Rumoh Aceh, adalah simbol kebanggaan sekaligus identitas bagi masyarakat Aceh. Rumoh yang bukan saja menjadi rumah tempat tinggal, tetapi juga sumber inspirasi. Dibangun dengan kayu terbaik, dan tiap sisinya tersambung bukan menggunakan paku besi, tetapi pasak atau kayu rotan. Kokoh dan kuat. Begitu pula Djeumala Amal, menempatkan salah satu peninggalan leluhur, rumoh Aceh tepat di tengah-tengah lokasi pesantren. Yang bukan hanya menjadi sebuah symbol, tapi mengingatkan santri; bahwa rakyat Aceh dulu selalu berpegang dengan adat dan syara’. Keteguhannya lah dulu yang membuat kejayaan Aceh pernah tercium semerbak ke daratan Eropa sana. Bukan tanpa alasan.
Idealisme, kesederhanaan dan keberanian, tersirat dalam setiap lembaran kayu rumoh Aceh yang berdiri tegak. Sama seperti djeumala mendidik santrinya agar menjadi manusia yang berotasi di atas idealisme kebenaran, yang hidup bernyawa layaknya kesederhanaan. Yang tak layu dimakan gemerlapnya dunia. Mampu bertahan dalam suhu dunia yang kian hari semakin hedonis. Tidak tergerus oleh topeng fana. Disini para santri dipahat untuk menjadi pemberani. Keberanian yang nantinya menjadi selimut perjalanan hidup, bukan hanya tahu tapi maju untuk membela yang benar.
Rumoh Aceh terbagi menjadi tiga bagian; pertama seuramoe keue (teras depan). Kedua. Seramoe tengoeh (ruang tengah). Ketiga, Seuramoe likoet (ruang belakang). Serambi depan yang berfungsi sebagai teras depan dan ruang tamu rumah. Di Dayah Djeumala Amal, rumoh Aceh difungsikan sebagai asrama santri. Tahun 1998 ke bawah, Rumoh Aceh difungsikan sebagai asrama santriwan. Baru setelah 1998 ke atas difungsikan sebagai asrama santri wati. Dan tahun itu menjadi tahun perdana bagi santriwati untuk selanjutnya menjadi penghuni tetap rumoh Aceh.
“Putroe Aceh” (Anak-anak Aceh) begitu sebutan bagi penghuninya. Nama yang bukan hanya panggilan tapi juga memegang pangkat tertinggi. Penuh kebanggaan dan harapan. Nama yang disematkan oleh Ustazah pembimbing angkatan; Ustadah Nuryani (Nani panggilan sayang kami). Nama yang akhirnya mengantar para penghuninya menjadi bagian dari masyarakat yang mengukir peradaban Aceh.
Dari seramoe keue, atau yang biasa kami sebut serambi. Kisah putroe Aceh berawal. Awal perjalanan kami ditorehkan, bukan hanya cerita suka. Tapi juga membenamkan air mata. Belajar menelan disiplin hari demi hari, pahit memang. Tapi berbuah manis. Menancapkan tombak tanggung jawab pada gadis-gadis lugu putroe Aceh. Yang bukan hanya bisa meraih, tapi juga menjaga dan memelihara yang dimiliki; persahabatan, kepeduliaan, tanggung jawab dan kesederhanaan. Yang terpenting mampu memahami apa itu kebahagiaan!
Di rumoh Aceh pula kami bertemu kawan dan juga lawan, bukan hanya menemani tapi juga mengajari makna kesetiaan dan penghianatan. Terutama ketika beringsut dari peraduan, tak semua bernasib mujur memiliki jam weaker alami dalam tubuhnya. Bagi yang terbujur dalam angan mimpi akan bermandikan pecutan sajadah perih. Ketika ukhti OSMID (Organisasi Murid Intra Dayah) mulai berpatroli ketika azan subuh berkumandang. Disinilah kesetiaan dan pengkhiatan itu diuji. Ada yang mengendap-ngendap menyelamatkan diri, ada pula yang menyelamatkan sebagian penghuni. Jadi kisah Lucu mengelakkan tawa, jika sempat didokumentasikan dalam bentuk rekaman. Sayangnya saat itu ponsel masih terbilang barang antik, terlebih barang itu haram berkeliaran di dayah. Selain karena sinyal yang pasang surut, barang itu memang terlarang.
Di Serambi, fil fina (teras) kami berkumpul. Posko dan base camp putroe Aceh. Tempat yang juga menjadi menara kontrol Djeumala. Dari hamparan serambi biasanya penghuni Putroe Aceh mampu meneropong jauh, melihat keadaan sekitar. Atau mengawasi guru piket sekolah ketika mendekati lonceng atau bel sekolah pukul 07.00 pagi. Yang melihat nantinya memberi aba-aba, agar tidak ada yang kena setrap (dijemur). Jarak pandang kami melebihi rata-rata santriwati lainnya, karena posisi asrama tepat ditengah lapangan dan dari arah ketinggian. Uniknya, pengintaian kami jarang terditeksi. Tertutupi oleh jeruji-jeruji kayu setinggi 50 centimeter yang melingkari serambi, dan ranting- ranting lebat dua batang pohon kelapa kiri dan kanan serambi. Spot yang bagus untuk mengetahui arus keluar masuk santriwati. Bisa dibilang kami penjaga asrama putri.
Penjaga asrama yang sangat terjaga. Betapa tidak, lantai kayu yang mengalasi kaki-kaki kami selalu berbunyi. Terlebih waktu shalat, kami harus sangat berhati-hati. Demi menjaga jamaah sholat yang berada persis di bawah kami agar tak terganggu. Tak jarang ada jamaah yang sedang berzikir atau mengaji yang berteriak, “oi…maun…maun ukhti” teriak seseorang dari bawah, bisa dipastikan ada gelas minuman bergelinding di lantai rumah. Airnya merembes ke lantai bawah melalui selah-selah kecil diantara himpitan papan. Penghuni diatas, pasti spontan menutup mulut sembari ketawa cekikan, antara malu dan senang.
Tahun perdana selepas kepindahan kami, lantai bawah rumah Aceh masih dipakai untuk mushala putra. Tapi setelah masjid asrama putra rampung, lantai bawah beralih jadi asrama putri. Kami menang banyak. Kepindahan mushala ini, membuat kami jadi jama’ah Spesial. Karena tidak pernah lagi merasakan perihnya sajadah qismu ibadah (bagian ibadah). Lantai bawah Mushala ukurannya lebih luas satu meter dari ukuran rumah induk. Jadi otomatis pagar yang melingkarinya pun lebih besar. Sehingga tangga turun naik rumah Aceh, persis berada di area mushala. Jadi agak sulit menangkap penghuni yang hilir mudik terlambat ke mushala. Karena sejatinya kami memang tidur di atas mushala, selalu 24 jam. Bukan hanya waktu sholat.
Pernah satu waktu, lemparan batu mendarat di Serambi putroe Aceh. Lemparan yang dipancing oleh kegaduhan kami, yang masih berisik ketika pukul 11.00 malam. Telisik punya telisik lemparan itu berasal dari Ustadz Kaligrafi kegemaran kami, Ustadz Edy. Cukup mengagetkan. Sekaligus mengheningkan seketika suasana riuh, senyap dan ketakutan. Mudah memantau sekaligus dipantau, itulah kelebihan kami. Inilah kisah putroe Aceh, tahun 2002 silam. Entah saat ini, apakah dia masih berdiri kokoh dan menjulang tinggi? Mudah-mudahan dia akan selalu setia menemani santri dalam menempa diri.
Rumah Aceh, rumah kebanggaan. Layaknya rumah tempat lahir, yang juga tempat kembali. Memberi arti dan juga mimpi. Dari sinilah semuanya berawal, dari mimpi penghuni Serambi. Memberi arti bagi diri, memahamkan diri bahwa bersama tak mesti sama. Saling menghargai dan menyayangilah yang selalu buat kita bisa bersanding bersama. Djeumala Amal, layaknya atap runcing rumah Aceh sebagai tempat menyimpan pusaka endatu. Begitu pula Djeumala Amal, rumah yang akan melahirkan putroe-putroe Aceh, pusaka endatu, harapan dan tongkat estafet perjuangan zaman.
Putroe Aceh, 2000
Cut Endang Puspa Sari, Alumni Mtss DJA 2002
Cairo, 02 April 2022