panggilan Raja.
“Kau tahu penyebab listrik di hotel bisa padam?” Tanya Raja. Eju menggeleng.
“Itu penyebabnya‘’ Raja menunjuk pada sebuah tower listrik.
Eju mendongak mengikuti arah telunjuk Raja. Eju memicingkan kedua matanya, tampak seorang lelaki berambut hitam sedang menggigit seutas kabel listrik.
“Makan listrik?” tanya Eju lirih tak percaya.
Zera terlihat kaget sesaat. Seketika ia menghela napas.
“Orang zaman sekarang memang udah pada gila, ya?‘’ ujar Zera.
Zera berbalik badan tak peduli. Melihat Zera yang hendak meninggalkan hutan, Raja menatap si lelaki dari kejauhan dan ikut berbalik. Mungkin, mereka merasa hal seperti ini bukanlah hal yang serius. Namun tidak dengan Eju. Di kala Zera dan Raja telah berlalu, Eju masih hadir berdiri tegak di sana, memantau laki-laki pemakan listrik yang di anggap gila oleh Zera. Eju fokus memantau apa yang dilihatnya, tak di duga lelaki berambut hitam tersebut menoleh ke arahnya. Kedua mata merah menyala yang melambangkan kesan buas sangat menyatu dengan latar cuaca mendung saat ini. Ia tersenyum buas kepada Eju. Dari senyuman itu, tampak hal yang tidak diinginkan akan terjadi. Lelaki itu mengacungkan jari telinjuk mengarah ke batang hidung Eju.
“Kau, kemari!!” teriak nya memanggil Eju.
Eju mudur beberapa langkah ke belakang, ia sudah wa-was akan tingkah dan gestur mencurigakan dari si lelaki. Dengan wajah tirusnya ia tersenyum buas sambil melangkahkan kaki menghampiri Eju. Ia terus mundur beberapa langkah hingga punggungnya mentok dengan batang pohon. Si lelaki berdiri di hadapan Eju ia memperhatikan Eju dari ujung rambut sampai kaki.
Bersambung…