Oleh: Muhammad Nizarullah
Masa Rasulullah, pojok-pojok mesjid Madinah digunakan oleh para guru untuk mengajarkan ilmu kepada murid-muridnya. Pojok itu dinamakan zawiyah. Beranjak dari masa Rasullah hingga kepada ulama ulama bermazhab Syafi’i yang menuntut ilmu baik di Mekkah, Baghdad, Kairo, dan Damaskus, masih menggunakan istilah ini ketika memperdalam ilmu agamanya di pojok/sudut mesjid-mesjid yang ada di negeri tersebut. Setelah menyelesaikan pendidikannya di zawiyah, para ulama ini pulang ke Aceh untuk menerapkan pendidikan zawiyah yang kemudian berkembang luas di kalangan masyarakat Aceh dan disebut dengan Dayah. Di Indonesia akrab disebut dengan pesantren.
Dayah merupakan institusi pendidikan Islam khas di Aceh dengan sistem pendidikan Islam yang mengakomodir nilai-nilai budaya Aceh yang dijunjung tinggi dan menjadi nilai yang diamalkan dan ditaati oleh santri (Sri Suyanta: 2012: 29). Tak hanya ilmu agama yang dipelajari di dayah, retorika yang dipelajari saat muhadharah mengantarkan para santri untuk mampu menyampaikan dakwahnya secara lugas dan percaya diri di tengah-tengah masyarakat. Ilmu umum tak luput dari kurikulum yang ada dalam dayah, terutama dayah modern.
Dalam lanskap pendidikan Islam di Indonesia, dayah memiliki posisi yang unik dan signifikan. Sebagai lembaga pendidikan Aceh, dayah telah memainkan peran vital tidak hanya dalam membentuk karakter masyarakat Aceh, tetapi juga dalam memberikan sumbangsih berharga bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Lembaga pendidikan ini membawa keberkahan tersendiri di mana pun ia didirikan. Para santri yang mengenyam pendidikan di dayah hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai penyampai risalah kenabian. Lembaga pendidikan hadir sebagai penyokong ekonomi masyarakat. Bahkan, dengan keberkahan penuntut ilmu yang ada di dalam nya, mampu memberikan santunan kepada anak yatim, fakir miskin yang ada di sekitarnya.
Sejarah mencatat bahwa dayah telah ada sejak masa awal penyebaran Islam di Nusantara. Sebelum Belanda masuk, Aceh merupakan daerah kerajaan. Kerajaan tersebut menganut sistem keberagamaan Islam, sehingga pendidikan yang berjalan dengan sendirinya adalah pendidikan yang bernuansa Islam. Tempat pendidikannya dimulai terutama di meunasah (surau), rangkang (balai), dan dayah. Lembaga ini telah menjadi benteng pertahanan budaya dan nilai-nilai Islam di Aceh selama berabad-abad. Namun, peran dayah tidak terbatas pada aspek keagamaan semata, dayah telah terbukti menjadi tempat persemaian para pemimpin dan pejuang yang gigih membela tanah air.
Pusat Pendidikan Tinggi Dayah Cot Kala merupakan pusat pendidikan tinggi Islam pertama di Asia Tenggara. Lembaga ini banyak berjasa dalam menyebarkan Islam dengan banyaknya ulama dan alumni yang kemudian menjadi pendakwah Islam sampai ke berbagai penjuru kepulauan Nusantara, bahkan hingga seberang selat Malaka. Dakwah yang mereka lakukan menstimulasi lahirnya kerajaan-kerajaan Islam di daerah, Seperti kerajaan Islam Samudera Pasai, Kerajaan Islam Benua, Kerajaan Islam Lingga, Kerajaan Islam Darussalam, dan Kerajaan Islam Indra Jaya. Berbagai kerajaan ini akhirnya melebur menjadi satu kerajaan besar pada awal abad ke XVI dengan nama Kerajaan Aceh Darussalam. Ali Mughayatsyah yang bergelar Sultan Alaiddin Ali Mughayatsyah dinobatkan sebagai sultan pertama. Ia memerintah dalam rentang waktu 9l6-936 H atau 1511-1530 M.
Selama masa penjajahan kolonial, dayah menjadi pusat perlawanan terhadap kolonialisme. Terdapat dua sistem yang diterapkan di Aceh saat itu, sistem pendidikan dayah dan sistem sekolah yang diterapkan Belanda. Para ulama dan santri dayah tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menanamkan semangat nasionalisme dan cinta tanah air. Tokoh-tokoh seperti Teungku Chik di Tiro dan Cut Nyak Dhien adalah contoh nyata bagaimana dayah melahirkan pejuang-pejuang tangguh yang rela mengorbankan jiwa raga demi kemerdekaan.
Pasca kemerdekaan, peran dayah terus berkembang. Lembaga ini tidak hanya fokus pada pendidikan agama, tetapi juga mulai mengintegrasikan pendidikan umum dan keterampilan praktis. Hal ini memungkinkan para lulusan dayah untuk berkontribusi lebih luas dalam pembangunan bangsa, baik di bidang keagamaan, sosial, maupun ekonomi. Posisi dominan yang dipegang oleh lembaga pendidikan dayah ini sebagian disebabkan oleh suksesnya lembaga tersebut menghasilkan sejumlah besar ulama yang berkualitas tinggi yang dijiwai oleh semangat untuk menyebarluaskan dan memantapkan keimanan orang-orang Islam, terutama di pedesaan di Aceh.
Tujuan pendidikan dayah tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi juga untuk meningkatkan moral, melatih, dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap atau tingkah laku yang jujur serta bermoral. Setiap santri diajar agar menerima etik agama di atas etik-etik yang lain. Tujuan pendidikan dayah bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi yang terutama ditanamkan bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.
Dalam konteks modern, dayah terus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Banyak dayah kini telah mengadopsi teknologi dan metode pembelajaran modern, sehingga mampu menghasilkan lulusan yang tidak hanya kuat dalam pemahaman agama, tetapi juga kompetitif di era global dan mampu bersaing di kancah internasional. Sehingga, posisi strategis dalam perdagangan dan politik dapat diduduki oleh santri-santri yang paham agama dan berlandaskan iman kepada Allah. Ia akan takut jika berbuat curang, jika menjadi pemimpin ia akan menegakkan keadilan di sekitarnya.
Kontribusi dayah dalam menjaga harmoni sosial dan toleransi di Indonesia juga patut diapresiasi. Melalui ajaran-ajaran Islam yang moderat dan sesuai dengan konteks keindonesiaan, dayah telah membantu meredam potensi konflik dan memperkuat persatuan bangsa. Konflik berkepanjangan pernah melanda Aceh hingga MoU Helsinki ditandatangani pada tahun 2005. Islam memperkuat antar suku, Islam mengajarkan kedamaian, Islam menawarkan sulh. Itu semua didapatkan dari para ulama-ulama dayah yang menyebarkan ilmu agama kepada masyarakat, mencontohkan strategi Rasulullah dalam mendamaikan suku-suku yang bertikai dengan cara sulh.
Dayah mengemban amanah yang tidak gampang ke depan. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, dayah dituntut untuk terus berinovasi tanpa kehilangan jati dirinya. Namun, dengan sejarah panjang dialektika historisnya, dayah memiliki potensi besar untuk terus memberikan sumbangsih positif bagi bangsa Indonesia. Dari masa ke masa, lembaga pendidikan ini telah membuktikan diri sebagai aset berharga dalam membangun karakter bangsa, menjaga nilai-nilai luhur, dan berkontribusi dalam pembangunan nasional. Dengan terus menjaga relevansinya, dayah akan tetap menjadi pilar penting dalam perjalanan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah dan bermartabat.[]