Jadilah Seperti Ikan yang Masuk ke dalam Air

Oleh: Munir Nasjam

Pendidikan di pesantren adalah sebuah orientasi kehidupan kemasyarakatan, dimana setiap santri akan menghadapi segala aspek sosial yang ada dalam masyarakat. Pesantren sebagai lembaga pendidikan mendidik santri-santrinya siap terjun ke dalam masyarakat yang kelak menjadi mundzirul qaum bagi saudara-saudaranya.

Ada hal yang membedakan antara kehidupan di pesantren dan di masyarakat. Di pesantren santri seakan berperan dalam sebuah drama yang ruang lingkupnya besar dan waktu yang panjang, dimana ia digembleng untuk menghadapi segala perkara, baik dan buruk kehidupan yang langsung bersentuhan dengan kawan sejawat, dewan pengurus, hingga para ustadz. Selain belajar formal di kelas sebagai penunjang keilmuannya kelak, santri akan disajikan dengan fenomena dimana ketika melakukan hal yang baik akan mendapatnya kebaikan, dan yang melakukan hal kurang tepat ia harus belajar untuk menyelasaikan masalahnya dengan mandiri. Tentu kehidupan di pesantren penuh dengan masalah, mulai dari hilang sandal yang baru dibelinya, terlambat ke dapur hingga nasinya habis, dihukum mudabbir karena telat ke masjid, atau dimarahi ustadz karena sering bermasalah.

Tentu perkara ini tidak semena-mena diciptakan di lingkungan pesantren. Rekayasa kehidupan ini sengaja dirangkai, dimana santri selalu menjadi perhatian pengurus, kadang masalah kecil diperbesar dan masalah besar diperkecil, kadang santri dihukum, kadang santri dinasehati dan dibimbing, kadang pula berbagai cara menghadapi keadaan turut diajarkan oleh pengurus. Kelak, segala sesuatu yang pernah terjadi di pesantren akan menjadi kenyataan dimasa mendatang, sehingga dengan pengalamannya itu ia menjadi dewasa dan siap terjun ke masyarakat.

Bayangkan jika di pesantren tidak dididik demikian, santri dipenuhi dengan kemewahan, segala sesuatu diselesaikan oleh orang tua, atau bahkan hal-hal sepele diselesaikan dengan uang. Tentu tantangan yang dihadapi oleh santri sangat minim, tidak ada yang namanya masalah. Otomatis pengalamannya dalam mengahadapi kehidupan sangat minim. Dari hal ini muncul pertanyaan, siapkah santri untuk terjun ke masyarakat?

Disisi lain, ada sebuah problema yang sering terjadi dan dihadapi beberapa santri saat balik ke kampung halaman, dimana ia mulai merasa asing dengan kehidupan sekelilingnya, sedikit mulai memisahkan diri dari masyarakat, senang bergaul sesama teman pesantren, menganggap diri seperti tamu yang minta dilayani dan lain-lain. Mereka mengatkan, “ah, malas aku gabung sama mereka, nggak nyambung pembahasannya”. Berbagai alasan melatarbelakangi fenomena ini, tentu dengan hujjah berbeda-beda, tergantung konteks yang dihadapi oleh si santri. Ada yang beranggapan kalau teman-temannya punya sifat buruk harus dijauhi, hingga ada juga yang menganggap dirinya belum layak atau belum cukup ilmu untuk berkiprah dalam masyarakat. Pasti tidak semuanya demikian, tidak sedikit pula dari mereka bisa mengalir bergaul bersilaturrahmi berdampingan dengan masyarakat.

Selanjutnya, kehidupan di masyarakat adalah kehidupan ril dimana tidak ada lagi drama antara santri dengan pengurus, ustadz yang memarahi santri, hingga orang tua yang membela dan mengayomi. Santri sudah masuk dan menjadi anggota masyarakat yang ia hidup dan berkiprah di dalamnya. Segala sesuatu ditanggungnya sendiri, baik positif dan negatifnya. Tantangan menghadapi berbagai macam karakter bermunculan, ujian sosial menghampiri, apa ia bisa diterima oleh masyarakat atau tidak, atau bahkan menjadi sampah masyarakat? Tentu hal demikian tidak diinginkan oleh siapapun.

Seorang ulama besar di tanah Jawa, Trimurti pendiri pondok Gontor, mengatakan “Jangan canggung kembali ke masyarakat, jadilah seperti ikan yang masuk ke dalam air, bukan seperti tikus yang masuk ke dalam air”. Maksudnya, orientasi pendidikan pesantren adalah kemasyarakatan, agar santri setelah tamat menyerbu masyarakat sebagai mudzirul qaum. Kerena itu, selama santri menempuh pendidikan di pesantren, santri dibekali dengan semua hal yang kelak ketika kembali ke masyarakat akan mereka butuhkan dan temukan. Dengan demikian sepatutnya mereka tidak lagi canggung terjun ke masyarakat sepeti ikan yang masuk ke air, bukan seperti tikus yang masuk ke dalam air. [] 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *