Oleh: Khairul Walidin
Di antara deru sejarah yang sering ditulis oleh pemenang, ada suara lirih yang nyaris tak terdengar—namun mengguncang hati mereka yang jujur. Suara itu milik Hasan Muhammad di Tiro, seorang intelektual, diplomat, dan pejuang yang dipilih oleh rakyat sebagai Sang Wali untuk meniti jalan sepi demi sebuah bangsa bernama Aceh.
Banyak yang salah paham. Mereka melihat Hasan di Tiro sebagai pemberontak. Mereka menyangka ia haus kekuasaan. Namun sedikit yang tahu bahwa di balik langkah radikalnya, tersimpan luka pengorbanan yang dalam.
Ia tidak hanya meninggalkan tanah kelahiran, tapi juga memisahkan diri dari istri dan anak-anaknya demi cita-cita yang lebih besar: mengembalikan kehormatan bangsa Aceh, dan menegakkan kembali semangat Islam yang telah lama dikubur dalam politik penjajahan dan perjanjian-perjanjian yang timpang.
Hasan di Tiro mendirikan Gerakan Aceh Merdeka bukan karena ambisi pribadi, melainkan karena ia melihat bangsa Aceh—yang dahulu menjadi benteng Islam Asia Tenggara—telah dilucuti dari kejayaan, dipinggirkan, dan diseret menjadi pelengkap dalam sistem negara yang tidak adil.
Ia tahu bahwa darah para syuhada Kesultanan Aceh tidak boleh diabaikan begitu saja. Ia ingin agar bangsa Aceh berdiri kembali, bukan sebagai provinsi yang diberi otonomi dengan syarat, tetapi sebagai umat yang bermartabat.
Ketika manusia lain sibuk membangun istana, Hasan di Tiro membangun ide. Ketika yang lain berkalkulasi keuntungan, ia memilih kehilangan demi prinsip. Ia menulis, berbicara, dan bergerak dalam kesepian, menanggung stigma, bahkan dihinakan oleh bangsanya sendiri. Tapi ia tetap teguh, sebab yang ia perjuangkan bukan popularitas—melainkan warisan peradaban.
Kini, sebagian besar rakyat Aceh hidup dalam damai, namun nama Hasan di Tiro sepi disebut. Mereka lupa, bahwa kedamaian hari ini tumbuh dari benih penderitaan yang ia tanam sendiri. Dialah syuhada peradaban yang memilih hancur di dunia, agar tanah ini tidak hancur selamanya.
Ia bukan sekadar tokoh, tapi lembaran hidup yang menanti untuk dibaca dengan hati. Hasan di Tiro bukan cerita masa lalu—ia adalah ujian bagi nurani kita hari ini: apakah kita cukup jujur untuk mengenal kebenaran, meski ia tak lagi populer?
Hidup tenang di alam sana, Wali!!![]
tulisan yang amat menyentuhh