Bicara Seandainya…

Oleh: Muhammad Nizarullah

Segalanya bisa terjadi. Pencapaian yang diharapkan tak selamanya mulus. Menganggap diri mampu? Itu belum cukup. Banyak hal yang dapat menjadi penghalang dari target yang ingin digapai. Kesombongan misal, lagi-lagi jangan terpaku pada kemampuan. Bisa jadi kemampuan diatas rata-rata. Tapi, kesombongan sikap yang tak disadari. Raga yang jauh dari orang tua, abai terhadap air mata yang jatuh dari pelupuk mata orang tua yang merindukan anaknya karena harus berpisah lagi dengan anak yang disayang. Tapi, air mata seorang anak tak mampu keluar karena hati yang keras, sombong, menganggap semua akan baik saja. Toh, nanti juga akan bertemu kembali!

Bagaimana seandainya…

Kemungkinan terburuk bisa saja datang diwaktu yang tak diharapkan. Hal itu paling dekat dengan diri seorang hamba yang dititipkan ruh untuk sementara. Tapi jiwa yang masih muda memimpikan sesuatu untuk masa depannya. Pendidikan yang sedang menunggu untuk menunaikan salah satu mimpi yang belum terwujud. Iya, itu salah satu anak tangga yang harus ditatih. Bagaimana saat mimpi itu belum bisa terwujud karena ada hal yang tak mampu dikendalikan?

Segalanya bisa terjadi. Saat menentang orang tua untuk menggapai mimpi itu, semua dijadikan alibi untuk melanggengkan argumenmu. Argumen yang dari kata yang ia ajarkan dari kecil, kata yang diajarkan oleh orang tua, yang kemudian digunakan untuk melawan bahkan mengelabui. Dia enggan untuk menghentikan mimpimu mencapai semua yang kamu anggap mampu menggapainya. Bagaimana dengan anak? Mampukah ia melirik sedikit saja dalam relung-relung pengharapan yang diimplisitkan orang tua padanya?

Tergeletak sakit menahan derita dari penyakitnya dan kerinduannya pada anak yang disayang. Pernahkan berita itu sampai di telingamu yang jauh di sana? Pernahkan ia mengeluh untuk membuatmu harus berada disisinya saat titik terendah dalam hidupnya datang? Ia umumkan kepada semua orang yang hadir menjenguknya, kamu di rantau tak harus tau apa yang terjadi dengannya. Kamu harus menggapai mimpimu untuk masa depanmu dengan keluargamu kelak. Bahkan saat ia tak mampu lagi berdiri hanya sekedar berjalan, saat ia kehabisan kata-kata, ia tak mampu membuatmu mendengar kabar buruk yang datang darinya, ia khawatir kamu akan meninggalkan karirmu demi dirinya. Tapi, akankah kamu tinggalkan semuanya demi orang yang sudah memberikan segalanya padamu?

Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran masa depanmu. Pencapaianmu hingga berada di titik ini tak lepas dari usaha, tenaga, doa, bahkan tak memikirkan berapa nominal yang sudah ia habiskan untuk masa depanmu. Tapi ia menggumam dalam kesendirian, kapan anaknya akan kembali? Kapan anaknya akan menciumnya untuk terakhir kali? Kapan anaknya akan menemaninya disaat-saat terakhir dalam hidupnya? Ia bangkit dari tidurnya, bersujud diatas sajadah ditengah malam yang gelap, mengucap dalam kesendirian, menangis memohon untuk kebahagiaan anaknya yang saat itu tak sedang bersamanya. Penuh pengharapan, sujud yang panjang, berharap Tuhan mendengar rintihannya demi kesuksesan anak yang disayang.

Bagaimana seandainya…

Saat ia mengharapkan keberhasilanmu, kamu berhasil melukai perasaannya. Saat kamu bertemu dengannya bukan sebagaimana yang kamu harap, ia sudah tak dapat lagi berkata, mengungkapkan isi hatinya, yang mungkin menyesal membesarkanmu hingga melupakannya dan mengejar mimpimu yang tertunda. Kamu berharap ingin menciumnya dengan mata terbuka, memelukmu dengan penuh kesadaran, menikmati kehidupan yang kamu rindukan bersamanya, shalat berjamaah dengannya. Tapi ternyata, kamu yang menshalatkannya, kamu yang memegang tubuhnya dengan penuh penyesalan, kamu yang menempatkannya di peristirahatan terakhirnya, tanpa bisa menatap wajahnya saat ia masih bisa menatap wajah anak yang disayangnya dengan mata terbuka.

Akankah dirimu mampu memikul beban yang terlalu berat itu? Penyesalan terbesar baru saja menghampirimu. Dua kemungkinan yang bisa terjadi dalam hidupmu, kesempatan dan penyesalan. Pilihan ada pada dirimu. Ambil kesempatan selagi masih bisa diraih, atau kesempatan untuk merasakan penyesalan terbesar. Dengarkan kata hatinya, mintalah pendapatnya tentang segala hal yang akan kamu pilih. Jika memang ia tak mengizinkanmu, jangan mempertanyakan itu. Orang tuamu tak mampu menjawab berbagai cercaan pertanyaan darimu. Bisa jadi perkataanya tak sesuai dengan maksud kata hatinya.

Jangan ragu tentang masa depanmu, doanya mampu menembus langit tanpa penghalang. Masa depanmu terjamin oleh doa orang tuamu. Kemampuanmu tak bisa diandalkan di dunia yang penuh tipu daya ini. Relasimu tak mampu menyelamatkanmu. Temanmu hanya ada sesaat jika dirimu berada di atas. Mereka hanya melihat pencapaianmu, tanpa perlu tau proses yang kamu sudah lalui.

Kamu berusaha untuk menjadi harapan bagi mereka yang suatu saat akan meninggalkanmu. Tapi, orang tuamu hanya punya dirimu untuk berharap kamu ada disisnya saat-saat terakhir hidupnya. Bersyukur bagi dirimu yang masih lengkap orang tua. Dua kunci surgamu masih lengkap. Pergunakan itu sebagai tiket surgamu. Jangan sia-siakan kesempatan itu, jika tidak kamu akan punya kesempatan untuk merasakan penyesalan.

Bukan berarti mimpimu harus dikubur, raih selagi bisa, mintalah doanya, mintalah sarannya untuk kehidupanmu. Tapi, saat waktunya tiba jangan pertanyakan alasannya melarangmu meraih mimpi itu, jika kamu tak mau menanggung penyesalan terbesarmu. Dan penyesalan itu akan mengubur semua mimpimu bersamanya. Saat itu kamu sudah selesai.

Hanya bicara seandainya, yang seandainya itu sangat mungkin terjadi.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *