Ramadan Bukan Hanya Sebatas Rutinitas

Ramadan merupakan bulan yang selalu dinanti-nanti kedatanganya oleh Muslim diseluruh dunia termasuk kita.  Semua orang akan senang dan Bahagia jika dia sudah tiba, namun ada dua pertanyaan terkait ramadahan tersebut, pertama apa persiapan kita dalam menyambutnya?, dan kedua Apakah Ramadan akan menjadi rutinitas semata? Dua pertanyaan tersebut perlu ditelusuri lebih jauh dan mendalam supaya Ramadan tidak datang dan berlalu begitu saja tanpa memberikan sesuatu yang berkesan.

Banyak sekali dalil yang menunjukkan kelebihan Ramadan, seperti Hadis Riwayat Abu Hurairah dalam Sahih Imam Bukhari nomor 2014. Orang yang puasa Ramadan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.  Hadis tersebut mengandung makna yang sangat diimpikan setiap manusia yaitu diampuni dosa-dosanya. Untuk mendapatkan keampunan, tentunya Allah mensyari’atkan kepada hambaNya untuk beriman terlebih dahulu dan kemudian mengamalkan Islam dengan baik yaitu mengamalkan puasa Ramadan.

Pengamalan puasa tidaklah sempurna tanpa menuntut ilmu fikih puasa, mulai dari syarat, rukun, hal yang membatalkan puasa, hal yang membatalkan pahala puasa, amalan-amalan yang dianjurkan dalam bulan sucin ini dan lainnya yang berkaitan dengan Ramadan. Ilmu yang disebut di atas berfungsi sebagai kompas bagi kita supaya dalam menjalankan ibadah puasa selalu terarah dan berada pada jalan yang diinginkan oleh Agama. Merujuk pada ulama terpercaya dan refensi-refensi penting terkait fikih puasa merupakan urgensi yang tidak boleh dianggap sepela melihat dewasa ini mudahnya menuntut ilmu melalui medsos tanpa memperdulikan kredibelitas dan sanad keilmuan sang guru. 

Selain fikih puasa perlu juga dituntut falsafah puasa supaya berpuasa tidak sebatas pengamalan yang akan menjadi rutinitas, melainkan juga pengamalan batin yang sangat diharapkan dari puasa itu sendiri. Bila merujuk pada akhir ayat puasa jelaslah bahwa diantara hikmah yang ingin dicapai dari puasa tersebut adalah taqwa, maka perlu perhatian kita terkait ini. Selain hikmah di atas, puasa juga memiliki nilai-nilai pengendalian diri dari segala sesuatu, baik sifat yang baik apalagi yang buruk, hal ini berasal dari kesadaran internal untuk senantiasa patuh pada perintah Allah dan menyadari bahwa setiap perbuatan dipantau oleh Allah. Dalam hal ini agama telah menganjurkan kita untuk selalu berdoa kepada Allah supaya ditetapkan dalam ketaatan. Substansi puasa adalah pengendalian diri yang berasal dari dalam, bukan dari luar. Maka itu, orang harus dapat mengendalikan dirinya sendiri tanpa bergantung pada kontrol dari orang lain. Dalam hadis, makna puasa disebut sebagai Junnah atau perisai. 

Puasa juga mengandung nilai kecukupan, dimana manusia mencukupkan diri dan menahan sifat alamiahnya untuk melampaui batas. Puasa dilakukan untuk menahan kecenderungan untuk mendapatkan kepuasan dengan memiliki segala sesuatu yang diinginkan. Manusia harus sadar bahwa Allah telah mencukupkan kebutuhan kita dan harus mempu menahan diri dari keinginan dunia yang tidak akan pernah puas. Orang harus belajar untuk menahan kecenderungan untuk memperoleh kekayaan dan kekuasaan dengan cara yang batil, seperti pencurian, ghasab (merampas), menyuap, korupsi, dan sejenisnya. Bahkan orang itu menggunakan hartanya itu untuk menyuap hakim, membawa ke persoalan legal hukum untuk melindungi kebatilannya. Jadi, seakan-akan tidak salah secara legal, tapi sesungguhnya menyalahi. Puasa diharapkan dapat membimbing manusia pada perubahan yang sejati dan mengembangkan kesadaran internal dan sifat ihsan. Dengan begitu, manusia akan senantiasa jujur dalam setiap kondisi yang dilakukannya. 

Dengan mengamalkan dua hal di atas kita berdoa kepada Allah yang maha kuasa semoga menjadi hamba yang taqwa dan selalu dalam rahmad serta ridhanya di dunia dan akhirat, amin ya rabbal alamin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *