Oleh: Ibnu Batutah (Alumni 2021)
Beberapa hari ini begitu gencar di media sosial dan media massa lainnya perihal akan dihancurkannya salah satu situs pelanggaran Hak Asasi Manusia di Pidie yaitu Rumoh Geudong. Rumoh Geudong sendiri terletak di Gampong Bili, Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie. Tidak jauh jaraknya dari Dayah Jeumala Amal, hanya 3 km ke arah Barat.
Rumoh Geudong, yang dibangun oleh Ampon Raja Lamkuta pada tahun 1818, memiliki sejarah yang penuh warna. Pada masa lalu, rumah tersebut menjadi tempat berkumpulnya masyarakat Gampong, di mana strategi perang melawan Belanda digagas, bahkan saat Jepang menjajah, Rumoh Geudong menjadi basis perjuangan yang tak tergoyahkan bagi masyarakat setempat. Namun, segalanya berubah drastis pada tahun 1990. Saat itu, Kopassus mengambil alih Rumoh Geudong sebagai Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) di Sektor A-Pidie, sebagai bagian dari implementasi Operasi Jaring Merah di Nanggroe tercinta.
Namun, kenyataan di lapangan sangat berbeda. Banyak masyarakat yang tak bersalah menjadi korban dalam situasi tersebut. Warga yang dicurigai menyembunyikan anggota GAM ditangkap oleh militer, sedangkan mereka yang memberitahukan keberadaan GAM malah diculik oleh GAM. Nyawa manusia tampaknya kehilangan makna di mata mereka sendiri. Masyarakat hidup dalam bayang-bayang trauma yang berat pada masa tersebut. Rumoh Geudong, yang seharusnya menjadi tempat bersejarah, disalahgunakan oleh militer sebagai tempat penganiayaan, di mana banyak orang di dalamnya tanpa bisa keluar dalam keadaan hidup.
Teringat kenangan 3 tahun lalu ketika masih menjadi murid di Dayah Jeumala Amal. Saat itu saya masih kelas 6 atau 3 Aliyah yang mana pada saat tersebut juga menjadi bagian dari pengurus Organisasi Murid Intra Dayah (OSMID) Departemen Bahasa. Ustad Munir yang merupakan Wali Kamar sekaligus Pembina Departemen Bahasa pada saat itu, mengajak saya ke Beureunuen untuk suatu keperluan, dalam perjalanan kami melewati Desa Bili yang menjadi tempat Rumoh Geudong berada, beliau melontarkan pertanyaan “Ibnu tau apa yang terjadi disitu?”. Seraya menunjuk ke arah Rumoh Geudong. “Iya” jawab saya dengan mantap. Walaupun kelahiran 2003 atau biasa dikenal Gen Z, yang tentu saja tidak pernah lagi merasakan dan mendengar cerita-cerita mengenai Rumoh Geudong ini, namun saya mengetahui sedikit banyak mengenai beberapa pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh dari membaca beberapa buku yang membahas menganai konflik dan pelanggaran HAM Aceh di Perpusatakaan Dayah. Kemudian beliau menceritakan kisah Rumoh Geudong ini secara lebih mendetail dan juga beberapa kisah yang terjadi di Pos Sattis lainnya di Aceh. Di tengah cerita beliau juga menambahkan kebanyakan anak sekarang lupa akan kejadian yang terjadi disini padahal letaknya dapat dilihat dari Jalan lintas Provinsi apabila ingin menuju ke arah Banda Aceh.
Hal ini memang tidak bisa dipungkiri bahkan ketika sampai di Malang untuk melanjutkan pendidikan, beberapa kali saya bertanya kepada teman-teman Aceh disini, ada beberapa yang bahkan tidak mengetahui letak Rumoh Geudong dimana, mereka hanya mengetahui saja perihal apa yang terjadi disana, miris namun nyata. Ditambah lagi dengan pemberitaan mengenai akan diratakannya situs Rumoh Geudong, anak muda Aceh makin kehilangan sejarah mereka.
Cukuplah Istana Darud Donya yang dibakar dahulu kala dan menjadi Pendopo Gubernur pada hari ini, apakah kita akan menceritakan kisah pelanggaran HAM pada anak-anak kita kelak seperti menceritakan dongeng Istana Darud Donya? Marilah kita bertanya pada diri kita sendiri, apa yang bisa saya lakukan? Baru kemudian kita lemparkan pertanyaan ini kepada 3 wali di Nanggroe Teuleubeh ini, wali yang seharusnya menjadi pemersatu dan penjaga di Aceh. Waliyullah, Wali Amri, dan Wali Nanggroe. Hoe Ka Gata? []