ANTARA PILIHAN DUA MANUSIA

Oleh: Ust. Rachmat Tullah, M.Pd (Guru MTs)

Setiap manusia tentu ingin kehadirannya itu dihargai, dan itu fitrah seorang manusia. Namun untuk dapat memaknai atau memperoleh pemaknaan hakiki, yaitu “manusia” seutuhnya. Hal ini tentu saja ada perbedaan antara manusia dan orang. Di sini terfahami bahwa “orang” itu dimaknai hanya berbentuk jasad atau cangkang serta tanpa membawa nilai-nilai luhur dalam kehidupan. Berbeda dengan manusia yang memiliki nilai-nilai luhur yang dapat dicerminkan sikapnya dalam kehidupan sehari-hari antar satu dengan lainnya. Hal ini pasti terbesit dalam diri kita bagaimana untuk menjadi manusia seutuhnya dan tidak terjebak menjadi manusia iblis. Jauh sebelum itu perlu diketahui dulu bahwa dalam Islam itu sendiri sangat menjunjung tinggi akhlak dalam berbagai lini kehidupan. Baik itu dari dimensi agama, sosial, budaya dan lain-lainnya. Bahkan pandangan tersebut diabadikan dalam al-Qur’an. Sementara untuk yang tidak memiliki nilai bahkan notabanenya itu menjerumuskan manusia lain dalam limbah kesesatan juga digambarkan dalam Al-Qur’an bahwa ada iblis (yang dimaksud adalah perilaku) yang berbentuk manusia. Tentu secara fisikal ia seolah-olah manusia, layaknya manusia lain namun hakikatnya ia iblis.

Di sini kita sudah menyamakan persepsi bahwa ada wujud manusia namun hakikatnya iblis. Untuk menjawab dari pertanyaan sebelumnya bahwa bagaimana melepas diri dari kamuflase iblis tersebut adalah ilmu-ilmu agama yang mendasari akan hal tersebut serta cara pandang dalam menilai sebuah persoalan dapat di interprestasi dengan beragam perspektif. Hal ini sesungguhnya juga diajarkan dalam Islam bahkan banyak ayat yang mengulang-ulang pesan-pesan tersebut. Ringkasnya yang sering kita dengar dalam interaksi sehari-hari dalam ungkapan “husnul dhan”, yaitu berbaik sangka. Dan itu letak nilai yang tercerminkan dari diri seseorang menjadi berjiwa besar serta melengkapi pemaknaan “manusia” seutuhnya.

Tidak sedikit orang yang terjebak dengan apa yang dilihat dari kulit luarnya saja, tanpa perlu mengatahui sebenarnya faktor apa yang mempengaruhi hal tersebut terjadi. Atau terkadang hanya sepenggal kejadian (tidak seutuhnya) yang dilihat dan lain sebagainya, yang mana tidak mampu diterjemahkan oleh penalaran personalitas kita. Di sini lah sebenarnya esensi manusia secara nilai moril bukan materil. Banyak kisah yang semestinya dipelajari dalam al-Qur’anul Karim tentang kisah-kisah umat manusia terdahulu. Ada yang berperan sebagai antagonis dan ada juga yang berperan protagonis. Hanya saja peran mana yang akan kita tempuh untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar benar-benar termaknai “manusia” seutuhnya. Semua itu dapat diambil ibrah dalam kehidupan sehari-hari untuk diyakini agar memotivasi diri kepada arah yang sesuai dengan fitrah “manusia” itu sendiri.

Selain dari ilmu agama, serta agar tidak melihat suatu persoalan dengan “kacamata kuda”, perlu juga dengan melatih kecakapan diri untuk dapat mengoptimalkan gelombang emosinal dengan baik dan teratur. Karena ini merupakan unsur dasar, secara alamiah yang akan mempengaruhi lahirnya multi perspektif dalam menginterprestasi suatu persoalan. Maka dari itu, jika semua manusia ditanyai mana yang akan dipilih. Tentu semua akan memilih untuk menjadi manusia seutuhnya. Namun sejatinya prosesi itu semua ditempuh bukan dengan hal yang mudah begitu saja, tanpa adanya sebuah perjuangan atau pengorbanan yang benar-benar dilakukan untuk mencapai sesuai dengan yang dipesankan untuk menjadi “manusia” seutuhnya. Hanya kepada Allah lah kita memohon, kelak diberikan kekuatan agar selalu dapat mengambil peran menjadi manusia seutuhnya yang diridhai serta dijauhkan dari peran yang dimurkai oleh-Nya. Sedari itu, tentukanlah diri berpihak pada yang mana, manusia seutuhnya atau manusia iblis. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *