“Terlalu Tinggi Nada, Terlalu Dalam Luka”

Sebuah refleksi dari Thasoedi (Guru MTs)

Pernahkah anda merasa seperti monster dalam dongeng setelah menegur anak didik dengan nada yang terlalu tinggi? Baru saja kamu berkata, “Kamu tuh gimana sih?!” dan beberapa detik kemudian hati kayak dihantam ombak penyesalan. Hening seketika, lalu muncul rasa bersalah yang nyelip di dada kayak serpihan kaca kecil—nggak kelihatan, tapi nyeri.

Sebagai pendidik, kita sering diajarkan tentang pentingnya kontrol emosi, tentang menjadi figur yang tenang, bijak, penuh kasih sayang. Tapi realitanya, kita manusia juga. Ada kalanya emosi mendidih, entah karena lelah, tekanan kerja, atau bahkan urusan pribadi yang tak selesai di rumah. Lalu tanpa sadar, kita meledak—bukan marah yang membabi buta, tapi cukup dengan intonasi yang tajam, nada tinggi yang menusuk.

Masalahnya, intonasi itu seperti bumbu dalam masakan. Nasi goreng paling enak sekalipun bisa terasa pahit kalau kamu kelebihan garam. Sama halnya dengan teguran yang niatnya membangun, tapi nadanya bikin anak merasa diserang. Kita tahu itu. Dan itulah kenapa rasa bersalah itu datang.

“Tapi saya nggak bermaksud jahat…”

Iya, kita tahu. Tapi masalahnya bukan cuma pada niat, tapi juga pada efeknya. Anak-anak, terutama yang masih usia dini atau remaja, belum tentu bisa memisahkan teguran dari intonasi. Mereka bisa merasa gagal, takut, bahkan menjauh. Hubungan yang tadinya hangat bisa jadi dingin kayak AC rusak di kelas.

Kalau dianalogikan, menegur anak itu seperti memperbaiki jam antik. Anda perlu membuka dengan hati-hati, mengatur roda-roda kecilnya, bukan melempar palu ke dalamnya. Sekali kamu salah sentuh, bisa rusak susah diperbaiki.

Kenapa sih rasa bersalah ini penting?

Karena itu tanda anda masih punya empati. Anda peduli. Dan itu baik. Tapi jangan berhenti di rasa bersalah saja. Jadikan itu bahan bakar buat refleksi dan perbaikan.

Kalau anda merasa bersalah karena intonasi yang salah, coba lakukan ini:

  1. Sadari dan akui ke diri sendiri.
    “Tadi aku agak keras, ya. Kayaknya anak itu kaget.” Mengakui bukan berarti anda lemah, justru itu tanda anda sedang tumbuh dan akan terus tumbuh.
  2. Kalau perlu, minta maaf.
    Iya, anda pendidik. Tapi anda juga manusia. Dan minta maaf itu bukan menurunkan wibawa, justru meningkatkan respek. Anak-anak belajar tentang tanggung jawab bukan dari teori, tapi dari contoh nyata.
  3. Bangun ulang hubungan.
    Ajak ngobrol, tunjukkan bahwa anda peduli. Jangan hanya koreksi kesalahan, tapi tunjukkan bahwa anda ada di pihak mereka.
  4. Belajar atur emosi sebelum masuk kelas.
    Tarik napas, minum air putih, atau dendangkan salawat yang sering anda hapal. Kadang, hal kecil bisa bantu anda jadi versi terbaik hari itu.

Menjadi guru bukan berarti selalu benar. Tapi selalu mau belajar.

Kadang, satu nada tinggi bisa mengaburkan seribu kata baik. Tapi kabar baiknya: satu kalimat lembut bisa menyembuhkan seribu luka kecil.

Kalau anda pernah merasa bersalah karena nada bicara, anda nggak sendiri. Banyak dari kita juga pernah di situ. Tapi selama anda mau refleksi dan memperbaiki, anda masih jadi guru yang luar biasa—bukan karena anda sempurna, tapi karena kamu terus tumbuh.

Dan percayalah, anak-anak akan mengingat bukan hanya apa yang anda ajarkan, tapi bagaimana anda memperlakukan mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *