Seteguk Air dari Mu

Oleh: Niswatul Khaira (XII MIA 4)

 “Hei Safar, kenapa kau bermain di bawah terik matahari yang menyengat. Kulit mu sudah hitam legam, jangan kau buat tambah mengkilap.” Teriak Bordul yang sedari tadi berdiri di pematang sawah. Ciri khasnya yang suka mem-bully Safar setiap kali mereka bertemu tanpa ada jeda waktu. Seketika Safar tahu Bordul memanggilnya, menjauh merupakan strategi untuk menang tanpa harus bertarung. 

“Ha…ha…, sepertinya dia takut dengan kita Bordul.” Ujar Stun. Salah satu teman Bordul yang kadang-kadang dipanggil Stun disebabkan ukuran tubuhnya yang pendek.

“Sudahlah, biarkan saja Safar bermain dengan angin. Lagian dia bukan teman se-level dengan kita.” Ujar Bordul ketika mengajak Stun, Ucup, dan Lek mencari bambu muda untuk membuat tembak tutus.

Sambil melompat-lompat kegirangan, serentak mereka menyanyikan lirik lagu yang terkenal pada tahun 90-an. “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Suara mereka terdengar lirih mengucapkan lirik lagu yang diciptakan oleh Koesplus sambil memasuki hutan.

***

            Sebagai seorang anak dari keluarga miskin, Safar bersama kakak semata wayang mencoba bertahan hidup dari gerusan zaman. Biaya menjadi masalah utama yang membuat Safar dan sang Kakak hanya mampu menempuh pendidikan tingkat menengah atas. Pernah sekali dalam satu waktu Safar membayangkan sosok dosen yang mampu mengubah kehidupannya kelak setelah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Namun, semua itu hanyalah fatamorgana yang tak mungkin menjadi nyata. Adakalanya, pendidikan membutuhkan biaya mahal. Jangankan untuk mencicipi nikmatnya pendidikan, untuk bertahan hidup saja rasanya cukup pahit bagi mereka berdua.  

“Safar, kemarilah! Sebentar lagi malam tiba.” Ujar Sadiq ketika memanggil Si Adik yang duduk termenung di beranda rumah.

            “Apa yang kau pikirkan, Safar?” Tanya Sadiq dengan gelagat keheranan karena hampir setiap waktu Safar termenung.

“Kak, aku melihat alam yang indah, kedipan bintang yang gemilang, siul burung yang saling bersahutan. Hidup mereka dari luar terlihat sempurna. Aku pun punya keinginan tinggal di rumah yang sederhana walau hanya terbuat dari bambu dan beratapkan daun rumbia.” Ujar Safar pada Sang Kakak yang sedang menjerang air untuk berwudhu menunaikan shalat magrib.

Safar terus memandangi langit, melalui celah dinding, dirinya melihat cahaya bulan menerobos masuk ke dalam rumah. Sejuta harapan untuk bersinar seperti mereka. Tidak pernah ada rasa takut menghadapi segala rintangan malam yang mencekam. Imajinasinya terlalu tinggi untuk seorang Safar yang tinggal di rumah kumuh. Hidup tanpa seorang ibu, menjadikan Safar lelaki yang kuat. Hembusan ombak ke tepi pantai tentu ada terumbu karang yang berdiri kokoh menahan derasnya air.

“Lihatlah lampu teplok ini, Safar!” Ucap Sadiq sambil menenteng lampu teplok yang diambil dari dalam kamar setelah menunaikan shalat magrib.

“Lampu teplok ini hanya berbahan dasar sumbu pel lantai, botol obat sirup dan minyak tanah. Semua komponen lampu teplok ini tidak diperjual belikan di swalayan ternama. Bahkan, masyarakat luas pun cenderung membuang barang yang tak bisa dipergunakan lagi setelah dipakai.  

“Beginilah kita! Adik ku. Tegarlah, kita harus memperjuangkan hidup ini.” Lirih Sang Kakak pada Safar agar tidak termenung setiap waktu.   

“Kau harus tau, lampu teplok ini bisa bercahaya karena dorongan minyak tanah dari dalam botol. Hidup kita tidak jauh berbeda dari mereka. Kita perlu semangat dari dalam diri kita agar bisa meraih kesuksesan dan kelak terbang jauh melintasi angkasa. Langit tak pernah menjelaskan bahwa ia tinggi, tetapi kita harus mampu keluar dari belenggu kemiskinan yang masih mendera.” Sadiq mencoba memberikan semangat kepada Safar.

Safar merenungi perkataan saudaranya itu secara perlahan. Nasehat yang membangun gairahnya untuk terus berjuang menemukan jati diri yang sebenarnya.

***

            “Tembak lagi Bordul, tembak, Ucup jangan kabur.” Suara Stun melengking di sepanjang tepi sungai. Komplotan Bordul sedang bermain tembak tutus yang telah mereka buat sehari yang lalu.

“Lek, jangan sembunyi, mentang-mentang kau berkulit putih, selalu menghindar dari sengatan matahari.” Ucap Stun agresif dan terus mengejar dua lawan perangnya, Ucup dan Lek. Tidak salah dirinya dipanggil Lek, karena kulitnya yang putih seperti bule. Berbeda dengan teman-temannya yang berkulit sawo matang.

            Peluru mainan beterbangan mengikuti aliran sungai yang sudah tercemar dari limbah pabrik PT. Langgiene.

“Ada apa ini? Mengapa sungai ini penuh dengan gumpalan cairan kecokelatan?” Sejenak Lek termenung melihat keadaan air sungai yang berubah tanpa diketahui penyebab sebenarnya.

            “Aduh! Sakit.” Peluru Ucup mengenai wajah Lek saat berdiri termenung di pinggir sungai ketika sedang melihat lelaki bertubuh gempal membawa tentengan barang di tangannya ketika lelaki tersebut menumpahkan cairan ke dalam sungai. 

***

Di beranda rumah, Safar sedang menyiapkan kayu bakar untuk memasak air menggunakan tungku peninggalan orang tua. Lirih terdengar sepasang angsa putih yang melompat kegirangan bermain di sungai seakan-akan alam ini milik mereka berdua, tak peduli dengan lalu-lalangnya pengendara.

“Lihatlah mereka, Safar!”  Jari telunjuk Sadiq menunjuk angsa putih yang bermain di sungai.

“Sekilas dapat dilihat, tidak sedikit pun mereka menanggung beban padahal kedua kaki mereka mengayuh sekuat tenaga.” Ujar Sadiq lirih.

            Cairan cokelat mengalir di sepanjang sungai. Air sungai Lam Lhok sudah tercemar dengan limbah pabrik PT Langgiene. Terlihat beberapa ikan mati keracunan dan beberapa lainnya sempoyongan.  Safar menggeram dan melemparkan semua ranting kayu yang ada di depannya ke dalam sungai sambil mencari tahu asal muasal cairan tersebut. Langkah kaki menyusuri bantalan sungai hingga batas Desa Lam Lhok. Safar melihat pabrik latex yang baru saja di bangun beberapa bulan lalu dengan tulisan yang terpampang rapi PT Langgiene.

            Lam Lhok merupakan satu-satunya desa yang memiliki pohon karet dengan jumlah mencapai tiga ribu pohon. Banyak pengusaha tertarik dengan desa tersebut dan tidak sedikit pula diantara pengusaha ingin mendirikan perusahaan. Dua tahun yang lalu masyarakat Lam Lhok telah menolak kehadiran perusahaan PT Ceudah Rupa. Entah bagaimana, setahun setelah masyarakat Lam Lhok menolak PT Ceudah Rupa kini berdiri perusahaan PT Langgiene yang memproduksi karet sepuluh ton dalam satu bulan.

***

“Dasar berandal, tak ‘kan ku maafkan kalian.” Dari kejauhan Safar melihat Bordul dan Stun dipukul habis-habisan oleh seorang pria bertubuh gempal. Bordul dan Stun berteriak histeris karena tubuh mereka kesakitan. Sementara itu, Ucup dan Lek lari menyelamatkan diri.

            Tanpa sadar, Safar sampai dihadapan mereka sedari tadi menyusuri bantalan sungai. Segera mungkin Safar menyelamatkan Bordul dan Stun dari tangan pria yang tidak bertanggung jawab. Bordul memang orang yang selalu mengganggu Safar, tetapi tidak sampai hati melihat mereka diperlakukan seperti tikus rumahan. Tak pikir panjang, Safar mengambil sarang semut yang ada didekatnya dan melemparkan ke arah lelaki tersebut tepat mengenai kepalanya. Bordul dan Stun bangkit dan lari menyelamat diri seperti dikejar anjing gila.

            “Aduh! Kau lempar ke punggung ku? Tanya lelaki itu sambil berteriak kesakitan.

Safar ikut berlari menyelamatkan diri agar tidak ditangkap dan dipukul oleh lelaki tersebut. Merasa puas telah menyelamatkan Bordul dan Stun dari lelaki yang tidak dikenalnya, Safar menghela napas panjang sambil berlalu meninggalkan mereka.

***

            Sadiq kebingungan karena Safar belum pulang ke rumah sejak adiknya menyusuri bantalan sungai. Sadiq berusaha mencari Safar sampai ke hilir, tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaan Safar.  

“Sudahlah, tidak usah kau urus urusan mereka. Tubuh mu yang kecil ini tidak mampu melawan mereka. Apalagi kau hanya pengangguran lulusan sekolah menengah atas. Apa yang kau tau?” Ucap pedagang yang menjajakan dagangannya di samping pabrik saat melihat Safar berjalan mendekati pintu masuk pabrik PT Langgiene.

“Silakan, kau hina tubuh ku yang jelek ini sepuasnya. Aku bukannya tidak menjawab, tetapi tak ada singa yang membalas gonggongan anjing.” Tegas Safar dan beranjak pergi dari hadapan mereka.

“Beraninya kau menyamakan ku dengan anjing.” Pak Mejo menyimpan dendam kepada anak ini. Semua orang di warung saling bertatapan, tidak biasanya Safar yang selalu sabar bagaimana pun orang menghinanya.

“Hei Sadiq, kau bawa pulang adik mu ini, mengotori warungku saja.” Pemilik warung melihat Sadiq yang melintasi warungnya.

“Sekarang kau menghina adik ku Safar! Besok kau akan mendapatkan hasilnya, Pak Mejo.” Sadiq bergegas membawa Safar pulang.

Sehina itukah adiknya dihadapan Pak Mejo. Hanya karena keadaan fisik yang berbeda, Safar dan Sadiq dipandang sebelah mata. Sungguh pilu hidup tanpa orang tua, luntang-lantung tak tahu arah. Tak ada tempat berkeluh kesah. Namun, mereka yakin Allah masih menjadi tempat berlindung.

***

            Produk latex termasuk salah satu jenis produk yang paling banyak diminati masyarakat. Hampir semua produk berbahan dasar latex menjadi kebutuhan sekunder masyarakat. Tingginya permintaan pasar dapat menyebabkan produksi PT Langgiene meningkat drastis dari bulan ke bulan. Tentu tidak terhitung jumlah limbah yang dihasilkan oleh pabrik tersebut.

Sudah dua pekan air sumur di rumah Safar mengalami penyusutan. Hujan tidak turun sudah dua bulan lamanya. Satu-satunya harapan bertahan hidup ada pada air sungai, namun akhir-akhir ini limbah pabrik PT Langgiene telah mencemarkan satu-satunya sungai yang dimiliki oleh penduduk Lam Lhok. Pupus sudah harapan untuk menikmati air bersih. Jangankan untuk mandi, untuk mencuci baju rasanya sulit sekali didapatkan.

“Safar, bisakah kau mencari air bersih ke desa tetangga?” Ujar Sadiq yang sedang menggoreng telur ayam di dapur.

“Baik, Kak!” Ujar Safar tanpa ada satu pun kata untuk menolak permintaan Sadiq.

Safar menyusuri jalan setapak menuju Desa Lam Panah. Dalam perjalanan, Safar dihadang oleh pasukan Bordul yang sedang memetik mangga milik warga setempat.

“Hei, Black! Mau kemana kau. Kapan kau putihkan kulit mu.” Teriak Bordul yang sedang duduk bersila di atas pohon mangga.

“Nggak pernah mandi dia, nggak bakalan putih, lagian dia diciptakan dari bahan baku yang nggak berkualitas. Beda dengan kita. Ha… ha….” Ujar Ucup yang sedang menggoyangkan dahan mangga diikuti dengan gelak tawa Bordul dan Stun penuh rasa bangga.

Safar terus berjalan tanpa mendengar ocehan dari kelompok Bordul. Tanpa sengaja, Safar bertemu Pak Mejo yang baru saja pulang dari pasar untuk berbelanja bahan dagangan di kios miliknya.   

“Mau ke mana kau Safar.” Tanya Pak Mejo.

“Mau cari air Pak, di desa tetangga.” Safar menjawab dengan lemah lembut.

“Ha…ha…. Dasar anak orang miskin belum sukses aja sudah jadi pengemis. Aku khawatir bila kamu berhasil. Aku yakin, kau akan jual Desa Lam Lhok ini ke pengusaha-pengusaha yang datang dari negeri seberang.” Ujar Pak Mejo sambil memacu motornya pulang ke Desa Lam Lhok. 

“Dasar lelaki bau tanah. Bisa-bisanya dia menghujat ku demikian. Padahal, aku tidak pernah mencelakai dan menghujat dirinya.” Terlintas dalam pikiran Safar untuk mencuri air di rumah Pak Mejo.

Perjalanan menuju Desa Lam Panah urung dilakukan. Safar memutar haluan menuju rumah Pak Mejo. Tidak butuh waktu lama, Safar berhasil memasuki ruang dapur setelah memastikan keberadaan Pak Mejo masih di kios depan rumahnya. Tersaji makanan nikmat dan lezat di atas meja makan. Tanpa pikir panjang, Safar melahap habis makanan yang menjadi kesukaan Pak Mejo. Dengan tingkah yang ceroboh, Safar mengisi penuh air putih ke dalam jerigen yang telah ditenteng dari tadi.

Dari ruang tengah terdengar Pak Mejo sedang berbicara dengan seseorang melalui pesawat seluler. Safar tidak menyadari jika Pak Mejo sudah berada di ruang tengah rumahnya.

“Waalaikumsalam.” Pak Mejo mengakhiri percakapan dengan seseorang.

Dari ruang dapur terdengar suara panci jatuh. Pak Mejo merasakan gelagat aneh di rumahnya karena keluarganya tidak suka memelihara kucing. Bahkan, tikus pun tidak berani beranak pinak di rumahnya.

            Terdengar langkah kaki Pak Mejo menuju ruang dapur. Sejuta ketakutan menghampiri Safar, bergegas menyelamatkan diri bersembunyi di bawah kendi besar yang terletak di sudut ruang dapur. Keringat mengalir deras di sekujur tubuh layaknya anak kecil yang selesai mandi hujan. Segudang kekhawatiran menghampiri Safar jika Pak Mejo menemukan keberadaannya. Tentu Safar dihajar habis-habisan oleh Pak Mejo.

“Hei, Dungu, apa yang kau lakukan di sini? Tamat sudah riwayat mu sekarang.” Pak Mejo menemukan Safar yang sedang meringkuk seperti tikus yang sedang dikejar kucing tiga warna.

“Kau mau mencuri di rumah ku?” Pak Mejo mengangkat tubuh mungil Safar dari tempat persembunyiannya sambil mencekik leher Safar tanpa ampun.

“A-i-r” Pak Mejo melepaskan tangannya dari leher Safar dan membiarkannya berbicara.

“Apa yang kau katakan dungu?” Lanjut Pak Mejo setelah menangkap suara yang keluar dari mulut Safar

“Aku ingin meminta sedikit air untuk kakak ku yang sedang sakit di rumah.” Safar berusaha menyelamatkan dirinya walau harus membohongi Pak Mejo. Gelagat sedih berharap belas kasihan dari Pak Mejo.

“Ha…ha…., kau ke sini untuk meminta-minta, tetapi tindakan mu itu seperti maling tujuh keturunan?” Lanjut Pak Mejo tatkala emosinya memuncak.

“Tolonglah aku, berilah beberapa liter air untuk ku dan kakak ku! Pak Mejo. Kakak ku saat ini sedang terbaring lemas di rumah sudah dua hari. Ia menderita penyakit kulit setelah meminum air sungai yang tercemar limbah pabrik PT Langgiene.” Ujar Safar dengan wajah memelas rasa iba dari Pak Mejo.

“Aku tidak bersedia memberikan setetes pun air kepada anak kecil pembawa sial seperti mu.” Pak Mejo membanting Safar tanpa rasa kasih sayang.

Hanya rasa sakit di sekujur tubuh yang diterima Safar setelah dihajar oleh Pak Mejo. Safar meringkuh lutut Pak Mejo seraya mengharapkan rasa empati terhadap kejadian yang menimpanya.

Emosi Pak Mejo yang meledak-ledak seketika surut seperti air laut yang sedang purnama. Rasa sosial muncul secara tiba-tiba. Pak Mejo mengambil jerigen yang jatuh di lantai lalu mengisi penuh air tanpa meminta bayaran sedikit pun.

“Ambil, pulang sana. Dasar anak tikus.” Lirih Pak Mejo sambil menyodorkan air yang telah diisi penuh ke dalam jerigen milik Safar.

Langkah kaki tertatih lesu meninggalkan ruang dapur rumah Pak Mejo. Panci, kuali, dan kompor ikut tertawa riang bersama dinding dapur ketika melihat kesialan menimpa Safar. Sambil menekuri alam, Safar berlalu meninggalkan Pak Mejo. Ilalang yang sedari tadi bergoyang garang, siulan burung yang membahana memecahkan kesunyian alam tiba-tiba diam membeku kaku diantara pintu langit dan pintu bumi.

***

            Pagi-pagi sekali, Safar mendengar keributan di halaman rumahnya. Bordul, Ucup, Stun dan Lek sedang menggotong ember yang berisikan air. Empat serangkai itu melambaikan Safar dibalik tirai rumahnya yang tersingkap oleh hembusan angin dari aliran sungai. Safar keheranan melihat gelagat mereka seperti baru saja mendapat hidayah dari Sang Pencipta.

“Safar!” Teriak Bordul. “Keluarlah sebentar, aku ingin berbicara sebentar dengan mu!” Lanjut Bordul dengan wajah penuh penyesalan.

“Safar, maafkan kami yang telah menghina mu, seharusnya kita menjalani masa kecil dengan sukaria, penuh canda dan tawa tanpa saling menghina. Kini, kami menderita karena tidak mau mendengar perkataan mu dan kakak mu. Benar, air sungai kotor dikarenakan limbah pabrik PT Langgiene. Kami sangat menyesal.” Ujar Bordul penuh penyesalan

“Apakah ada yang bisa dilakukan untuk memperbaiki semua kerusakan ini, Safar.” Lanjut Stun

Terlintas ide dalam pikiran Safar untuk membuat penyaring air. Safar mengajak semua teman-temannya mengerjakan rencana agar bisa menghasilkan air bersih dari sungai. Sekali pun tidak bisa digunakan untuk melepas dahaga setidaknya bisa digunakan untuk mencuci pakaian atau bahkan dapat menjadi air minum hewan peliharaan dan binatang melata yang beranak pinak di rimba raya.

Tidak butuh waktu lama, penyaring air berkat ide Safar didukung semangat kebersamaan dan tumbuhnya budaya gotong royong, mereka berhasil menciptakan mesin penyaring air bersih menggunakan bahan sederhana yang sangat mudah diperoleh. Kini, warga Desa Lam Lhok terlihat bahagia karena air sungai telah jernih. Nama Safar dan teman-temannya telah tenar hingga mancanegara. Liputan berita dari televisi nasional mendapat respon dari United Nations Environtment Programme (UNEP). Akhirnya, Safar dan teman-temannya bisa mengenyam pendidikan tingkat lanjut yang didanai oleh AMINEF (American Indonesian Exchange Foundation). []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *