Oleh: Muhammad Raihan (XI MIA 2)
“Assalamualaikum” Sambil membuka pintu, aku mengucapkan salam
“Waalaikumsalam”, ibu menyambut ku. Aku baru saja pulang dari sekolah, jarum jam menunjukkan pukul 12:50 WIB. Keringat bercucuran membasahi baju. Seperti biasa, aku mengganti seragam sekolah dan bergegas melaksanakan shalat zuhur berjamaah di masjid. Jarak masjid dan rumah ku tidaklah jauh. Hanya butuh waktu lima menit untuk sampai ke masjid. Masjid itu sudah lama di bangun, bangunannnya juga sudah tidak baru lagi, warnanya putih keemasan, namanya masjid Ar Rahman. Kusiapakan pakaian dan segera berangkat menuju ke masjid. Seperti yang telah kukatakan jarak antara masjid dan rumah ku yang tidak terlalu jauh, maka tidak memakan waktu lama, aku sampai di masjid dan melaksanakan shalat.Usai dari masjid, kulangkah untuk kembali ke rumah dan membantu ibu dan ayah yaitu membuka warteg, itulah yang kulakukan dalam keseharianku.
O ya, sebelumnya. Namaku Rama Septian, biasa di panggil Rama, diberi nama septian karena aku lahir pada bulan September. Sekarang aku duduk dibangku SMA kelas 2, umurku sekarang tepat 16 tahun. Aku bersekolah di SMA 3 Sukawening, bukan sekolah favorit, hanya sekolah biasa. Aku seorang anak tunggal. Tidak punya kakak maupun adik, itulah yang kupikirkan. Karena aku harus mengubah kehidupan keluargaku, aku harus menjadi anak yang berprestasi dan membanggakan kedua orang tua. Aku berasal dari keluarga yang kurang berada, kami hanya membuka sebuah warteg didepan rumah dengan menyediakan lauk-lauk yang sederhana. Keluargaku dililit hutang, selain itu juga untuk membiayai kehidupan kami dan biaya sekolahku. Kami tinggal di kampung Sukawening, Jawa Timur. Jarak antar sekolah dengan rumahku juga tidak terlalu jauh. Bukan berarti aku ingin jalan kaki menuju sekolah. Aku juga ingin punya motor seperti anak-anak lainnya. Tapi, apa boleh buat, “Sadar diri” itu yang ada di benakku. Tingkat ekonomi keluargaku tidaklah tinggi, aku juga harus pandai-pandai berhemat. Di sekolah aku memiliki banyak teman. Tapi, hanya satu orang yang paling akrab denganku. Namanya Farhan. Dia memiliki sifat yang ramah dan peduli kepada orang sekitarnya. Ia tinggal di Sukajaya, bersebelahan dengan kampungku. Farhan berasal dari keluarga berada. Bisa dibilang orang kaya, pasti menyenangkan jika berada diposisinya, pikirku.
Hari ini, aku membantu ibu dan ayah di warteg. Tugasku hanya mencuci piring dan melayani pelanggan yang berdatangan. Walaupun terlihat sedikit, tapi tidak mudah. Karena terkadang konsumen yang datang juga tidak sedikit. Ayahku tidak bisa bekerja secara maksimal. Ya, ayah sering sakit-sakitan. Terkadang, aku merenung melihat ibu dengan rasa kasihan. Makanya aku selalu menuruti dan tidak pernah membantah apa yang diperintah oleh ibu, selagi itu masih hal yang wajar. Tapi, inilah yang menjadi masalah. Entah mengapa teman-teman menganggap aku sebagai seorang yang memiliki sifat antisosial. Padahal, interaksi antaraku dengan mereka juga tidak jarang. Ya, aku hanya bisa mengintropeksi diri saja. Tetap terus menutup lubang kekurangan yang ada pada diriku. Terkadang, aku juga berpikir “Mengapa aku harus memikirkan apa yang mereka katakan?” Ini hidupku, mengapa mereka harus mencampurinya.Yang penting aku tetap melakukan apapun yang kumau selagi itu tidak merugikan orang lain.
Tak terasa, akhirnya aku telah selesai pada pekerjaanku. Warteg segera ditutup. Jarum jam berada pada angka setengah enam. Badanku mulai terasa lelah. Aku bergegas menolong ibu untuk menutup warteg. Warteg kami terletak didepan rumah. Selesai menutup warteg, aku langsung masuk ke rumah dan ya, apalagi yang kulakukan selain merebahkan diriku ke kasur. Namanya juga lelah. Kuraih handphone, untuk menghilangkan bosan. Musik kunyalakan untuk memecah kesunyian. Beberapa menit kemudian, kurasa matahari mulai terbenam, aku segera bergegas mandi dan bersiap-siap untuk shalat magrib di masjid. Seusai shalat, aku mengikuti pengajian rutin yang diadakan setiap malam di balai masjid. Disana, aku belajar banyak. Dari pasal bersuci hingga rincian-rincian pada kitab lainnya. Hadir untuk mengikuti pengajian ini setiap malam, itulah aku dan ayah. Pengajian dimulai dari setelah shalat magrib sampai waktu isya. Aku selalu mendengar dengan baik yang dijelaskan, tak lupa juga dengan menanyakan terhadap apa yang belum kupahami. Itu semua juga berguna untuk meningkatkan solidaritas yang ada pada diriku. Malam ini, kami belajar tentang kemuliaan hari dan shalat jumat. Dari kemuliaan hari jumat, shalat jumat, seluk beluk melaksanakan shalat jumat, hingga amalan-amalan pada hari jumat.
Akhirnya, pengajian selesai. Waktu shalat isya tiba, kami langsung bergegas untuk berwudhu kembali dan melaksanakan shalat isya berjamaah. Singkatnya, shalat isya pun selesai. Aku dan ayah pun pulang ke rumah. Aku langsung masuk ke kamar, mengganti baju dan berbaring di kasur. Rasa ngantuk mulai menyerang. Padahal jam, baru menunjukkan pukul Sembilan lewat sepuluh. Ya, mungkin ini karena keletihan pada siang hari tadi. Apa boleh buat, aku mulai memejamkan mata. Beberapa menit tertidur, mata ini terbuka lagi, pikiranku penuh dengan hal-hal yang aku sendiri tak sanggup memikirkannya.Ya… itu tentang sekolahku. Mulai memikirkan sesuatu yang berat, kuambil bantal dan kututup kepala dengan kuat hingga tertidur. Ini tidak mudah, jantung ini semakin berdetak cepat, telingaku mulai memerah dan panas. Sesaat mereda dan pandanganku mulai buram dan sempit sampai akhirnya tertidur kembali.
Kring…Kring…Kring…
Alaram mengejutkanku, membuka mata dan langsung bergegas untuk shalat shubuh. Kumatikan alaram dan melirik ke arah jam. Ah, jam kamar mati. Aku membuka handphone dan melihat yang ternyata sudah jam 06:15 WIB. Segera kubangkitkan tubuh dari kasur yang empuk ini dan menuju ke kamar mandi untuk berwudhu. Shalat shubuh kuselesaikan tanpa jamaah di rumah. Usai shalat, tubuh serasa ingin tidur kembali. Seperti biasanya kulawan kantukku dengan segera mandi dan sarapan. Jarum jam telah berada pada pukul 07:20 WIB. Aku bisa terlambat jika tidak segera bersiap-siap dengan sedikit lebih cepat. Sarapan kulewatkan, walau ibu telah menyuruh beberapa kali. Dengan perut kosong kulangkahkan kaki menuju sekolah. Seperti yang kukatakan, aku hanya berjalan kaki menuju sekolah. Di jalan, tentanggaku menyapa, tak lupa juga membalas sapaanya. Aku mulai mempercepat langkah, beberapa menit berjalan.
Akhirnya aku sampai di depan gerbang sekolah. “Woi Rama!” seseorang memanggilku dari kejauhan. Yah, itu Farhan teman dekatku kan. Dia memang selalu menyapaku, Setiap pagi dari dalam mobil pribadi miliknya. Haha, aku berjalan kaki. Sungguh memalukan, terbisik di benakku. Aku melejit ke halaman sekolah. Sebuah tangan merangkul bahuku. Ternyata Farhan mengejar dari belakang. “Rama, gimana?” tanyanya. “Biasa aja, kalau mau pamer jangan kesini”, balasku. Ternyata Farhan mempunyai sepatu baru. Walaupun sikapnya ramah, terkadang ia juga suka memamerkan barang-barang baru yang dimiliki. Jelas, itu membuatku iri. Walau demikian, aku tidak mungkin memperlihatkan keirianku padanya, itu hanya akan membuatnya semakin menjadi-jadi. “Yasudahlah pendam aja, nantik juga lupa”, kucamkan itu. Farhan tersenyum memperlihatkan kesenangannya. “Liat ni bagus kan, harganya mahal lho”, ia menambahnya lagi. Kalau bukan kawan dekat, udah kubanting orangnya, bisikku. Bel berbunyi, segera masuk dan melupakan hal ini, itulah yang kumau.
Tibalah aku dan Farhan di dalam kelas setelah beberapa menit berjalan. Disana, tidak ada yang menyapaku. Hanya bisa diam dan pura-pura dingin, kulakukan itu agar tidak terlalu kaku. Walau perasaan ini sedikit retak. Tapi mau gimana lagi, kertas yang udah diremas tidak mungkin bisa kembali rapi seperti semula. Aku bukan lagi kanak-kanak, untuk apa menyimpan kaca yang pecah, lebih baik kubuang jauh-jauh rasa ini. Hal itu juga gak berguna untuk hidupku. “Orang-orang datang waktu ada perlunya aja kok”, lisanku berkata pada Farhan. “Gak gitu Rama…, kalo kamu aja gak mau deket sama mereka, kapannya mereka mau bergaul sama kamu”, Farhan terus menasehati juga mengkritik semua yang kulakukan. Kadang, ia menyuruhku mentraktir mereka pakai uangnya. Biar tambah deket. “Cih, gak ah, kok sampek gitunya sih, gak usah gak usah”, bantahku. Paksaan yang dilontarkan Farhan terkadang membuatku jengkel seolah tangan ini ingin menutup mulutnya rapat-rapat. Akhirnya aku memutuskan untuk terus menahan yang seharusnya tidak bisa lagi dilerai. Aku tak tahu ternyata keputusanku untuk sabar juga mengunci mulutku menjadi sebuah kesalahn. Farhan terus membuatku kesal dan kelelahan memikirkannya.
Jam pelajaran dimulai, mendengar dan menyimak penjelasan guru. Itu harus kulakukan, karena mereka. Ya, orang-orang itu sedang membicarakanku. Sayup-sayup mata mereka melihat dari bawah sampai atasku sambil berbisik. Aku mencoba tak menghiraukan suara mereka dengan kembali memperhatikan guru. Walau hati tidak bisa diam, tapi apa yang harus dilakukan selain berharap mereka semua hilang dari pandanganku. Suara mereka semakin menjalari ruangan. Ah, aku mulai berpikir macam-macam. Entah dari mana datangnya keberanianku saat itu, “Woi bisa diam gak”, bentakku. Suasana kelas hening seketika, mulai merasa malu, pundakku mendadak begitu berat, kepala seperti dilanda vertigo lengkap dengan wajah meremang.
Tok…Tok…Tok…
Suara ketukan tiga kali itu memecah keheningan kelas. “Ini absensi baru, tolong diisi lengkap ya, yang lama disimpan aja dulu”, itu pak Nasution.”Alhamdulillah, untuk ada beliau” aku bersyukur. Guru dalam kelas mulai menjelaskan pelajaran kembali. “Sepertinya sudah kembali normal”, pikirku. Tidak, mereka semua menatapku dengan sinis. Tak terkecuali Farhan. Hari ini, aku benar-benar merasakan ada sesuatu yang aneh dalam tubuhku. Entah mengapa sepertinya aku gak enak badan, mungkin karena salah tingkah tentang kejadian ini atau terlalu kupikirkan. Tak lama kemudian, jam istirahat tiba. Kubangkitkan tubuh kaku ini dan segera bergegas menuju kantin. Guna, menghilangkan rasa beban yang bersemayam di kepalaku. Sejak kejadian itu, pikiran yang mulanya tenang menjadi penuh oleh rasa malu, wajahku juga sering pucat pasi, Farhan yang mengatakan itu. Ironisnya, terkadang Farhan tidak duduk menjadi kawan bicaraku, dia juga sering berbaur dengan mereka. Jujur, sebenarnya aku merasa malu juga kesepian seolah sedang dipojokkan. Spontan kadang aku melirik kearah Farhan. Dia sedang tertawa bersama. Itu juga membuatku kesal tambah sedikit iri.
Di rumah, setelah pulang sekolah. Aku berusaha menyembunyikan keadaan perasaanku. Tapi, ibu. Seorang yang telah melahirkanku. Tidak mungkin aku bisa bersembunyi terlalu dalam. Namanya juga kontak batin. Mustahil seorang anak mampu membohongi ibunya. “Kamu kenapa Rama, lagi gak enak badan ya?” tanya ibu. Hanya tersenyum, kulakukan agar tidak terlihat dalam masalah. “Gak ada apa-apa kok buk, lagi pengen istirahat aja”, kuhindari pembicaraan dengan ibu. Tanpa pikir panjang, segera kulangkahkan kaki menuju kamar. Menjatuhi tubuh yang tidak berdaya ini ke kasur yang empuk. “Huh” sangat menyedihkan. Aku mulai mengingat kembali tentang kejadian di sekolah. Rasanya kepalaku mulai berdetak, terasa sakit. Kuambil bantal dan segera ingin memejamkan mata, kupaksakan untuk tertidur. Di kaca jendela, terpantul cahaya dari luar, seolah mereka menunjuk ke arahku sebagai seorang pecundang. Angan-angan yang hangat. Tapi satu lagi, ada sesuatu yang mengganjal di benakku, hati ini tetap tak dapat tenang. “Udah ah” batinku berbisik. Sebuah hal yang tidak penting, jika dipikirkan terlalu lama itu hanya akan menjadi sebuah kesia-sian. Terus berusaha melupakan, seraya menarik bantal guling dan kupeluk dengan erat.
Allahu Akbar… Allahu Akbar…
Adzan ashar berkumandang, usai perjuangan yang kulakukan. Walau tidak mendominasi hilangnya rasa itu, aku segera bergegas bersiap ke masjid. Usai bersiap, aku keluar dari kamar. Ibu tersenyum padaku, “Kamu kenapa Rama?” kegugupan menusuk mental, aku tidak tau apa yang harus keluar dari lisan ini. “Gak ada apa-apa kok buk, o ya Rama ke masjid dulu ya” sekali lagi aku berusaha mengelak pembicaraan dengan ibu. Di perjalanan, aku menggeremet sambil terus mengingat hal bodoh itu lagi. Berusaha terus dilupakan, sangat sulit. “Ingat!” kata yang terus mengaum di telingaku. Masalah tidak akan tuntas jika inti dari permasalahan ini belum kutemui. Mulai dari situ, aku berpikir, haruskah aku menjaga tutur lisan juga batinku? Menjadi sebuah tanda tanya besar bagi seorang yang hanya memiliki satu orang teman. Usai shalat zuhur, seperti lazimnya aku membantu ibu dan ayah di warteg. Ayah melihat ke arahku “Nak, ceritain aja sama ayah ibuk, kamu lagi punya masalah ya?” Aku tersentak ketika mendengar ucapan ayah, seharusnya ini sudah lenyap dari pikiran ibu. Tapi, pasti ibu menceritakan ini pada ayah. Orang tua yang sangat peka terhadap anaknya. Air mata yang tak dapat kubendung ini mulai membasahi pipiku, aku tidak kuasa menceritakan ini pada ayah dan ibu. Sebelumnya tak sepatah katapun hal yang terjadi di sekolah kubagikan dengan orangtuaku. “Jangan nangis, kok nangis? Udah SMA, malu diliat orang” Ibu mencoba menenangkan. Kulihat kanan kiri, dengan belum datangnya para pembeli, aku mulai membuka mulut “Sebenarnya cuma masalah pergaulan aja”, walau memberitahu, tapi aku tidak akan mengabarkan masalahku dengan jauh. Beban yang ada pada hidup ayah dan ibu sudah cukup, tidak akan kutambah lagi. “Nak, ketika kamu jatuh ingat selalu tiga orang ini. Pertama, siapa yang mendorong. Kedua, siapa yang membantumu berdiri. Dan yang ketiga, siapa yang hanya diam melihat kamu jatuh. Karena semuanya itu akan berguna, ketika kamu bisa berjalan kembali”. Nasehat dari Ayah kudengarkan dengan baik. Nasehat emas yang tak pernah kulupakan dari ingatan ini. “Gedebuk” seolah beban yang ada di pundakku terjatuh ke tanah. Ini menjadi lebih baik. Kupeluk Ibu dan Ayah, “Aku sayang Ibu Ayah” hatiku berbicara. Pikiranku melayang ke dimensi lain. Pikiran serta merta qalbu terinstal ulang, kosong dengan hal yang baru. Kemudian, aku kembali melanjutkan pekerjaan disertai hati yang tentram. Pelanggan sudah mulai berdatangan. Lamunan dan kesedihanku hilang seketika mendengar sebuah ucapan semerbak berlian yang dicurahkan oleh Ayah. Dalam keadaan senang, tenang seperti ini. Ingin rasanya aku kembali terlahir sebagai seorang yang jenius dalam menghadapi masalah. Tapi, masa muda tidak akan balik lagi.
Pekerjaan selesai, warteg akhirnya tutup. Tak lama berselang, aku mulai merasakan keganjilan. Pikiran ini terus berputar, sangat pedih. Pesan WA muncul di beranda HP ku. “Rama, besok kan minggu. Si Andi ulang tahun. Hadir ya, aku tunggu.” Sekira itulah isinya. Dia hanya menunggu satu jawaban antara iya atau tidak. Kebingungan hadir dalam benak. Aku harus berpikir dua kali untuk menjawab pertanyaan ini. Tapi, sepertinya bisa deh, mentak. Aku hanya perlu meminta izin pada ibu untuk hal ini. Akhirnya kuputuskan dengan respon “Iya” semengga itu saja. Farhan tidak membalas kembali pesanku, kumaklumi karena ia memiliki teman yang tidak hanya satu. Aku terus memikirkan apa yang akan terjadi esok. Jika aku ke tempatnya Andi, mungkinkah hanya akan dipojokkan. Tergiang hal-hal aneh yang mulai muncul di kepalaku. Jam menunjukkan 09.45 kuputuskan untuk menyelam dalam mimpi indah saja, agar pikiran ini menjadi nyaman kembali.
Suara alarm mengejutkanku, setelah akhirnya, aku melupakan yang berada dalam pikiran ini semalam. Bergegas untuk shalat subuh dan mandi, kulakukan agar tidak terlambat. Setelah selesai, kulangkahkan kaki untuk meminta izin kepada ibu terkait hal yang kujanjikan dengan Farhan. “Buk, boleh gak kalau aku gak ngebantu hari ini?” kubuka pertanyaan dengan lembut. “Boleh…” mendadak perasaanku gemerlap. Bibirku mulai tersenyum lebar. “Mengapa semudah ini?” terbisik kembali di lubuk hati. Mungkin karena ibu tau, aku sangat jarang keluar bersama teman di hari minggu, sehingga perizinan diberi dengan mudah, jam berada pada 07.20, aku bersarapan. Menambah tenaga untuk menjalankan aktifitas juga rutinitas pada hari ini. Sebelum berangkat, mending kubantu ibu membuka warteg, itu lebih berguna. Kulihat satu per satu pembeli mulai melintasi jalan dan menuju ke warteg. Semakin lama semakin ramai, tidak seperti biasanya. Sepertinya Ayah Sedang beristirahat. Tak mungkin kutinggalkan Ibu dalam kondisi saat ini. Aku membantu Ibu melayani pembeli yang semakin bertambah. Terdengar gerantang dari salah satu pelanggan “Udah dari tadi ditunggu ini!” Ibu mulai mengeluarkan keringat, tanda kepenatan bertempat. Kubatalkan janji tersebut, demi Ibu. Agar kehidupanku terus berkah. Aku tak ingin mengabaikan ibu. Kuputuskan untuk membantu ibu hari ini. Pelanggan yang berdatangan terus muncul, sampai akhirnya jam telah berada pada angka 12.04 jantungku bergembut kencang, rasa seperti bangun tidur di jam enam setelah bergadang di malam hari. Sangat kepenatan, aku dan Ibu beristirahat sejenak. “Rama, kamu gak jadi keluar sama temen?” Ibu memulai pembicaraan. “Gak buk, kalau aku pergi, siapa yang bantu ibuk, lagian gak perlu-perlu amat” Ibu hanya tersenyum sambil mengusap keringat yang ada di dahiku. Masa depan gemilang aku peroleh melalui ibu, bukan dari teman.
Bukankah aku telah berusaha semaksimal mungkin? Aku terus melakukan yang terbaik tapi ada kalanya keadaan yang menentukan. Esoknyanya di sekolah, ketika aku dengan santai dan kalemnya duduk, sebuah bogem melayang tepat ke arah belakang kepalaku. Vertigo kembali menimpa. “Rasain tu!” itu yang kudengar dari salah satu lisan mereka. Yang melayangkan pukulan ialah Andi. Tapi mengapa? “Kalo lo gak mau hadir, gak usah ngata-ngatain dari belakang! Kenapa gak dari depan? Takut?” hal itu membuat keringat dingin bercucuran di tubuhku. “Maksudnya?” kutanyakan dengan suara pelan, agar tidak timbul keributan lagi. “Farhan! Dia yang bilang” Farhan? Itu membuat bulu kudukku berdiri ditambah dengan wajah meremang. “Dia bilang, kamu ngatain Ultahku cuman ulang tahun orang miskin, gak selevelan kamu ya!” Andi melanjutkan dengan nada yang tinggi. Keningku mulai memanas, tidak percaya atas yang kudengar barusan, itu membuat perutku sakit. Eksplorasi yang harus disaring ulang. “Aku gak bilang apa-apa, padahal kemaren aku mau datang, cuman karena pelanggan di warteg rame, jadi aku gak hadir” Kujelaskan dengan panjang. “Tapi, kenapa kamu bilang kalo kami itu grecok?” “Hah, kapan?” aku mulai bingung tentang apa yang mereka ucapkan. “Farhan, dia yang bilang” untuk kedua kalinya Farhan disebut lagi. “Aku brani sumpah, aku gak pernah bilang apa-apa buat kalian” mereka terdiam hening, sekiranya sekarang mereka mengetahui bagaimana perjuangan yang kulakukan untuk tetap terlihat baik. Tapi Farhan, ia tidak hadir ke sekolah hari ini. Kuputuskan untuk menunggunya esok.
Esoknya di sekolah, aku tidak melihatnya. Bahkan mereka tidak tau ada apa dengannya. Sepuluh hari kutunggu kehadiran Farhan, rasanya seperti menunggu satu bulan. Hingga akhirnya, Farhan datang ke sekolah pada hari ke sebelas. Kusiapkan tinju untuk menerbangkannya ke mukanya. Farhan masuk ke kelas, teman-teman lain merapat ingin menyaksikannya. Wajah Farhan terlihat pucat, ia seperti tak berdaya. Andi membuka mulut “Kamu kenapa Han?” Farhan mulai membuka mulut “Ayahku telah tiada” jawaban singkat itu membuat tubuhku bergetar. Jika saja aku sempat memukulnya, kesedihan yang ia miliki pasti berlimpat ganda. Kurungkan niat untuk memberinya pelajaran. “Tapi kenapa kamu memfitnahku?” tiba-tiba lisan ini berbicara. “Maaf Rama, sebenarnya aku ingin memiliki dua kesenangan sepertimu, memiliki waktu bersama keluarga dan dekat dengan teman-teman. Karena itu, aku menjelekkan namamu didepan mereka semua, sedangkan orangtua ku, mereka sibuk bekerja. Aku tak ingin kamu mendapat dua kesenangan itu sekaligus” jawaban yang tidak masuk akal. Ternyata kepedulian yang diperlihatkan oleh Farhan selama ini, hanyalah tipu belaka. Hingga aku tersadar bahwa teman dekat yang selalu memedulikanku adalah musuh yang bersembunyi di belakangku.