Fikih merupakan produk hukum yang bersumber dari syari’at dan ijtihad ulama. Untuk kesempurnaan dan keabsahan suatu ibadah, setiap insan mukallaf wajib mengetahui ketentuan hukum dalam mengerjakan setiap perkerjaannya, baik pekerjaan itu bersifat ibadah mahdah, ghair mahdahatau pekerjaan sosial kemasyaratakatan. Ketentuan hukum fikih (disebut dengan hukum taklifi) telah ulama usul rincikan, yaitu: mubah, sunah, wajib, makruh, dan haram. Dalam mengamalkan kelima hukum tersebut, mukallaf dituntut untuk mengetahui amalan mana yang harus dilakukan apabila berbenturan dengan waktu yang bersamaan. Disinilah peran dari fikih perioritas atau disebut dengan fiqh awwaliyat.
Fikih perioritas disini adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai dan pengamalannya. Dalam melakukan suatu amalan harus dipilih dan didahulukan berdasarkan penilaian Syariah atau fikih yang benar berdasarkan ilmu fikih atau usul fikih bukan sebatas anggapan atau dugaan semata. Untuk itu setiap mukallaf dituntut mempelajari ilmu agama yang bersifat fardhu ‘in supaya mampu mengamalkan perintah agama yang hukumnya tidak terlepas dari hukum taklifi tadi. Bertanya pada yang ahli juga suatu tuntutan dalam memperioritaskan suatu amalan.
Memiliki ilmu pengetahauan agama yang baik atau bertanya pada ahli agama mampu mengamalkan fikih dengan baik sehingga sesuau yang tidak penting tidak didahulukan dari sesuatu yang penting, sesuatu yang yang kuat (marjuh) tidak didahulukan dari sesuatu yang kuat (rajih), dan sesuatu yang biasa-bisa saja tidak didahulukan atas sesuatu yang utama atau yang lebih utama. Sesuatu yang semestinya didahulukan harus didahulukan, dan yang semestinya diakhirkan harus diakhirkan. Sesuatu yang kecil tidak perlu dibesarkan, dan sesuatu yang penting tidak boleh diabaikan. Setiap perkara mesti diletakkan ditempatnya dengan seimbang dan lurus, tidak lebih dan tidak kurang.
Yusuf Qardawi dalam muqaddimah fikih awwaliyatnya menyebutkan bahwa dasar pengerjaan ini adalah nilai, hukum pelaksanaan dan pemberian beban menurut pandangan agama adalah berbeda-beda satu dengan lainnya. Semuanya tida berapada pada satu tingkat. Ada yang besar dan ada pula yang kecil; ada yang pokok dan ada pula yang cabang, ada yang berbentuk rukun ada ada pula yang sekedar pelengkap, ada persoalan yang menduduki tempat utama dan ada pula yang hanya menempati persoalan pelengkap. Ada yang tinggi dan ada pula yang rendah.
Pernyataan di atas bisa ditemukan dalam Al-Qur’an surah al-taubah ayat 19-20. “Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan ibadah haji dan mengurus Masjid al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum Muslim yang zalim. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”
Terdapat pula banyak hadis yang menyebutkan tentang perirotas dalam beramal, seperti Rasulullah saw juga bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih; yang paling tinggi di antaranya ialah ‘la ilaha illa Allah,’ dan yang paling rendah ialah ‘menyingkirkan gangguan dari jalan.'”
Para sahabat Nabi saw memiliki antusiasme untuk mengetahui amalan yang paling utama (atau yang diprioritaskan), untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu banyak sekali pertanyaan yang mereka ajukan kepada baginda Nabi saw mengenai amalan yang paling mulia, amalan yang paling dicintai Allah SWT; sebagaimana pertanyaan yang pernah dikemukakan oleh Ibn Mas’ud, Abu Dzarr, dan lain-lain. Jawaban yang diberikan Nabi saw atas pertanyaan itupun banyak sekali, sehingga tidak sedikit hadits yang dimulai dengan ungkapan ‘Amalan yang paling mulia…”; dan ungkapan ‘Amalan yang paling dicintai Allah ialah.”
Sebelum menentukan skala priorotas, seorang muslim terlbih dahulu mengetahui bobot nilai (jenis hukum) segala sesuatu yang dihadapinya. Cerdas dalam menentukan nilai hukum. Misalkan meninggalkan makan karena sudah kenyang, atau menghabiskan karena takut mubazir, disini perlu kecerdasan seseorang dalam menentukan bobot nilainya. Sebab kedua hal ini larangan, namun kekenyang bisa menimbbulkan kemudaratan lebih besar dari pada mubazir. Menyumbang uang untuk membangun mesjid di wilayah yang sudah banyak mesjidnya, atau menyumbang uang untuk membangun mesjid di wilayah yang mesjidnya sangat jarang?; Menyibukkan diri dengan ibadah sunnah di mesjid, atau menjalankan kewajiban mencari nafkah untuk keluarga?; Mengejar pahala sunnah berjamaah di mesjid, atau menghindar bahaya penularan wabah? Melaksanakan haji atau umrah berkali-kali, atau menyumbangkan uangnya untuk biaya pendidikan orang-orang miskin di sekitarnya? Sangatlah baik jika selalu mengedepan prioritas dalam beramal supaya mendapatkan nilai-nilai keadilan dan keutaman. Allahu a’lam.