Oleh Azmi Abubakar, Lc, M.H
Membaca Aceh lewat Ramadan menjadi satu hal menarik, terlebih karena Aceh telah punya wewenang menerapkan syari’at Islam. Ramadan sebagai bulan penuh berkah dan fungsinya sebagai madrasah rabbaniyah akan memperlihatkan seberapa besar kegigihan dan antusiasme Aceh dalam memperhambakan diri (ta’abbud) pada tuhannya.
Kegigihan dan antusiasme dalam bulan Ramadan ini penulis istilahkan sebagai asmara Ramadan. Asmara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rasa cinta (KBBI, 2008) Asmara yang penulis maksud di sini adalah asmara sebagaimana diterjemahkan (tathbiq) para kaum sufi beberapa dekade lalu sebagai bentuk cinta (mahabbah) kepada tuhan. Di mana para kaum sufi telah manjadikan tuhannya sebagai kekasih hati yang tidak tergantikan.
Dalam perjalanannya, wujud asmara masyakarat Aceh terhadap bulan Ramadan ditandai dengan adanya tradisi meugang. Ini merupakan titik awal terjadinya asmara Ramadan dimaksud, walaupun di kemudian hari tradisi ini telah mengalami pergeseran nilai di kalangan masyarakat Aceh postmodern. Kemudian benih asmara kedua diterjemahkan pula lewat ibadah tarawih pada malam bulan Ramadhan. Di mana saat-saat awal pelaksanaan tarawih, terlihat kuantitas jama’ah yang sedemikan besarnya memenuhi shaf mesjid. Bahkan kaum ibu turut menyertakan anak-anaknya yang masih kecil.
Bentuk asmara ketiga terjadi ketika datangnya waktu berbuka puasa. Saat itu mesjid penuh dengan beragam menu makanan, ramai para jama’ah datang berbuka puasa dan shalat bersama. Pada posisi ini asmara Ramadan telah memperlihatkan betapa kebersamaan dan persaudaraan sesama muslim dapat terjalin dengan indah sekali.
Sayangnya asmara Ramadan sering berhenti pada fase ini. Pada hari-hari selanjutnya jama’ah tarawih di mesjid telah berkurang, jadwal kedatangan orang berbuka puasa sudah tak teratur lagi. Lebih fatal lagi adalah manakala asmara Ramadan coba diterjemahkan oleh muda-mudi sebagai bentuk asmara syaitan atau ma’ruf pada kita dengan istilah asmara shubuh.
Asmara shubuh tidak dipandang sebagai bentuk cinta kepada tuhan dalam mengerjakan hal-hal positif. Asmara shubuh berasal dari bisikan-bisikan syaitan untuk menjerumus manusia ke jalur maksiat. Parahnya tradisi ini telah berlangsung lama dalam ranah Aceh postmodern. Asmara Ramadhan semakin menjauh ketika kaum ibu disibukkan dengan menyiapkan baju baru dan kue lebaran. Pada tahap ini esensi Ramadan sama sekali tak lagi diingat. Ramadan benar-benar tidak lagi dijadikan sebagai madrasah untuk memperbaiki kualitas ibadah.
Selain itu, kuasa media turut serta mempengaruhi gaya dan pola pikir masyarakat ke arah yang tidak islami. Media juga telah memberangus waktu untuk tidak melakukan hal-hal positif keagamaan. Ketidakmampuan memanfaatkan media tekhnologi di pelosok Aceh telah menjadikan anak-anak Aceh kehilangan ruhnya.
Anak-anak Aceh telah disibukkan dengan game-game online menarik. Jangankan memahami asmara Ramadan, ibadah-ibadah dasar saja tak menjadi perhatian utama mereka. Padahal jika merunut kepada sejarah, kekuatan anak-anak Aceh masa dulu ada ketika mereka di gembleng di institusi dayah. Dalam tradisi masyarakat Aceh, anak- laki-laki yang berumur tujuh tahun bahkan harus diserahkan kepada teungku pengajian untuk dididik dan dijaga .
Ibrahim Alfian dalam bukunya Perang di Jalan Allah menyebutkan bagaimana dramatisnya orang tua menyerahkan sang anak kepada sang guru; kedatangan saya menghadap teungku untuk menyerahkan anak saya menurut hukum Allah dan Nabi serta hukum teungku untuk diberi pengajian agama, kalau perlu pukullah ia, asal tidak jadi cacat atau buta. (Ibrahim Alfian; 1987).
Belajar dari masyarakat Mesir, maka kita akan menemukan corak lain dari asmara Ramadan. Keikhlasan muhsinin yakni orang-orang kaya Mesir yang menyediakan makanan berbuka puasa patutlah diteladani. Dari sini orang-orang mampu di Aceh selayaknya mengakrabkan diri dengan beragam corak sedekah, terlebih di bulan penuh berkah ini.
Reformasi meunasah atau mesjid dengan menyertakan imam dan muazzin (bileue) berkualitas menjadi sesuatu yang niscaya. Imam (teungku imum) adalah seorang yang fakih, masih kuat dan sempurna secara fisik, di tambah kefasihan dan merdu suaranya sehingga para jamaah betah menghayati setiap lantunan ayat yang dibaca. Wal hasil Aceh bisa menikmati asmara Ramadannya dengan indah.
Pada akhirnya asmara Ramadan menjadi menjadi bukti seberapa besar wujud penghambaan diri pada sang pencipta. Kita berharap eksistensi asmara Ramadan selalu ada dan terus berkembang dengan baik dalam menjalankan setiap titahNya. Melalui asmara Ramadhan semoga kita benar-benar menjadi pribadi yang meraih predikat muttaqin.