Sebuah Anxietas dalam Kehidupan di Pesantren

Oleh: Munir Nasjam

Mungkin kata Anxietas masih terdengar asing dalam kehidupan kia secara umum, namun praktiknya sering terjadi dalam manyarakat kita sehari-hari, bahkan juga dalam kehidupan di Pesantren. Anxietas berbeda makna dengan fear dengan arti takut atau kuatir, ia merupakan kata serapan dari bahasa Latin (Inggris; Anxiety), yang memiliki makna tercekik atau tercekat. Makna lebih dalam dari sudut pandang spikis atau mental, Anxietas merupakan ketakutan yang timbul dari alam bawah sadar seseorang yang dipengaruhi oleh pengalaman yang dihadapi seseorang sehingga kadang menghadirkan respon yang tak diduga. Gejala psikis yang disebut anxietas juga dikenal dengan kata kecemasan, atau yang sering kia gunakan, was-was dan khawatir.

Ketika seseorang takut ketinggian naik ke gedung lantai 20 dan berdiri di pinggir melihat ke bawah. Apa yang terjadi? Tentu serangan panik yang timbul. Dapat dikatakan, sebenarnya bukan ketinggian yang ditakuti orang tersebut, tetapi akibatnya adalah yang menyerang psikisnya hingga ia seakan takut ketinggian. Kenapa demikian? Analoginya, dari kecil ia sudah didoktrin oleh orang tuanya bahwa meninggalkan shalat dalam agama Islam adalah dosa, kelak akan disiksa pada hari akhirat dalam neraka dengan api yang sangat panas. Gerbang menuju akhirat adalah mati, terpisahnya nyawa dengan jasad. Kalau ia meninggalkan shalat pasti disiksa. Nah, bayangkan orang yang sering meninggalkan shalat naik ke atas gedung lantai 20 berdiri di pinggir gendung tanpa pagar melihat ke bawah. Secara tidak langsung tubuh akan merespon dengan gemetar dan enggan dekat-dekat takut jatuh. Kenapa? Alam bawah sadarnya menyatakan, kalau ia jatuh pasti mati, dan kematian ialah gerbang akhirat. Secara tidak sadar dirinya merespon, “aku belum siap mati, sebab dosaku banyak, kalau dosa banyak pasti disiksa dalam api yang sangat panas tiada tara”. Atau, respon lainnya, kalau ia jatuh pasti akan cedera patah tulang atau sakit yang sangat mendalam, selanjutnya pasti masuk rumah sakit yang memakan biaya yang tidak sedikit, orang tua akan sedih dan sangat khawatir. Respon tersebut diproses dengan sangat cepat oleh otak sehingga yang terlihat di alam nyata hanyalah ketakutan.

Tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan di pesantren anxietas juga eksis, terutama bagi  murid (red. Santri) yang sedang dalam proses pendidikan. Rangsangan psikis terhadap peraturan yang diterapkan di pesantren kadang membuat anak merasa tertekan hingga menimbulkan stres bagi yang tidak bisa menghadapinya. Kalau saja si murid melanggar, pasti punishment menghampirinya. Main hp contohnya, di rumah anak bebas main hp sesukanya, mungkin tidak semua anak, hingga tiada hari tanpa main hp. Tiba-tiba larangan main hp muncul, tentu dengan tujuan baik untuk meningkatkan kualitas murid, baik untuk belajar atau pembentukan mental.

Terkadang di beberapa pesantren menerapkan sistem yang sangat disiplin dan ketat, segala sesuatu tersistemkan dengan sedemikian rupa, sedikit saja melawan arus ia akan ditindak atau disingkirkan jika sudah melewati batas. Nah, disini letak anxietas yang ingin kita tinjau. Murid akan menghadapi banyak tekanan di asrama, tidak boleh melakukan ini dan itu, harus melakukan ini dan itu, jika tidak, pasti hukuman akan menghampiri. Tantangan ini akan direspon oleh psikis murid untuk menaatinya, hal demikian karena iming-iming hukuman yang menghantuinya. Apapun akan dilakukan murid untuk menghindari hukuman, dengan terpaksa ia harus mematuhi segala hal tentang peraturan itu. Dalam hal disiplin waktu misalnya, jam 5 pagi (waktu subuh di Aceh) murid harus bangun dari tidur dan bersiap pergi ke masjid untuk shalat Shubuh, lalu disusul oleh kegiatan mengaji atau kegiatan resmi lain. Selanjutnya jam 8 tepat murid sudah wajib berada di kelas untuk mulai belajar dengan guru dan wali kelas. Bagi muris yang telat akan dihukum push up oleh guru. Bayangkan jika ada seorang murid yang biasa terlambat dalam segala hal, sudah pasti ia dihukum oleh guru setiap pagi.

Tentu hal demikian membuat murid berpikir dua kali, “kalau saya telat lagi, pasti saya dihukum”. Takut dihukum merupakan respon psikis yang hadir dalam diri murid, secara tidak langsung otak merespon untuk tidak lagi terlambat, ia harus hadir ke kelas sebelum jam 8 untuk menghindari hukuman.

Contoh lain, murid yang suka keluar dari pesantren secara sembunyi-sembunyi tanpa izin yang lebih dikenal dengan cabut atau kabur. Tindakan melanggar disiplin itu tentu mengundang Ustadz atau pengurus memberinya hukuman, seperti botak (untuk putra) atau ta’zir, dipermalukan di depan banyak orang. Karena hukuman ditakuti oleh murid, psikis akan mengirim respon kepada otak, dengan sadar ia berpegangteguh bahwa cabut itu terlarang dan akan mengakibatkan sesuatu yang fatal jika ia melakukannya. Hal itu terus terjadi dengan sangat cepat tanpa disadari sehingga peraturan di pesantren dapat berjalan dengan baik.

Semakin banyak tantangan dan larangan yang ada di pesantren, semakin banyak pula murid yang berusaha untuk melewatinya dengan gesekan yang minim. Proses tersebut akan membentuk jati diri seorang murid untuk belajar pada setiap hal yang ia lalui setiap harinya. Memang pada awalnya terpaksa, dari terpaksa menjadi biasa, dari biasa menjadi kebiasaan, dari kebiasaan akan melekat dalam jiwa murid yang selanjutnya menjadi kebiasaan dalam kehidupannya kelak. Bayangkan jika di pesantren murid dilatih dan dipaksa melakukan hal positif setiap saat, pastinya jika murid bisa  menghadapi dan melewatinya dengan baik ini akan melahirkan alumni bahkan tokoh yang memiliki kepribadian yang baik pula. “Sebesar keinsafanmu, sebesar itu pula keberuntunganmu”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *