No Language No Service

Oleh: Ustz. Busra Idris, S.Pd.

Beberapa waktu yang lalu Allah memperkenankan kami berkunjung ke Baitullah untuk melaksanakan ibadah Umrah. Banyak  pengalaman yang saya dapatkan selama berada di sana. Diantara kami ber empat, hanya Ibu saja yang sudah pernah menginjakkan kaki ke tanah suci. Namun ibu tetap saja rendah hati dan tak pernah ada rasa sok tahu di dalam hatinya. Katanya beda masa beda peraturannya. Ikuti peraturan yang ada sekarang.

Semenjak masih di bangku kuliah, saya sudah bercita-cita untuk pergi ke tanah suci. Alhamdulillah kesampaian setelah punya 3 orang anak.

Perjalanan yang sangat singkat ini menyimpan begitu banyak hikmah bagi saya dan keluarga. Kami mencoba memanfaatkan 12 hari yang singkat ini untuk benar-benar dekat dengan Allah, memohon ampunan dan ridha-Nya. Shalat dan beribadah dengan orang-orang dari berbagai penjuru dunia.

Saya sangat suka membuka pembicaraan dengan para jamaah. Sekedar berkata “ hai” dan “dari mana?” dengan menggunakan bahasa Inggris dan Arab sisa-sisa perjuangan selama mondok dulu. Hampir semua orang yang saya temui mengetahui Indonesia. Bahkan saya pernah dipeluk dan dicium oleh ibu-ibu, katanya orang Indonesia itu baik dan sangat sopan.

Ketika berbelanja saya juga suka membuka pembicaraan dengan para pedagang. Anehnya, kebanyakan pedagang arab sangat lancar berbahasa Indonesia. Syukurnya mereka tidak bisa Bahasa Aceh.

Apapun ceritanya, kemampuan berbahasa dapat memudahkan kita. Semakin banyak bahasa yang kita kuasai semakin mudah segala urusan kita.

Pernah suatu hari kami kehilangan tas. Niatnya mau melaksanakan rukun umrah dan Kembali ke dalam shaf. Namun waktu berjalan begitu cepat hingga Magrib tiba dan kami belum menyelesaikan Sa’i.

Sebelum kejadian itu, saya berkata pada Ibu, Kakak dan Miwa untuk meninggalkan tas dan sajadahnya di sini saja. Berhubung saat itu posisi kami sangat strategis berada di dekat Ka’bah. Tas yang saya maksud ini adalah tas yang berisi sendal kami berempat. Sedangkan tas berisi Paspor tetap di badan. Tas yang satu itu bagaikan nyawa.

Ibu saya masih ragu untuk meninggalkan barang-barangnya di sini. Firasatnya “bisa jadi kita akan tiba di sini setelah Magrib dan kita akan kehilangan tas kita nantinya”. Saya menyangkalnya dengan mengatakan “kita tidak akan butuh waktu lama untuk melaksanakan Thawaf, Sa’i dan Tahallul. Mudah-mudahan sebelum Magrib kita sudah sampai di sini untuk menunaikan shalat Magrib”.

Singkat cerita, kami terlambat kembali ke sana. Begitu kami tiba, barang-barang bawaan kami seperti sendal dan air minum sudah tidak berada di tempatnya lagi. Dalam hatiku “harus nyeker nih pulang ke hotel. Ah salah ku. Ampunkan aku ibu”. Aku mencoba mencari-cari tas itu di pojokan. Mungkin saja ada, namun tetap nihil. Lalu seorang anak kecil bermata besar berwajah cantik khas Timur Tengah bertanya kepadaku “Indonesia?” “ Yeah” jawab ku. “Bathroom is on the left” sambungnya. “Oh yah, thank you” jawabku tersenyum. Ternyata wajahku mirip orang kebelet pipis.

Sampai di shaf paling belakang, “what are you looking for?” tanya seorang wanita cantik bermata biru dengan aksen Ausienya. “My bag” jawab ku. “I left here before praying Magrib“. “Oh, wait for a second I will see the Amanat”. Amanat ini adalah orang yang bisa kita memintai tolong bila kehilangan sesuatu. Mereka akan memberi saya kabar bila menemukannya nanti.

Saya berbincang-bincang dengan Shafiyya yang berkebangsaan Australia ini. Ternyata ia adalah seorang Muslimah berdarah Pakistan yang mana kakeknya  sudah lama menetap di Adelaide. Kita berbincang cukup lama sampai lupa waktu.

Percakapan kami berakhir Ketika ibuku memanggil. Ibu dan kakak memutuskan untuk pulang dengan beralaskan kaos kaki saja. Mau makan malam dulu katanya, karena dari tadi tadi siang kami belum pulang ke hotel. Selama di masjid hanya menyantap kurma pemberian orang-orang dan minum air Zamzam. Alhamdulillah.

Aku masih belum mau menyerah. Mencoba  bertanya kepada seorang askari yang sedang bertugas di sana.

“Ukhti, did you see my bag right  here on the third line? I left here for doing thawaf before magrib” tanyaku sambil menunjuk ke bagian shaf tiga. “ I didn’t see it, but I’ll tell you if I see it, please give me your number”. Askari ini juga berpesan untuk menunggu setelah Isya agar mudah menemukannya. Syukurlah mereka sangat ramah . Walau hanya keihatan matanya saja. Aku tau bahwa dia juga cantik. Tapi kita tidak bisa mengajaknya bicara terlalu lama. Lagi bertugas Bos.

Aku putuskan tetap berada di sini sampai Isya sambil terus bertanya kepada siapa pun yang ku temui di sana. Bila mereka tidak bisa berbahasa Inggris maka aku akan bertanya dengan bahasa Arab sambil  mengasah speaking skill dan mengulang beberapa mufradat. Dan benar saja, setelah shalat Isya terlihat lebih sepi. Para jamaah sebagian besar pulang untuk istirahat dan makan. Ada yang masih melaksanakan thawaf, namun hanya beberapa jamaah saja. Dan ternyata tas dan barang-barang kami masih nangkring di sana dimana kami tinggalkan tadi. Dari tadi kenapa tidak kelihatan. Ya Allah …

Aku memohon ampun kepada Allah. Pasti ada kesalahan padaku di sana sini, dan Dia ingin aku mengambil hikmahnya.

Ini adalah perjalan pertama bagiku dan kakakku tapi untuk ibuku ini adalah perjalannya yang ketiga pergi ke tanah suci. Kata ibu, perjalanan kali ini sedikit berbeda karena ada penerjemah bersamanya. Beberapa kosa kata yang ku miliki ini adalah hasil teriak-teriak di subuh hari dan setelah shalat Isya dulu semasa masih di Dayah Jeumala Amal tercinta.

Terima kasih kepada ukhti-ukhti OSMID yang sudah bekerja tanpa pamrih memberikan mufradat kepada adik-adik. Bahkan dulu ukhti dan para ustazah memberikan peringatan kepada kami “No Languange No service”.  Bahkan marah–marah aja pakai bahasa Arab. Dan anehnya feel-nya tetap dapat.

Semoga Allah berkahi sekolah ku Dayah Jeumala Amal tercinta, semua guru-guruku, para staff dan karyawan  di sana aamiin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *