sebuah Cerpen karya Thasoedi (Guru MTs)
Aku selalu berpikir, mencuri itu dosa. Tapi bagaimana jika yang kucuri adalah waktu untuk berbuat baik?
***
Setiap Ramadan, aku dan Nenek punya ritual rahasia. Sebelum subuh, kami berjalan ke mesjid dengan membawa kardus-kardus kecil berisi nasi bungkus. “Sedekah sembunyi-sembunyi itu paling ikhlas,” bisik Nenek sambil menunjuk ke sebuah rumah tua di ujung jalan.
Tapi tahun ini berbeda.
Nenek sudah tidak ada.
Aku, Fikri siswa kelas 11 yang biasa-biasa saja, tiba-tiba merasa dunia begitu sunyi tanpa suaranya. Aku ingin meneruskna tradisi kami, tapi ada masalah besar; uang jajanku tidak cukup untuk membeli 30 bungkus nasi setiap hari.
Di hari ke-10 Ramadan, saat membersihkan lemari Nenek, aku menemukan sebuah buku catatan kecil. Terdapat tulisan:
“Jika kau membaca ini, berarti aku sudah pergi. Jangan sedih. Di balik kaleng biskuit favoritmu, ada sesuatu untuk melanjutkan amalan kita.”
Aku membongkar kaleng itu dan menemukan setumpuk uang. Cukup untuk sedekah sebulan penuh. Tapi ada satu syarat: “Jangan beri tahu siapa pun, termasuk Ayahmu!”.
Aku mulai membeli nasi bungkus dari warung Bu Siti dan menaruhnya di depan pintu rumah-rumah warga yang membutuhkan, persis seperti dulu. Namun, di hari ke 20, sesuatu yang aneh terjadi.
Ketika aku meletakkan nasi di depan rumah Pak Rudi, tukang becak yang kakinya pincang, tiba-tiba pintuk terbuka. Wajahnya pucat.
“Kamu… dapat uangnya dari mana?” tanyanya gugup.
Aku bingung. “Dari tabungan, Pak!!”.
Dia menarik napas dalam. “Nak, uang yang kau pakai… itu uang palsu.”
Aku gemetar. Bagaimana mungkin? Nenekku tidak mungkin menyimpan uang palsu! Kucari tahu, dan ternyata, uang-uang itu adalah bagian dari kasus penipuan besar setahun lalu. Ayahku yang bekerja di bank~ dituduh terlibat, tapi tidak ada bukti.
Nenek menyimpan uang itu sebagai jaminan untuk membuktikan Ayah tidak bersalah. Tapi sekarang, tanpa sengaja, aku mengedarkannya kembali!!!
Di malam Lailatul Qadar, aku duduk sendirian di teras. Tiba-tiba, telepon berdering. Suara seorang wanita paruh baya berkata,
“Fikri, aku Polwan Sari. Kami sudah menangkap pelaku aslinya berkat uang palsu yang kau sebarkan. Itu memiliki kode rahasia yang membawa kami ke penjahatnya”.
Aku terkejut. “Tapi… aku sudah memakai uang itu untuk sedekah”.
Dia tertawa. “Justru itu. Kau tidak menyadari bahwa setiap nasi bungkusmu dibeli dengan uang “palsu” itu, dan para pedagang melaporkannya ke kami. Kau membantu tanpa sadar!!”.
Ramadan tahun ini mengajarkanku bahwa Allah Swt punya rencana tidak terduga. Nenek menyimpan uang itu bukan untuk sedekah biasa, tapi untuk menyelamatkan Ayah dan mengajarkanku bahwa bahkan dari sebuah “kesalahan”, bisa lahir kebaikan yang besar.
Dan seperti biasa, Nenek benar: Sedekah sembunyi-sembunyi memang paling ikhlas.