Sajak Keresahan oleh Muhammad Nizarullah
Kabut pagi baru saja carah,
sepatu tua menggarit aspal tanpa peduli soal angka;
tapi soal perut yang harus mengalah,
soal mimpi yang dipaksa realita.
Delapan ribu rupiah per jam.
Bahkan becak enggan berserobok dengan tarif itu.
Bahkan tukang parkir berkelakar menghitung receh ini.
Tapi guru harus tersenyum,
karena protes adalah dosa baru di negeri ini.
“Sabarlah,” kata mereka yang duduk di kursi empuk,
“Tuluslah,” bisik mereka yang gajinya delapan angka,
“Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa,”
maka jangan minta jasa, jangan minta makan.
Sabar itu bisa membayar listrik,
ketulusan itu bisa mengenyangkan anak di rumah,
pahlawan tak mengapa mati kelaparan
asal mati dengan senyuman.
Mereka datang untuk mengadu, bukan mengada-ngada,
yang mampir bukan regulasi—
tapi tepukan di bahu,
kata-kata kosong yang sudah usang,
terdengar indah, tapi sad ending.
Sirna hitam di atas putih,
janjimu bak hujan lokal,
hanya berlaku di Kawasan yang kelu.
“Ayo semangat, terus berjuang,”
yang artinya: perjuangan kalian sia-sia, kami tak akan berbuat apa-apa.
Dan guru itu kembali ke ruang kelas,
mengajar anak-anak tentang keadilan, tentang keikhlasan,
sambil menelan ironi yang lebih pahit
dari kopi tanpa gula yang mereka gamit.
Delapan ribu rupiah, hanya empat angka.
Harga sebuah martabat yang tak pernah lapar.[]
DJA/Okt 2025
