Filosofi Rendah Hati

Oleh : Naira Afifa Bakhtiar (XI MIA 7)

Pernahkah anda mendengar sebuah peribahasa mengenai tanaman padi? Peribahasa tersebut kira-kira berbunyi, “semakin berisi setangkai padi, maka ia semakin merrunduk”. Jika hanya diperhatikan sepintas, hal itu wajar saja terjadi karena massa benda juga berpengaruh terhadap percepatan. Begitulah jika dipandang dari segi ilmu Fisika. Namun, di balik semua itu, ada sekeping hikmah yang dapat di petik dari fenomena-fenomena yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari semisal menunduknya tanaman padi. Itu adalah tentang rendah hati.

Dalam Bahasa Arab, rendah hati sering disebut dengan istilah tawadhu’, yang marupakan bentuk isim masdar dari madhi “tawadha`a”. Sifat rendah hati hakekatnya adalah sifat yang sangat sulit diimplementasikan dalam kehidupan manusia. Sudah merupakan kodrat manusia merasa dirinya hebat saat mampu meraih sesuatu yang tidak dapat diraih oleh orang lain. Terlebih jika pencapaian yang berhasil diraih adalah sesuatu yang tidak dapat ditaklukkan sembarang orang, memenangkan kompetisi tingkat nasional misalnya. Fakta tersebut tentu saja dapat membuat seseorang merasa tinggi jika ia gagal menguasai hawa nafsunya. Tidak dapat dipungkiri bahwa itulah sifat dasar manusia.

Sebagai seorang pelajar, khususnya seorang santri, sifat tinggi hati muncul saat ia berhenti mempelajari suatu bidang ilmu karena merasa  sudah cukup menguasainya. Padahal, ilmu Allah sangatlah luas. Jika dibandingkan dengan ilmu manusia, perbandingannya bagai setetes air laut dengan seluruh lautan itu sendiri. Karena itu, semakin dalam seseorang penuntut menggali ilmunya, semakin paham pula bahwa masih sangat banyak ilmu yang belum diketahuinya. Hal itulah yang dapat meningkatkan kerendahan hati seseorang. Tak heran jika ada yang mengatakan bahwa semakin tinggi ilmu seseorang, semakin rendah pula hatinya.

Menilik kembali sejarah di masa lalu, tepatnya pada masa Khulafaur Rasyidin. Sepupu Rasulullah sekaligus menantu kesayangannya, Ali bin Abi Thalib RA., pernah berjalan seraya memperlambat langkahnya di belakang seorang guru yang hanya mengajarkan satu pengetahuan kepadanya. Padahal, tak diragukan lagi betapa tingginya tingkatan ilmu sayyidina Ali. Rasulullah sendiri menjuluki Ali dengan sebutan Baabul Ilmi, yang artinya pintu ilmu pengetahuan. Kisah di atas adalah sati dari banyak kisah yang mencerminkan sifat rendah hati yang patut diteladani.

Lukmanul Hakim, potret seorang ayah teladan yang tercantum kisahnya dalam Al-Qur`an, pernah memberi nasehat kepada anaknya sebagaimana kandungan surah Al-Luqman ayat delapan belas. “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong), dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri”. Nasehat ini disampaikan oleh Luqmanul Hakim kepada anaknya karena menyadari pentingnya membudayakan sifat rendah hati.

Dalam kehidupan, sifat tawadhu’ atau rendah hati  adalah kunci berkahnya suatu kesuksesan. Orang sukses yang merasa dirinya paling hebat akan kecewa saat kesuksesannya memudar. Namun, orang sukses yang rendah hati akan terus berusaha meningkatkan kadar kesuksesannya dan berupaya bangkit bila sekali waktu terjatuh. Demikianlah esensi sifat rendah hati yang sudah sepatutnya ditanamkan dalam seitan jengkal langkah kehidupan. Wallahu a’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *