Islam adalah agama yang memprioritaskan penjagaan terhadap akal, hal ini dapat diketahui melalui kedudukan hifz al-aql dalam daruriyah al-khamsah. Akal harus diberikan nutrisi melalui kegiatan membaca agar memudahkan manusia menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Akan tetapi kondisi empiris dalam masyarakat sangat memperihatinkan, sejauh eksplorasi penulis terhadap minat membaca masyarakat menunjukkan hal yang dimaksud.
Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Kementerian Pendidikan bulan April 2019 menyimpulkan bahwa, indeks membaca masyarakat Indonesia berada pada angka 37,32 dari skala 0-100. Sementara data Unesco mencatat minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,01 persen. Dari sini disimpulkan bahwa hanya 1 dari 1.000 orang yang punya minat baca tinggi di Indonesia. Bahkan lembaga Most Littered Nation in The World juga mencatat bahwa tingkat literasi Indonesia berada di urutan ke 60 dari 61 negara yang diteliti.
Merujuk kepada Alquran, perintah membaca (iqra’) terdapat dalam wahyu pertama, surah al-Alaq ayat pertama. Dalam ayat ini perintah iqra’ dimaksudkan agar manusia memproleh ilmu pengetahuan. Perintah membaca bahkan di ulang sampai dua kali untuk menegaskan bahwa membaca menjadi hal mutlak bagi pengembangan diri dengan landasan selalu mengingat akan kebesaran Allah.
Tercatat dalam sirah Rasul, bagaimana Rasul memerintahkan para tawanan yang mampu mengajar membaca dan menulis untuk mengajari kaum Ansar dan Muhajirin. Berpijak dari sini, mewujudkan sarana agar minat membaca menjadi suatu keharusan, karena kaidah maqasidiyah mengatakan: Sarana-sarana itu memiliki hukum yang sama dengan tujuannya. Dari sini diketahui bahwa pustaka merupakan sarana untuk mewujudkan aktifitas membaca, sementara membaca menjadi usaha menjaga akal (hifz al-aql) dalam maqasid al-syari‘ah.
Penulis mengeksplorasi beberapa pustaka yang telah mewarnai peradaban manusia, seperti Alexandria dan Bait- Hikmah. Keberadaan Bait Al-Hikmah tak boleh dinafikan begitu saja dalam mengkaji eksistensi pustaka. Bait Al-Hikmah telah menjadi pusat penerjemahan dan pusat studi. Peran yang sangat besar ini mengantarkan Bait al-Hikmah menjadi center of excellence dalam payung keilmuwan Daulah Abbasiyah.
Sejarah mencatat bahwa kegiatan keilmuwan berupa penerjemahan literatur-literatur klasik berjalan dengan sangat apik. Sultan al-Makmun memerintahkan untuk mencari sumber bacaan dari luar untuk diterjemahkan. Namun siklus sejarahpun berlaku di mana Bait al-Hikmah musnah bersamaan dengan penyerbuan bangsa Mongol ke Baghdad. Hitamnya air sungai menjadi indikasi betapa banyaknya koleksi dan minat membaca masyarakat dan betapa musuh tahu apa yang harus dihancurkan untuk menenggelamkan sebuah peradaban agung.
Jauh sebelum itu, ada pustaka agung di Alexandria, dimana pengaruh Yunani sangat kental, Alexandria atau Iskandariyah dianggap sebagai pusat keilmuan dan pembelajaran. Banyak ilmuwan terkenal yang bekerja di perpustakaan ini pada abad ketiga dan kedua sebelum Masehi seperti Zenodotos yang berupaya menstandarisasi naskah puisi. Aristofanes yang menciptakan sistem diakrtikik Yunani. Merujuk kepada wikipedia, Pustaka Alexandria sat ini memiliki kapasitas delapan juta buku.
Di sisi lain, Aceh sebagai tempat pertama kedatangan Islam di rantau Melayu mempunyai andil membangun kembali spirit Bait Al-Hikmah. Hal ini pernah dibuktikan melalui keberadaan pustaka Tanoh Abee sebagai corak pustaka Islam tertua Asia Tenggara. Pustaka ini memiliki koleksi naskah (manuscript) para ulama Aceh mulai dari abad 16 hingga 19 Masehi (Oman Fatturahman, 2010).
Barangkat dari realitas tersebut, usaha mewujudkan kembali pustaka agar menjadi pusat keunggulan (center of excellence) menjadi sebuah keharusan. Tegasnya, adanya sarana menjadikan minat membaca menjadi tumbuh, dari minat membaca ini akan melahirkan kehidupan ilmu. Harus diakui tantangan kedepan semakin berat terlebih dunia virtual yang memporak porandakan akal datang bagaikan tsunami.
Pembaharuan (tajdid) pustaka perlu dibina mulai level bawah, yaitu dengan membangun pustaka mulai dari rumah, meunasah, masjid hingga ke dayah. Diperlukan usaha konkstruktif seperti terus menambah literatur termasuk di dalamnya literatur Islam berbahasa Arab. Hal ini sekaligus menjadi upaya improvisasi penguasaan bahasa Arab, sebagai bahasa ilmu dan agama (Ahmad Al-Hasyimi, 1932).
Selain itu diperlukan upaya konstruktif lainnya seperti merawat, menjaga, memuliakan buku, dan melaksanakan lomba untuk merangsang minat membaca. Menjadikan pustaka sebagai center of excellence harus didukung pula oleh variabel lain seperti guru dan lembaga pendidikan itu sendiri yang notabene sudah menjadi pusat keunggulan, bahkan posisi variabel tersebut berada pada tingkatan kebutuhan primer (dharurah) Upaya ini semua pada akhirnya akan membawa kemashlahatan dan kebahagiaan kepada manusia.
Tulisan ini telah dimuat di https://www.azmiabubakar.com/2020/06/hakikat-pustaka-sebagai-center-of.html