Oleh; Azmi Abubakar, Lc, M.H
Awal bulan Juli 2019 saya kembali mendapat kesempatan untuk berkunjung ke negeri Malaka, Malaysia. beberapa kesempatan yang ada saya manfaatkan untuk berziarah ke beberapa tempat situs sejarah. Negeri Malaka menjadi bandar paling ramai dan salah satu kesultanan pertama di negeri melayu dulunya. Maka wajar jika Malaka menyimpan beragam situs sejarah mulai dari abad 15 masehi, terlebih lagi Malaka sudah dinyatakan oleh UNESCO sebagai sebagai Bandar Warisan Dunia (World Heritage). Situs yang pertama saya kunjungi adalah masjid Kampung Hulu, masjid tua yang tak jauh dari masjid ini terdapat makam ulama Aceh yang ikut berjuang mengusir Portugis tahun 1511, Syekh Syamsuddin Al Sumatrani. Tercatat bahwa ada dua masjid yang paling tua di kota Malaka pertama masjid kampung Hulu dan kedua, masjid Tengkera.
Situs selanjutnya yang saya kunjungi adalah makam panglima Pidie yang terletak di bukit Cina, tak jauh dari Bandar Raya Malaka. Panglima Pidie wafat bersamaan dengan wafatnya syekh Syamsuddin Al Sumatrani utusan pasukan kesultanan Aceh mengusir Portugis dari negeri Malaka. Makam panglima Pidie ini begitu eksotik karena terletak di atas bukit dan disekitarnya dipenuhi dengan makam makam orang Cina. Dari atas bukit Cina ini kita dapat melihat masjid Al Azim, negeri Malaka, juga tampak bekas bangunan rumah Sakit yang dibangun Portugis selama masa penjajahan.
Awalnya hanyalah makam panglima Pidie yang terletak di bukit Cina ini, kemudian menurut tutur dari salah seorang cikgu yang mendampingi saya, Panglima Cengho membuat perjanjian dengan Sultan agar bukit yang kemudian diberi nama bukit Cina menjadi pangkalan dan makam orang Cina, maka sampai sekarang pihak pemerintah tidak mengusik bukit Cina tersebut. Kesan yang kami dapati pemerintah Malaka sangat serius merawat situs bersejarah terlebih makam ulama dan pahlawan termasuk makam Syekh Syamsuddin A-Sumatrani dan Panglima Pidie ini.
Saya juga berkesempatan mengunjungi masjid Al Azim sebagai masjid kerajaan, masjid ini dibangun dengan motif kubah lama sebagaimana masjid tua Kampung Hulu. Malaka sangat menghargai warisan sejarah, termasuk bangunan masjid karena dari sini mengingatkan girah Islam di Malaka. Begitu juga dengan Masjid Cina yang terletak di Malaka Tengah menjadi inspirasi bahwa Islam sangat menghargai keunikan dapada budaya tempatan. Perjalanan selanjutnya menyusuri perkampungan Portugis yang didiami oleh keturunan Portugis yang sudah bercampur dengan masyarakat tempatan, tetapi mereka masih menjaga warisan nenek moyang yang sama sekali tidak islami, seperti minum minuman keras dan membangun patung replika Christo Rodento.
Di Malaka saya tingal selama dua pekan di kampung Krubong, Tanah Merah, Malaka Tengah, sebuah kampung yang masyarakatnya mempunyai tali kekerabatan satu sama lain. Ketaatan ibadah ditunjukkan dengan melaksanakan salat berjamaah lima waktu. Inilah pesan ketaatan yang perlu kita contohi, salat berjamaah dengan tertib disetiap waktu salat diikuti dengan pengaturan masjid yang teratur. Beragamnya masyarakat yang tingal di Malaka, yakni Melayu, India, Cina tak mempengaruhi girah untuk beragama dengan baik. Ketaatan masyarakat Malaka juga terlihat dalam kecintaan ilmu dan semangat membaca. Hal ini saya temui ketika berkunjung ke toko buku, banyak literatur Islam yang ditulis kembali dengan tulisan Arab Melayu.