Suri Tauladan Dari Sang Panutan

Oleh: Belqis Putri Fauzi (IX-8 MTs)

“Bunda! .. Bukan itu yang Allah tetapkan! .. Bukan juga yang Rasulullah perintahkan!” tegur Emira.

“Tapi, kalau bukan begini, kita tidak akan untung, Ra” kata bunda. Ia benar-benar bingung sekarang. Bagaimana tidak, pasalnya sudah puluhan kali ia memutar otak, berpikir bagaimana cara agar keuntungan dari pabrik tahu satu-satunya itu meningkat. Tapi sayangnya, cara yang ia terapkan kali ini salah.

“Masih banyak cara lain, bunda lupa ya? Ayah pernah bilang, kita harus selalu jujur dalam setiap hal” bantah Emira.

“Itu dulu ! .. Selama ini kita selalu nurutin apa yang ayah bilang, tapi nyatanya apa? hidup kita masih aja pas-pasan. Lagipula ayah kamu sudah tiada”.

“Bun, ayah memang udah ga ada. Tapi tuhannya ayah selalu mengawasi kita. Tuhannya ayah juga Tuhan kita kan?” jawab Emira lagi. Suaranya serak, bulir-bulir hangat dari sudut matanya berlarian keluar, berlomba-lomba ingin jatuh duluan.

“Udah lah.. terserah kamu, Bunda capek selalu berantem!”. Raina kembali melangkahkan kakinya, setelah sempat terhenti cukup lama. Sedang Emira masih terdiam ti tengah kamar, isakannya makin menggema ke seluruh ruangan.

~FLASHBACK OFF~

Mungkin itulah sekelebat bayangan yang kembali hadir, memenuhi pikiran Emira. Perdebatan demi perdebatan sering hadir akhir-akhir ini mengeruhkan hidup bahagia. Namun semenjak ayah pergi menghadap Ilahi, semua kesenangan itu juga ikut pergi. Huhh!!.. sudahlah.

Emira melirik jam sekilas, “09.18, masih ada waktu untuk shalat Dhuha” lirihnya. Ia mulai bangkit melangkah dengan pasti menuju kamar mandi. Dengan cepat ia tuntaskan wudhunya, lalu menuju mushalla. Tak lupa ia membentangkan sajadah di hadapannya.

“Allahu Akbar” ia memulai ibadahnya. Rakaat pertama ia lantunkan surah Adh-Dhuha, sedang rakaat kedua ia lanjutkan dengan surah Asy-Syams.

“Assalamu’alaikum warahmatullah” ia mengakhiri shalatnya. Tangan Emira kembali menengadah, ia bersiap memohon akan belas kasih Tuhannya. Ia memulai dengan memuji kesucian zat yang tiada bandingnya. Lalu bershalawat kepada seorang hamba yang paling disayang Tuhan semesta alam. Dan sekarang .. ia memulai doanya.

“Ya Allah yang maha baik, hamba memohon belas kasih Mu. Sayangilah kami, sebagaimana Engkau menyayangi kekasih Mu yang hamba rindukan itu. Ya Allah, kuatkanlah  hamba menghadapi segala cobaan yang menerpa, sebagaimana engkau kuatkan pasukan Muslim di kala berperang merebut Baitul Maqdis dulu”. Doanya terhenti, bulir-bulir itu bergulir lagi. Sesenggukan beberapa kali terdengar, namun ia tetap teguh melanjutkan doanya.

“Ya Allah, jagalah Bunda  dalam perlindungan MU. Sebab akan sangat merugi bagi hamba jika Bunda terjerumus dalam pahitnya neraka MU. Ya Allah, jadikanlah kami taat akan perintah Mu. Dan, tidak akan goyah hanya karena gerimis kecil ini. Ya Allah, tiada satu hal pun yang hamba harapkan selain pengampunan Mu, rahmat Mu, kasih sayang Mu, ridha Mu, pertemuan dengan Mu, serta syafaat dari Rasul Mu kelak. Ya Allah, Ya Mujib, perkenankanlah doa dari hamba Mu yang lemah ini Ya Allah. Amien, amien, amien ya Rabbal ‘alamin”. Ia sudahi doanya seraya ia menangkupkan tangannya sebentar, mungkin ia berpikir.

Lalu dengan segera, ia bangkit dan beranjak dari tempatnya berdoa, bergerak dengan cepat. Sebab tekadnya telah bulat, menuju tempat dimana bundanya berada.

“Bun,” panggil Emira.

“Ya.. Kenapa Emira?”

“Boleh Emira nanya?”

“Kenapa nggak?”

“Bunda takut nggak sama siksaan Allah?” Emira pun memulai inti pembahasannya.

“Kamu nanya apa sih? sudah pasti iya lah jawabannya”

“Sedih gak kalau Rasulullah kecewa sama Bunda?” tanya Emira lagi.

“Pasti sedih, kenapa sih? kok nanya gitu?” Raina mulai panik, bingung akan keadaan.

“Terus kenapa Bunda berani  curang? padahal hasilnya akan jadi bagian dari darah daging kita. Kenapa BUnda tetap menjalani hal yang sudah pasti Rasulullah benci? kenapa?” Emira terhenti, ia menarik nafas dalam-dalam, lalu melanjutkan kalimatnya. “Cukup Rasulullah sebagai cermin kita, yang kebaikan akhlaknya tiada banding, yang lemah lembut perkataannya tak setara dengan makhluk manapun”.

BUndanya tersendak kaget akan kalimat yang dilontarkan anak satu-satunya itu. Ia bingung, tapi ia tegarkan diri dan mulai menjawab.

“Bun,, Bunda harus gimana Ra? ayah nggak ninggalin apa-apa selain hutang! Terpaksa Bunda lakuin ini, Ra” matanya mulai berkaca-kaca.

“Banyak cara lain, Bun!”

“Cara apa, hah?!” intonasinya kini mulai meninggi.

“Apa aja! yang penting halal, Bun!”

Tak ada jawaban, yang terdengar hanyalah isakan. 

“Benar-benar akan rugi kita hidup di atas bumi Allah ini, jika selalu makan sari sesuatu yang haram, Bun!” deru nafasnya makin memburu.

“Tapi, Bunda harus tau, tak ada kata terlambat untuk menyesal dan berubah. Sama-sama kita mulai dari nol” tambah Emira lagi. 

Masih dalam isakan, Raina sempatkan menjawab. “Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah”, air matanya tak  lagi terbendung.

“Maafin Bunda, Ra. Seharusnya Bunda yang mencontohkan hal yang positif. Sebagaimana yang Rasulullah telah contohkan kepada umatnya. Tapi kenyataannya berbanding terbalik” tambah Raina.

“Nggak papa, Bun. Semua manusia pernah berbuat salah” kata Emira menenangkannya.

“Maafin Bunda, Ra” lirihnya lagi.

“Cuma Allah yang berhak maafin Bunda, bukan Emira.Tapi karena ini juga ada sangkutannya dengan Emira, selaku manusia kita wajib memaafkan. Rasulullah yang manusia terbaik selalu memaafkan. Masa kita yang hanya manusia biasa, sulit untuk memaafkan?” jelas Emira panjang lebar.

Tangis haru menyatu, membuat setiap insan yang menyaksikannya terharu.

“Emira, terima kasih atas semua waktu dan tenaga yang habis untuk menasehati Bunda. Semoga Allah mencintai kita semua, karena kamu juga mencintai agamanya.”

“Bunda .. Rasulullah pernah bersabda ‘Manusia yang paling baik itu adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia yang lain’. Jadi, kita harus mengamalkannya, sebab Rasulullah adalah uswatun hasanah bagi semua”.

Bundanya hanya mengangguk paham sambil membuka tangannya lebar-lebar, isyarat agar Emira memeluknya. Sedang dalam hati, sang bunda tidak henti-hentinya beristighfar dan juga bersyukur atas semua rahmat Allah yang maha baik. Ia benar-benar bersyukur telah lahir dalam agama rahmatan lil ‘alamin yang bersumber pada Al-Qur’an Al-karim dan Hadits dari sang panutan alam, Nabi Muhammad SAW. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *