Tazkiyatun Nafs: Modal Ketakwaan

Oleh: Rizki Mustaqim, S.Th, MA

(Alumnus Jeumala Amal 2002)

Alhamdulillah, umat muslim di seluruh penjuru dunia sedang bersuka cita karena datangnya bulan suci Ramadhan tahun 1443 H. Di bulan Agung ini, umat muslim akan merasakan nikmatnya beribadah karena Allah akan melipatkan gandakan pahala di dalamnya. Ramadhan merupakan bulan istimewa, bulan yang dinantikan oleh seluruh kaum mukmin laki-laki dan wanita sebagai bulan untuk melatih diri menjadi manusia yang bertakwa. Oleh karena itu, sebagai salah satu jalan meraih derajat takwa, maka sangat diperlukan beberapa persiapan dalam menyambutnya agar ibadah tahunan tersebut mampu memberikan kesan yang mendalam kepada shaimin (orang yang berpuasa). Dan diantara persiapan agung tersebut ialah dengan melakukan proses tazkiyatun nafsi (penyucian jiwa).

Sebagai persiapan agung dibulan yang agung ini, diwajibakan kepada setiap pribadi muslim untuk mengosongkan jiwanya dari akhlak serta perbuatan tercela, sebaliknya memasukkan segala kebaikan-kebaikan kedalamnya, berusaha selalu untuk menyucikan jiwa serta memperbaikinya. Tazkiyatun nafsi dapat bermakna thaharah, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Syam ayat 10 “sungguh telah menang orang-orang yang menyucikan jiwanya” yaitu siapa saja yang membersihkan dan memperbaiki jiwanya. Tazkiyatun nafsi juga bermakna bertambah dan tumbuh, sebagaimana makna zakat dalam arti bahasa yaitu tumbuh dan bertambah. Diterangkan dalam hadits Nabi yang berbunyi “tidaklah berkurang harta dari seseorang yang bersedekah, malah dengan bersedakah akan menambahkan harta seseorang”

Diantara keagungan tazkiyatun nafsi, bahwa Allah bersumpah di dalam al-Qur’an dengan 11 kali sumpah, yang menerangkan bahwasanya tazkiyatun nafsi adalah cara untuk meraih kemenangan, hal itu termaktub dalam surah al-Syam ayat 1 – 7, lalu Allah menutup sumpah-Nya dengan mengatakan bahwa sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, yaitu orang yang membersihkan dan memperbaikinya. Sebaliknya sungguh rugi orang yang mengotori jiwanya, yaitu orang yang menghinakannya. Keagungan lainnya dari tazkiyatun nafsi adalah Allah memberikan balasan yang tinggi kepada yang gemar menyucikan jiwanya, hal itu tertera dalam surah Thoha ayat 75, “barang siapa yang datang kepada Allah dalam keadaan beriman dan mengerjakan kebaikan, maka mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan derajat yang tinggi (mulia) yaitu surga-surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan bagi orang yang menyucikan jiwanya”.

Bahkan hal terpenting dari tazkiyatun nafsi adalah, ia menjadi salah satu tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad SAW. Allah menjelaskan hal tersebut dalam banyak ayat al-Qur’an, diantaranya dalam surah al-Baqarah ayat 151,“sebagaimana kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepadamu dan menyucikan diri mu dan mengajarkan kepadamu al-Qur’an dan al-Hikmah (al-Sunnah) serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui”. Makna firman-Nya “menyucikan jiwa mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotornya jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah serta mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya Allah.

Korelasi antara pentingnya tazakiyatun nafsi dengan ketakwaan yang akan diraih seorang muslim ketika berpuasa nanti ialah bahwa ketakwaan kepada Allah yang sebenarnya tidak akan mungkin tercapai kecuali dengan berusaha menyucikan jiwa terlebih dahulu dan membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran yang menghalangi seorang hamba untuk dekat kepada Allah. Sehingga menjadi sebuah keniscayaan syarat utama dalam menjemput bulan suci Ramadhan adalah berusaha membersihkan dan menyucikan jiwa (tazkiyatun nafsi) terlebih dahulu.

            Sampai disini muncul pertanyaan, bagaimana seorang muslim dapat menyucikan jiwa serta memperbaikinya? Maka jalan atau metode untuk menyucikan jiwa itu banyak sekali yang diterangkan dalam al-Qur’an dan yang telah diajarkan oleh baginda Nabi Muhammad. Salah satu yang paling penting adalah dengan cara muhasabatun nafsi, yaitu dengan cara menghisab atau intropeksi diri. Maka wajib bagi seorang muslim untuk berhenti sejenak dalam kehidupannya untuk merenung dan menghisab dirinya. Sangat disayangkan waktu yang berjalan hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dan tahun demi tahun berlalu begitu saja tanpa ada perenungan didalamnya, lalu tiba-tiba mendapati diri kita lemah kaku, membisu menghadap kepada Rabb untuk mempertanggung jawabkan seluruh amal.

Banyak ayat al-Qur’an yang mengingatkan tentang pentingnya muhasabah ini, diantaranya yang tertera dalam surah al-Zalzalah ayat 6-8. Allah akan menghitung segala perbuatan manusia baik yang ditampakkan maupun yang disembunyikannya. Allah berfirman dalam surah al-Mujadalah ayat 6, “pada hari ketika mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha menyaksikan segala sesuatu”. Manusia menyangka Allah telah lupa terhadap semua yang dikerjakan selama di dunia, maka itu adalah sangkaan yang salah karena Allah mencatat semua apa yang mereka katakan dan yang mereka kerjakan. Maka pada saat itu kemana hamba akan mengadu, sedangkan semua akan bersaksi terhadap, mulut, tangan, kaki, mata, kulit bahkan sampai pendengaran dan penglihatan mereka.

            Lalu muncul pertanyaan kedua, bagaimana seorang muslim menghisab diri mereka? Muhasabatun nafsi, sebagaimana yang telah diterengkan oleh ahlu ilmi, harus ditempuh melalui 3 tahapan: tahap pertama, yaitu muhasabah sebelum amal, tahap kedua yaitu muhasabah di pertengahan amal dan tahap ketiga yaitu muhasabah setelah amal. Adapun muhasabah sebelum amal dimulai dari bangunnya seorang hamba dari tidurnya dipagi hari, maka ketika bangun dari tidur seorang muslim harus menyadari sepenuh hati bahwasanya Allah telah kembali memberikan ni’mat yang besar berupa hari yang baru, dimana banyak dari manusia lainnya yang tidak dapat menjemput paginya karena Allah telah lebih dahulu memanggilnya. Oleh karena itu, seyogiayanya seorang hamba memanfaatkan ni’mat Agung tersebut. Tidur merupakan kematian kecil, sehingga baginda Nabi mengajarkan kepada umatnya kata yang pertama kali yang mesti diucap oleh seorang muslim ketika bangun dari tidurnya adalah “alhamdulillahilladzi ahyani ba’da ma amatani wa ilaihi nusyur”. Ni’mat yang besar dimana seorang muslim bisa bertaubat kepada Allah, hari baru dimana seorang hamba bisa mendekatkan diri kepada Allah dengan keta’atan. Imam Hasan al-Bashri pernah berkata “tidak lah datang suatu hari dari hari-hari didunia ini melainkan ia berkata, “Wahai manusia! Sesungguhnya aku akan menjadi saksi (di hadapan Allah) atas apa-apa yang kalian lakukan padaku”.

Bagi seorang muslim ada tiga hak yang harus ditunaikan setiap harinya. Hak yang pertama adalah hak Allah atas diri hamba, kemudian hak hamba atas dirinya, yang terakhir hak harta, keluarga dan manusia atas diri hamba. Dalam surah al-Qashas ayat 77 Allah berfirman: “dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah kepada orang lain, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”. Ahlu ilmi berkata bahwa ayat di atas mengandung kewajiban pemenuhan 3 hak sekaligus, yaitu hak kepada Allah, hak terhadap diri sendiri dan hak terhadap manusia lainnya.

            Adapun tahap kedua dari muhasabatun nafsi yaitu, muhasabah di pertengahan amal. Tahapan ini ditempuh dengan cara memiliki sikap muraqabatullah, yaitu sikap yang selalu yakin bahwa seorang hamba merasa terus dipantau dan diawasi oleh Allah. Allah Maha mengetahui baik yang diperlihatkan maupun yang disembunyikan oleh seorang hamba. Dalam surah al-Nisa’ ayat 108 Allah berfirman “mereka dapat bersembunyi dari manusia tetapi mereka tidak dapat bersembunyi dari Allah, karena Allah bersama mereka”. Maka dengan sikap muraqabatullah seorang hamba dapat terhindar dari segala ma’siat serta prilaku keji dan munkar.

            Selanjutnya tahap terakhir dari muhasabatun nafsi yaitu, muhasabah setelah amal. Muhasabah setelah amal terjadi pada akhir dari hari seseorang, ketika seorang hamba hendak menuju ke pembaringannya untuk tidur, maka hisablah diri sekali lagi. Apakah seorang hamba telah menunaikan hak Allah atas dirinya, hak atas dirinya sendiri serta hak harta, keluarga dan manusia lainnya atas dirinya? Itulah dasar-dasar dari muhasabatun nafsi yang menjadi cikal bekal terhadap sempurnanya proses tazkiyatun nafsi, penyucian dan perbaikan amal seorang hamba ketika menyambut bulan suci Ramadhan. Kita berdo’a semoga Allah  menjadikan Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan yang paling khusyu’ diantara Ramadhan yang telah kita lalui. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *