La Tahzan, Fira

Oleh: Naira Afifa bakhtiar (XII MIA 7) 

Tetesan cairan bening mengalir pelan membasahi pipiku. Rintik gerimis di halaman menambah perih yang menusuk di dada. Terasa hampa, namun bayang-bayang pahit masih setia berkelebat membasahi luka yang tak kunjung kering. Peristiwa pagi tadi di meja hijau seolah meremukkan duniaku. Meskipun setiap hari aku menjadi saksi bisu pertengkaran mereka, tak sedikitpun terlintas di benakku akan seperti ini akhirnya.

*** 

Sidang perceraian antara ayahku, Yusri, dan ibuku, Yumna Muzakkar, telah terlaksana pada hari Ahad 11 Oktober 2021, memutuskan bahwa penuntut cerai telah sah bercerai dengan tertuntut. Hak asuh anak resmi diserahkan kepada sang ayah. “Tuk.. tuk… tuk …”, hakim berjubah itu memukulkan palunya dengan penuh wibawa tanpa menyadari bahwa keputusan yang dibuatnya telah memupuskan seorang belia tak berdosa.

Mendengar ketukan palu terakhir hakim, aku bangkit dan berlari sekencang-kencangnya keluar dari ruang sidang.

“Fira !!!..” sekonyong-konyong terdengar suara ibuku. Namun, itu tidak lantas menghentikan langkahku. Amarah dan kecewa telah menguasai pikiranku, meruntuhkan benteng pertahanan terakhir yang hingga beberapa saat lalu berusaha ku pertahankan.

“Mama sama Papa jahat … Fira ditinggal sendiri. Padahal, dulu katanya mau masuk Surga bareng, mau ketemu sama Allah di Surga, mau makan makanan enak juga di sana. Sekarang, Fira malah ditinggal, tidak ada yang peduli sama Fira!”, bentak batinku seraya terus berlari kencang.

Tujuanku kini hanya satu, rumah Nabila. Hanya dia yang mampu menenangkanku di saat-saat seperti ini. Untungnya, rumah Nabila terletak tidak terlalu jauh dari Mahkamah Syari’ah.

Tak lama lima menit, aku telah sampai di depan pagar bercat hitam yang menjulang tinggi.

“Nabila… ! Bil.. !” kuteriakkan nama sahabat karibku beberapa kali, berharap ia segera keluar dan menyambutku hangat seperti biasanya.

“Fira, kamu kenapa?” wajah Nabila terlihat khawatir ketika membuka  pintu pagar dan mendapatiku berdiri sambil menangis sesenggukan. Alunan suara khasnya membuat tangisku semakin pecah. Nabila dengan sigap memelukku erat.

“La tahzan, Fira… Innallaha ma’ana,” bisiknya pelan. Relung hatiku seolah terketuk mendengar bisikannya.

Kalimat itu adalah kalimat singkat yang diucapkan Rasulullah untuk menenangkan sahabatnya, Abu Bakar, yang ketakutan dan bersusah hati kala mereka berhijrah ke Madinah. Kalimat yang singkat, namun sungguh dalam maknanya dan berhasil menyusupkan rasa damai ke sekujur tubuhku. Sejenak, tangisku mereda.

***

Tersadar dari lamunan, Nabila telah duduk manis di sampingku entah sejak kapan. Buru-buru kuseka air mata yang masih mengalir di pipi tirus ku.

“Tak apa-apa, menangis saja dulu. Terkadang, dengan menangis emosi kita dapat tersalurkan”, ia menepuk pundakku pelan. Seperti biasa, untaian kata yang keluar dari mulutnya selalu mencerminkan kedewasaannya.

Sejak pertama kali kami berjumpa di tahun pertama Sekolah Dasar  hingga kini menginjak ranah SMA, Nabila selalu setia mewarnai hari-hariku. Aku sangat bersyukur karena dianugerahkan hadiah terindah yang jarang didapat orang lain. Sangat sulit mencari seorang sahabat yang tulus dan senantiasa mengajak kepada kebaikan. Rasulullah sendiri sangat menganjurkan umatnya untuk bergaul dengan teman yang baik agar kita ikut terciprat kebaikannya.

Melihat tangisanku mlai hilang ditelan keheningan malam, Nabila menggenggam tanganku dan berkata, “Fir, Allah dan Rasul-Nya sangat menyayangi orang yang sabar. Rasulullah bahkan selalu menerapkan nilai-nilai kesabaran dalam hidupnya. Itulah yang membuat kehidupan Rasulullah senantiasa bahagia dan terlihat tanpa kendala. Di saat masalah menimpa, beliau mengatasinya dengan sabar dan shalat. Sekarang, saatnya kamu buktikan kalau kamu juga bisa bersabar. Percayalah, Fira, Allah telah menyelipkan hikma di setiap masalah yang menghampiri kita.”

Aku termenung, berusaha mencerna kata-kata Nabila. Tak perlu waktu lama untukku bersepakat dengan hatiku bahwa perkataan Nabila memang benar adanya. Agaknya, luka yang awalnya menganga kini sudah sedikit terobati. Aku harus berterima kasih pada perempuan hebat yang sedang duduk bersila di sampingku ini. Kupeluk ia erat sembari bertekad untuk mengikuti ajaran Rasulullah seperti yang telah disampaikan sahabat baikku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *