Oleh; Azmi Abubakar, Lc.,M.H
7 tahun lalu, saya berkesempatan mengunjungi kampung Siwa yang terletak di sebelah timur Mesir. Perjalanan ke Siwa menjadi program tahunan pengurus Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir mengisi liburan. Kampung Siwa secara administratif masuk dalam provinsi Matruh. Perjalanan ke Siwa menempuh waktu 11 jam dari Kota Kairo. Sebelumnya kami singgah di Marsa Matruh yang menjadi ibukotanya provinsi. Ada beberapa tempat sejarah yang boleh dilewatkan disini seperti Hamam Cleopatra. Ada cerita bahwa Cleopatra dulunya melarikan diri ke Matruh dari pusat pemerintahan di Alexandria setelah kekuasaannya menjadi rebutan penguasa luar.
Singgah di kampung Siwa menyisakan kenangan mendalam, tentang penduduknya yang ramah dan santun. Kriminalitas sangat jarang terjadi disini, walaupun ada masih dalam tahap kecil yang bisa diselesaikan oleh masyarakat setempat. Seratus persen penduduk Siwa adalah muslim, betapa ekpresi akan nilai-nilai Islam sangat jelas terasa. Diantara kekakhasan dari kampung Siwa adalah laki-lakinya memakai jubah khas dan wanitanya memakai cadar, sangat bersahaja dan terjaga.
Ribuan tahun sebelum masehi tanah Siwa adalah laut lepas, alam kemudian berproses. Saya merasakan bahwa ciptaan Allah benar-benar maha indah. Mengingat kembali akan ayat-ayat Allah; afala ta’qilun, afala tatadabarun, afala tatafakkarun, afala tatazakkarun. Alquran menggunakan istifham li tanbih, sebagai peringatan agar manusia tak lupa akan hakikat dirinya.
Ada segmen dimana Siwa menjadi tempat religi kaum penguasa. Sejarah Iskandar Akbar atau Alexander The Great punya makbad atau tempat peribadatan di tanah ini. Segmen dimana tanah Siwa yang dikelilingi lautan garam, 90 Km dari paras laut, ia pantas disebut sebagai jazirah malah, memproduksi garam terbaik. Siwa yang menjadi penghasil kurma terbesar di Mesir, saya merasakan itu saat berjalan di jazirah Fatnas, saat menguyah kurma seperti halnya mengunyah sejarah Siwa ribuan tahun sebelum Masehi.
Kami mencoba masuk ke dalam relung kehidupan Siwa, tentang bahasa Barbar yang jelas berbeda dengan bahasa Arab, bahasa yang digunakan oleh tetangganya, Libia. Mencatat Siwa adalah mencatat nilai-nilai kesantunan, memang tanah Siwa telah ditakdirkan tuhan sebagai tanah subur. Ada ratusan mata air yang jernih dan tawar, ada danau garam, dan oase yang menjadikan masyarakat Siwa tersenyum penuh santun. Berendam di air belerang menjadikan kepala dipenuhi ide-ide positif. Kami diingatkan akan penyembuhan tradisional penyakit rematik orang-orang tua dahulu. Siwa menjadi tempat produksi kemasan air terbaik, Hayat. Seperti namanya, Siwa benar-benar merupakan kehidupan, dan masyarakat disini bisa memaknainya dengan sangat elegan.
Makbad Amun menjadi contoh kepingan sejarah yang sebagiannya telah hancur diterjang badai. Sang ratu Cleoptra benar-benar menjamah tanah ini, kita mendapati mata air yang diberi nama ain Cleoptra. Hati ini berdebar manakala mendengar ulasan seorang masyarakat Siwa, tentang sejarah negerinya, tentang bunga Zaitun yang mekar, tentang peran Musa bin Nushair membalut Siwa dalam keislaman yang kental.
Rihlah safari atau Off Road membuat hentakan musik Arab klasik menjadi menarik. Off Road ini boleh sebut sebagai bentuk silaturrahmi nyata antara sastra dan sejarah, dimana sastra padang pasir yang memikat dengan rasa sejarahnya yang kuat. Kehidupan timur Afrika benar-benar alami, jauh dari sifat-sifat keiblisan; keangkuhan.
Ketika berada di tengah padang pasir yang menjadi perbatasan Siwa- Libia, seorang kawan berseru, “wah… kuburannya Muammar Khadafi tak jauh lagi dari sini..” Off Road via jeep ke padang pasir dan oase benar-benar mendebarkan, ada suasana sastra yang begitu anggun ketika matahari tenggelam. Suguhan teh hangat siwa kemudian menambah kesempurnaan itu.
Buah kurma dan ranumnya Zaitun akan menjadi suguhan mengasyikkan tentang seribu satu kisah Siwa. Kita menjadi jatuh cinta dengan tanah ini, Islam benar-benar diekpresikan dengan baik. Pada suatu waktu, kita harus datang kembali kesini untuk menyapa Siwa. Belajar bagaimana mengelaborasi rasa santun, barangkali keangkuhan yang selama ini menjalar, membuat kita tak bisa lagi tersenyum.