Oleh: Nadya Sitanggang
Hari Santri Nasional yang telah sejak sekian lama dicanangkan , akhirnya bisa terwujud juga pada tahun 2015. Agus Thoriq Darwis bin Ziyad atau yang lebih akrab disapa Gus Thoriq yang merupakan pengasuh pondok pesantren Babussalam, Malang, Jawa Timur, adalah orang yang menggagas ide untuk diselenggarakannya Hari Santri Nasional setiap satu tahun sekali, sebagaimana kita biasa melakukan peringatan hari-hari nasional lainnya, terlepas dari adanya libur/cuti bersama atau tidak. Gus Thoriq memandang bahwa Hari Santri Nasional perlu diperingati setiap tahunnya karena santri adalah bagian dari warga negara Indonesia yang ikut serta dalam pembangunan negara, nusa dan bangsa.
Setelah melewati proses yang panjang selama bertahun-tahun dan melibatkan banyak pihak akhirnya Hari Santri Nasional akan dilaksanakan pada setiap tanggal 22 oktober. Tahun ini menjadi tahun pertama diadakannya event ini, sehingga mungkin sebenarnya masih banyak pro-kontra di sana sini. Pada 2010, Gus Thoriq telah membicarakan perkara ini dengan Gus Dur dan Gus Durpun ingin ikut andil dalam masalah ini. Namun, Tuhan berkata lain, Gus Dur wafat pada tahun yang sama. Akan tetapi, Gus Thoriq tidak berhenti memperjuangkan gagasannya. Akhirnya pada 15 Oktober 2012, pemerintah mengeluarkan surat rekomendasi no. 2548 A.11.03/10/2012 Jember, Jawa Timur, bahwa Hari Nasional akan diadakan pada setiap 1 Muharram. Meskipun demikian, peringatan Hari Santri Nasional belum juga bisa diselenggarakan pada tahun itu. Hingga menjelang pemilu 2014 lalu, perkara ini menjadi salah satu janji Jokowi yang merupakan presiden terpilih saat itu dan masih menjabat sampai sekarang. Hal ini, ditentang oleh pihak pendukung lawan politiknya yakni Fahri Hamzah, yang menuliskan kritik di jejaring sosial yang menyebutkan kata “sinting” terhadap Jokowi yang menyatakan akan menyelenggarakan peringatan Hari Santri Nasional setiap 1 Muharram. Setelah terpilih menjadi presiden, pihak-pihak yang mendukung ide Gus Thoriq ini terus mendesak Jokowi agar menetapkan kapan pastinya akan diselenggarakan Hari Santri Nasional. Ketuk palupun menetapkan bahwa event ini akan diselenggarakan pada setiap 22 Oktober.
Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa keputusan akhirnya menetapkan hari ini sebagai Hari Santri Nasional?
KH Said Aqil Siroj menjelaskan bahwa tanggal tersebut dipilih karena 70 tahun silam, pendiri NU, yakni KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwanya untuk melakukan perang melawan penjajah pada tanggal ini. Gabungan para ulama dan anak muda dari Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya untuk membahas ini. Akhirnya pada 10 November 1945, mereka turun ke medan tempur untuk melawan penjajah yang berasal dari Inggris dan Belanda yang masih ingin menguasai Indonesia. Peperangan sengit yang memakan banyak korban ini pada akhirnya memenangkan pihak Indonesia, meskipun telah banyak yang gugur di dalamnya. Ajakan untuk memerangi penjajah ini, belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”. Oleh karena itu, Hari Santri Nasional akhirnya diputuskan untuk diperingati pada tiap tanggal ini, untuk mengenang apa yang terjadi 70 tahun silam.
Terlepas dari perbincangan mengenai penetapan Hari Santri Nasional, hal yang lebih penting untuk kita cermati sebenarnya adalah hakikat dari penyelenggaraan event ini sendiri. Data dari Kemenag menunjukkan bahwa jumlah pesantren pada tahun 2012 sebanyak 27.230 dan itu akan semakin bertambah setiap tahunnya mengingat tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan pesantren, sehingga semakin hari semakin banyak orangtua yang mengirim anak-anak mereka untuk belajar di pesantren. Masing-masing pesantren punya ciri khas dan caranya sendiri untuk membentuk santrinya. Sebagian pesantren menekankan unsur-unsur klasik pada santrinya, misalnya dengan penguasaan terhadap literatur-literatur klasik (baca: kitab kuning) atau dengan memunculkan unsur-unsur modern seperti penguasaan bahasa asing. Adapula pesantren yang khusus dibangun untuk para santri yang ingin menghafal Quran, adapula yang menggabungkan semua unsur-unsur tersebut. Hal ini yang membedakan sistem pembelajaran pesantren dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Sistem pembelajaran yang semacam ini jelas akan berpengaruh pada pembentukan karakter santri di masa depannya. Seorang santri pada umumnya menjadi lebih disiplin, karena ia terbiasa dengan hidup yang serba berjadwal saat ia tinggal di pesantren. Belum lagi, jika kita ingin menyinggung masalah pembentukan akhlak santri, seperti bagaimana menghormati orangtua, menolong sesama, dsb., nilai-nilai seperti ini akan tertanam di dalam diri santri dan membentuk pribadi yang unggul.
Jaminan yang ditawarkan oleh produk pesantren ini jelas sangat bermutu jika kita merenungkan uraian singkat di atas. Namun, sungguh disayangkan, santri kita masih sibuk berkutat di level kesalehan individualnya saja, seperti menjalankan ritual-ritual ibadah secara telaten dengan harapan mendapat ridha Allah SWT. Hal ini, tentu saja amat baik untuk meningkatkan spritualitas si santri. Akan tetapi, bagaimana dengan kepedulian para santri terhadap lingkungan sosialnya. Saya rasa, tidak begitu banyak santri yang mampu mencapai level ini. Kepedulian terhadap lingkungan sosial (saya lebih senang menyebutnya sebagai kesalehan sosial) bisa diwujudkan misalnya dengan adanya usaha-usaha dari santri dalam bidang ekonomi yang bisa ikut membantu mendorong finansial masyarakat di sekitarnya. Hal ini tentu saja sudah dilakukan oleh sebagian pesantren, tetapi, belum begitu banyak yang melakukannya.
Jika pada zaman penjajahan dulu, para santri ikut ambil peran dalam melawan penjajah melalui peperangan, maka pada masa kini yang sudah damai dan aman dari peperangan, para santri bisa memberikan konstribusi dalam bentuk lain kepada masyarakat. Selama masa pembelajarannya di pesantren, tentu mereka sudah ditanamkan suatu prinsip bahwa “khairu al-Naas anfa’uhum li al-Naas” (Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain.
Saya rasa, pesantren punya tanggung jawab yang besar untuk memberikan pemahaman semacam ini kepada para santri. Mereka tidak hanya didorong untuk memperkuat dan memperbanyak amalan ibadah yang sifatnya ritual, tapi, juga ibadah yang bentuknya bisa memberikan dampak baik dan bermanfaat bagi orang sekitarnya. Dengan segala potensi yang mereka miliki, seperti penguasaan terhadap ilmu agama, ilmu umum, bahasa asing, dsb., mereka seharusnya hanya perlu sedikit diasah dan ditekankan bagaimana implementasi dari kalimat “khairu al-Naas anfa’uhum li al-Naas”. Jika sebelumnya saya memberikan contoh di bidang ekonomi, sekarang saya ingin memberikan contoh di bidang pendidikan yang mungkin bisa dilakukan oleh para santri untuk masyarakat di sekitarnya. Mengingat bahwa di masyarakat kita masih banyak yang memegang atau mempercayai hal-hal mistis, mengapa para santri tidak berusaha mengubah paradigma ini menjadi kepercayaan hanya kepada Allah semata. Mungkin hal ini akan sulit dilakukan, apalagi jika masyarakat yang dihadapi sudah memegang kuat kepercayaan seperti itu. Namun, ada baiknya dicoba, bukankah Rasulullah yang dianggap sebagai panutan semua umat Islam juga mengalami masa-masa sulit dalam mengubah masyarakat? Jadi, kenapa tidak?!
Pasti ada banyak hal yang sebenarnya bisa dilakukan para santri untuk mengubah bangsa, mengingat banyaknya jumlah pesantren dan santri di Indonesia yang semakin hari semakin bertambah. Peringatan Hari Santri Nasional ini, jangan hanya kita anggap sebagai sebuah event yang diadakan tiap tahunnya, tetapi, juga sebagai sebuah momok untuk mengingatkan bahwa bangsa kita punya potensi yang layak dikembangkan, terutama yang berasal dari kalangan santri. Semangat resolusi jihad yang dulu pernah dikobarkan oleh KH Hasyim Asy’ari untuk tidak menyerah pada penjajah pada masa itu, mari kita pertahankan dengan bentuk yang berbeda. Kita tidak perlu lagi mengangkat senjata, tidak perlu lagi bermandi darah, atau melihat pemandangan yang menyeramkan di jalan-jalan karena mayat berserakan di mana saja. Kita hanya perlu memberikan potensi yang kita punya untuk pengembangan masyarakat. Bukankah hal ini juga bernilai ibadah?! Jadi tunggu apalagi? Mari memberi konstribusi untuk bangsa, karena santri adalah bagian dari Indonesia dan untuk Indonesia.
Selamat Hari Santri Nasional!