Oleh: Azmi Abubakar, Lc. MH
Guru Madrasah Aliyah Jeumala Amal
Animo orang tua memondokkan anaknya ke Pesantren kian besar. Fenomena ini disatu sisi mesti disyukuri, karena potensi pengkaderan ilmu agama kepada generasi akan semakin banyak dan meluas.
Istilah Pesantren juga kias meluas, selain tradisional atau salafi, muncul pesantren terpadu yang memadukan ilmu agama dan umum, juga ada pesantren entreperneur yang mengajarkan santrinya berjiwa mandiri dengan berbagai jenis usaha dan ada juga pesantren Tahfiz.
Disisi lain, animo memondokkan anak berangkat dari keresahan orang tua terhadap anak yang lalai dengan game online dan sejenisnya. Orang tua tidak memiliki waktu karena sibuk dengan pekerjaan, ada juga yang punya waktu tapi kewalahan menghadapi anak anaknya. Dimana anak tidak berada di rumah, berlama lama di warung kopi untuk mendapatkan akses main game, anak juga tidak taat dan tidak menghiraukan ibadah salat.
Sebaliknya ada fenomena orang tua yang tidak sama sekali memondokkan anaknya ke pesantren, sebagian anak anaknya terpengaruh dengan lingkungan yang sedemikian bebas. Pulang ke rumah menjadi tidak beradab dan membantah orang tua, kecanduan game judi dan banyak pekerjaan sia sia lainnya. Syair menyebutkan bahwa nahnu Ibnul biah, kita adalah anak dari lingkungan tempat kita berada. Jika lingkungannya baik dan positif maka anak pun akan menerima magnet positif itu begitu sebaliknya.
Realitas yang terjadi juga ada ketakutan bagi para orang tua untuk memondokkan anaknya ke pesantren, adanya perundungan dan kekerasan yang dilakukan oleh oknum. Oleh karenanya, pilihan pesantren juga mesti dimusyawarahkan kepada orang orang terdekat agar orang tua merasa tenang hatinya.
Alhasil mengantarkan anaknya ke pesantren adalah pilihan terbaik dan menjadi ibadah. Dengan dilandasi niat agar sang anak tekun belajar, dan terjaga selama di pesantren. Anak memiliki peluang dibimbing oleh para ustaz dan salat lima waktunya terjaga bahkan berjamaah.
Secara idealnya, para orang tua mesti meluruskan niat bahwa memondokkan anak dimaksudkan agar tersambungnya sanad keilmuwan ulama kepada sang anak, agar transfer ilmu agama dan bahkan umum dapat berjalan seimbang dan agar kemudian orang tua mendapatkan anak yang salih yang mampu berbakti dan mendoakannya kelak.
Niat memasukkan anak ke pesantren sejalan dengan anjuran syariat diantaranya ayat Alquran:
Artinya: Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa harus ada sebagian dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama. Dengan demikian mereka dapat membantu menyiarkan agama Islam dengan dakwah Islamiyah.
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Ayat ini menegaskan kepada kita bahwa kelak yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah tentang anaknya adalah orang tua.
Para ulama menganjurkan orang tua untuk memondokkan anaknya. Bahkan dulu di zaman peperangan melawan Belanda, semangat orang tua memondokkan anak anaknya sangat tinggi.
Keluarga Tgk Chik Di Tiro di Aceh adalah keluarga pesantren yang sebelum dan ketika berlangsung perang di Sabilillah melawan Belanda masih menuntut ilmu di Dayah (pesantren). Hingga kemudian majlis kesultanan meminta bantuan kepada ulama Tiro untuk memimpin perang di jalan Allah ini.
Memondokkan anak ke pondok pesantren merupakan salah satu jalan jihad fi sabilillah, yaitu dalam rangka memerangi kebodohan agar kelak anak-anak menjadi anak yang baik akhlaknya.
Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: “Siapa yang keluar dari rumahnya untuk mencari ilmu, sejatinya ia sedang jihad di jalan Allah sampai ia pulang.” (H.R Imam at- Tirmidzi)
Selanjutnya anak anak yang telah dipondok terus diberi semangat agar betah dan nyaman dengan mengambil semangat dari para ulama. Nilai kesabaran, kegigihan, dan ketaatan kepada guru serta doa orang tua adalah kunci betah dan berkahnya para ulama berada di pondok.
Para ulama menasehatkan agar adanya himmah Aliyah (semangat yang tinggi) dari santri untuk belajar. Semangat yang tinggi ini mesti dipupuk sejak awal oleh para orang tua.
Imam Ahmad dilahirkan dari keluarga sangat fakir sekali. Ayahnya wafat ketika dia masih kecil. Sehingga ibulah yang berperan mendidik beliau. Imam Ahmad mendapatkan pendidikan yang baik yang dilandasi oleh iman dan taqwa.
Pendidikan ini sangat berbekas bagi Imam Ahmad. Beliau bertutur tentang ibunya: “Ibundakulah yang menuntun diriku hingga aku hafal al-Quran ketika masih berusia 10 tahun. Dia selalu membangunkan aku jauh lebih awal sebelum waktu salat Subuh tiba, memanaskan air untukku karena cuaca di Bagdad sangat dingin, lalu memakaikan baju dan kami pun salat semampu kami. Ibunda mengenakan pakaian yang lengkap dan memakai khimarnya di kepala serta menutup seluruh tubuhnya dengan hijab, lalu kami berangkat lebih awal ke masjid, karena rumah agak jauh dan karena jalan masih begitu gelap.”
Diceritakan juga bahwa Imam Al Ghazali selalu dibawa ayahnya dalam majlis ilmu, setiap berada di majlis ilmu sang ayah selalu mendoakan agar anaknya kelak Imam Abu Hamid Al Gazali menjadi ulama sebagaimana ulama yang berada di mimbar pengajian itu.
Para orang tua mesti terus menanamkan nilai-nilai mulia tersebut, menasehati anak bahwa jangan pernah melakukan perundungan terhadap sesama kawan juga hal penting yang mesti diingatkan kepada anak. Jangan lupa bahwa orang tua juga perlu terus belajar, tanamkan kepada anak bahwa pendidikan agama itu sangat penting.
Berada di Pesantren juga tidak menghilangkan hobbi anak, di pesantren ada tersedia waktu untuk berolahraga misalnya, bahkan banyak juara olahraga adalah alumni pesantren. Diceritakan bahwa ada ulama yang hobbi memancing, ia kerap memancing dengan membawa serta kitab Matan Alfiyah. Hingga ia bisa memancing sekaligus selesai menghafal Alfiyah.
Mari memondokkan anak ke pesantren, kelak mereka menjadi pribadi yang baik akhlaknya, tinggi ilmunya, mencintai para ulama, menjadi anak yang salih dan salihah bagi orang tua dan berkah hidupnya di dunia dan di akhirat.