Generasi Scrolling yang Ingin Sukses: Kita Butuh Perpustakaan, Bukan hanya Wifi

Oleh: Banina Lathisya (Murid Kelas XII-8)

Beberapa waktu lalu, berita tentang ratusan perpustakaan di Indonesia yang “Mati Suri” membuat saya berfikir. Mereka bukan tutup, tapi isinya sepi, koleksinya usang dan cuma jadi pajangan. Disaat yang bersamaan, kita generasi scrolling berbondong-bondong ke perpustakaan, tapi seringnya cuma sekedar buang waktu jenuh di kelas atau numpang WiFi. Jujur, saya bertanya-tanya, apakah ini yang namanya “Membekali Diri?” Apa prestasi kita cuma jadi yang paling update tentang berita terkini? Saya berani berkata, tidak. Kita punya ambisi besar untuk membangun negeri, tapi kita sedang salah langkah.

Membekali diri tidak cukup dengan informasi instan dari media sosial. Di era yang serba cepat ini, kita mudah terjebak dalam ilusi bahwa semua jawaban ada di ujung jari kita. Kita scroll, like and share tanpa benar-benar mencerna. Akibatnya, kita menjadi generasi yang tahu banyak hal, tapi tidak mendalam. Inilah mengapa kita rentan terhadap hoaks dan mudah terbawa berita palsu. Membangun negeri itu butuh fondasi yang kokoh, dan fondasi itu adalah pemikiran yang kritis dan mendalam. Tanpa bekal ini, kita akan menjadi generasi penerus yang gampang diombang-ambing, bukan pemimpin yang membawa perubahan.

Perpustakaan disulap menjadi lab kritis untuk ide inovatif di tengah krisis digital. Argumentasi saya tidak hanya soal buku. Ini tentang mentalitas, kita harus berani melawan kebiasaan instan dan mulai berinovasi serta berinvestasi untuk diri sendiri. Sya berinovasi dengan memandang proses ini sebagai sebuah transformasi pribadi, kita harus mengubah diri kita dari sekedar konsumen informasi menjadi produsen solusi.

Keadaan negeri kita saat ini tidak bisa dianggap sepele. Di tengah hiruk-pikuk politik Indonesia, kita dibanjiri dengan berita hoaks dan narasi kebencian yang sengaja dibuat untuk memecah belah. Kita dapat melihat black campaign dan saling hujat yang merusak persatuan. Bahkan memicu konflik di beberapa daerah. Di mana kita bisa menemukan kebenaran yang tidak bias? Jawabannya bukan di jejak media sosial, melainkan di perpustakaan.

Di perpustakaan, kita bisa membandingkan berbagai sumber, membaca buku sejarah yang kredibel, atau menganalisis data statistik tanpa terpengaruh algoritma yang hanya menampilkan apa yang kita suka. Perpustakaan adalah benteng pertahanan terakhir kita melawan tsunami disinformasi, ia adalah tempat labolatoriumide dimana kita belajar berpikir kritis, membedah masalah, dan membangun argumen yang kokoh sebagai kemampuan yang sangat dibutuhkan untuk memajukan negeri.

Membekali diri untuk menjawab tantangan bangsa, masalah negeri kita tidak hanya soal politik. Kita hidup di tengah isu-isu  kompleks yang butuh pemikiran mendalam. Ambil contoh krisis sampah yang hingga kini belum teratasi. Kita mebuat konten viral tentang bahaya plastik, tapi apakah itu cukup? Tentu tidak. Solusi nyata berupa pemahaman tentang dampak positif sampah sebagai peluang ekonomi, teknologi pengolahan limbah, dan kebijakan pemerintah itu sendiri. Semua itu dapat kita pelajari di perpustakaan. Sama halnya tentang isu mengenai kesetaraan pendidikan yang ada di Indonesia, kita sering mendengar cerita tentang sekolah di pelosok yang kekurangan fasilitas. Untuk membangun negeri ini, kita perlu bekal yang merata.

Di sini, perpustakaan kembali relavan. Iya bukan hanya tempat baca, tapi juga pusat kesetaraan. Di tengah digital divide yang masih nyata, perpustakaan menyediakan akses imtenet gratis, komputer, dan buku-buku mahal yang mungkin tidak terjangkau bagi sebagian pelajar. Ini adalah kesenjangan sosial yang sesungguhnya. Seorang siswa di sekolah manapun bisa belajar coding dari buku yang ada di perpustakaan lau menggunakan komputer yang tersedia untuk membuat program sederhana. Ini adalah langkah kecil yang bisa menjadi bekal untuk berkontribusi besar di masa depan.

Berinovasi dari Ruang Hening: Mengubah Perpustakaan Jadi ”Lab Gila”.

            Alih-alih meratapi perpustakaan yang sepi, kita harus mengubahnya jadi tempat paling keren di sekolah. Saya berinovasi dengan memandang perpustakaan sebagai “Lab Gila” bagi generasi muda, tempat dimana ide-ide paling liar dan paling cemerlang lahir. Di sini, kita tidak hanya belajar, tapi merancang masa depan. Bayangkan. Perpustakaan bukan lagi hanya  rak-rak buku, mnelainkan:

  • Pusat data anti hoaks: Di mana kita bisa belajar memverifikasi informasi dan melawan disinformasi yang merusak persatuan bangsa. Ini adalah bekal paling cemerlang di era sekarang.
  • Ruang kolaborasi lintas jurusan: Di mana peminat saintek bisa berdiskusi dengan peminat soshum dalam menghadapi TKA, untuk sekedar menghilangkan kegundahan akan pilihan masing-masing dan mencari solusi satu sama lain. Hal ini dapat menetralisir adanya rasa perbedaan antar sesama.
  • Tempat workshop dan startup mini: Di mana kita dapat memanfaatkan komputer di perpustakaan untuk belajar koding, desain grafik, atau bahkan memulai proyek kecil yang berpotensi menjadi bisnis besar di masa depan atau hanya sekedar agar kita dapat terhindar  dari pembodohan yang direkayasa dengan perkembangan AI yang semakin meluas, bukan hanya sekedar tempat membaca novel-novel penghibur saja.

Perubahan ini dapat menjadi sebuah revolusi. Kita harus berani membongkar pandangan lama dan menciptakan narasi baru bahwa perpustakaan adalah wadah bagi para pemberontak intelektual. Mereka yang menolak untuk hanya menjadi penonton dan memilih untuk jadi aktor utama dalam pembangunan negeri, bukan sekedar membaca buku tapi ini tentang  membangun kekuatan.

Kondisi bangsa kita saat ini butuh lebih dari sekedar semangat, ia butuh strategi. Kita bisa mengkritik masalah korupsi, pendidikan yang tidak merata, atau kemiskinan, tapi kritik itu akan hampa tanpa bekal pengetahuan yang memadai.

Pada akhirnya, saya yakin bahwa prestasi bukan tentang seberapa viral kita di media sosial atau seberapa update kita tentang tren Gen-Z sekarang. Melainkan seberapa besar dampak yang kita berikan pada lingkungan sekitar. Dan untuk itu, kita tidak bisa lagi mengandalkan koneksi wifi di perpustakaan hanya untuk mencari berita terupdate semata. Sudah saatnya kita kembali membekali diri dengan ilmu yang mendalam, berani berkolaborasi dan merawat akal sehat. Dengan begitu, setiap langkah yang kita ambil akan menjadi kontribusi nyata untuk membangun negeri bukan hanya untuk diri sendiri.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *