Oleh: Azmi Abubakar, Lc., MH
Belanda pernah menyimpan takjub luar biasa kepada wanita Aceh dalam perang 80 tahun (de tachtig jarige oorlog) Aceh-Belanda. Dimana kekuatan dan ketegaran para kaum hawa di Aceh kala itu sangat dipengaruhi tujuan membela agama dan nanggroe yang begitu membara. Apatah lagi nilai hudeep saree mate syahid serta merta telah menjadi harga mati bagi seluruh pejuang. Hatta Belanda sendiri memberi penghormatan kepada kaum wanita Aceh dengan panggilan de grootes dames atau wanita-wanita agung (AK Jakobi, 2004).
Julukan itu bukan tanpa alasan, Belanda menemukan perbedaan kontras antara wanita Aceh dengan wanita Belanda. Ciri khas noni-noni Belanda umumnya tinggal dan selalu menuggu kepulangan suaminya yang menjadi tentara-tentara resmi, dimana keadaan ini tidak terjadi dengan wanita Aceh yang justru hidup dan besar dalam peperangan itu sendiri. Alhasil peperangan melawan Belanda telah menciptakan bumbu-bumbu kekuatan baru. Ditambah lagi manakala hikayat prang sabi terdengar membahana, semangat keagamaan wanita Aceh semakin matang dan nasionalisme keacehan mereka jelas-jelas sebuah nasionalisme suci nan agung
Zentgraaf, seorang wartawan Belanda dalam bukunya De Acehers ikut memuji wanita Aceh dengan menyebutkan bahwa semua pemimpin perang yang telah bertempur di wilayah Hindia Belanda mengakui bahwa tidak ada bangsa yang begitu bersemangat dan fanatik dalam menghadapi musuh selain bangsa Aceh dengan wanita-wanitanya yang sangat berani. Karena itu setiap literatur sejarah Aceh mengukir nama laksamana Malahayati sebagai sosok pejuang, perannya telah berhasil menggagalkan pengacauan keamanan oleh angkatan laut Belanda pimpinan Cournelis De Houtman. Bahkan seorang pengarang wanita Belanda, Marie Van Zuchtelen dalam bukunya Vsowelijke Admiral Malahajati sangat memuji-muji laksamana Malahayati, sebagai pemimpin armada inoeng bale dengan kapal-kapal perangnya yang terdiri dari 2000 prajurit wanita yang gagah dan tangkas.
Begitu juga dengan peran besar Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Keureuto, Laksamana Meurah Ganti, Laksamana Muda Cut Meurah Inseuen, Tengku Fakinah, Cut Meutia, Po Cut Baren Biheue dan lain-lain. Singkatnya mereka adalah de grootes dames murni yang berperang melawan kaphe Belanda dengan segala keteguhan prinsip dan kekokohan iman. Sejarah juga mengabadikan sosok Pocut Meuligo dalam perannya memerangi Belanda. Ia pernah memimpin langsung pertempuran saat Belanda menyerang Samalanga. Jenderal Van Der Heijden sebagai pemimpin perang saat itu terluka parah dan mata kirinya buta ditembus peluru.
Bahkan jauh sebelum kedatangan Belanda, keberanian dan kecakapan para wanita Aceh telah ditunjukkan dalam bidang politik sekalipun. Maka terkenallah nama Ratu Nihrasiyah Rawa Khadiyu, Seri Ratu Tajul Alam, Safiatuddin Johan Berdaulat, Seri Ratu Nurul Alam Nagiatuddin dan Seri Ratu Kemalat Syah. Melihat catatan demi catatan sejarah tersebut, sungguh sangat salah kaprah manakala ada kaum wanita Aceh zaman sekarang yang tidak peduli dengan hal-hal ini. Kaum hawa di Aceh didapkan kepada tantangan dimana keteguhan prinsip dan kekokohan iman untuk terus dipertahankan.
Kita ingat kembali peradaban Aceh dengan ilmu pengetahuannya pernah bangkit masa emas enam puluh tahun tahun era sultanah. Para sultanah memang tidak mengembangkan kemiliteran tetapi pada saat itu ilmu pengetahuan melejit, lahir kitab-kitab dan para ulama sangat dihargai. Ada filosofi yang cukup menarik, kenapa perempuan Aceh diberi laqab sebagai Po Ti atau Po Ni, maknanya perempuan yang dihormati. Ti atau Ni ini harus lah menjadi Teue, Teue adalah daun yang berbentuk seperti payung. Filosofi payung adalah mengayomi. Maknanya para kaum hawa haruslah berperan sebagai Ti yang menjadi Teue bagi keluarga.
Institusi Islam terbesar semisal Al Azhar memandang peranan wanita secara moderat. Antara lain terdapat dalam penyataan Ali Jumah dalam bukunya Alkamin fi Hadharatil Islamiyah bahwa peran wanita dalam Islam sebagai pemimpin sudah terwujud semenjak dahulu sebagai wujud Islam yang bertamaddun, dimana barat tak pernah memberi ruang kepada wanita. Peranan wanita dalam skala kecil lainnya adalah menjadi pedagang, kalau dilihat di pasar-pasar umumnya hampir sebagian besarnya adalah wanita. Hal ini juga berlaku di Mesir. Begitu juga halnya di sawah, kebanyakan mereka adalah para janda yang tak lagi memikirkan untuk menikah lagi, mereka hanya ingin mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Menarik ketika mengulas pendapat Syekh Yusuf Qardhawi beliau memandang wanita yang berkeja di luar hukumnya diperbolehkan. Bahkan, bisa menjadi sunah atau wajib jika wanita tersebut membutuhkannya.
Seperti dalam kondisi janda, sedangkan tidak ada anggota keluarganya yang mampu menanggung kebutuhan ekonomi. Selain itu, dalam sebuah keluarga, terkadang diperlukan seorang wanita membantu ekonomi suaminya yang masih kekurangan, menghidupi anak-anak atau ayahnya yang telah tua renta. Seperti dalam cerita yang termaktub dalam surah al-Qashash ayat 23. “…kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat memberi minum ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternaknya, sedang bapak kami termasuk orang tua yang lanjut umurnya.”
Dalil yang digunakan berdasarkan Alquran Surah al-Baqarah ayat 71. Ada dua pondasi yang disandarkan kepada ayat ini, pertama adanya pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, kedua tentang anjuran untuk mengerjakan perbuatan baik dan buruk. Ada Hadis Aisyah yang turut menguatkan pendapat ini bahkan Aisyah sendiri pernah menjadi imam kepada budaknya (Hisyam Kamil; 2011).
Merujuk dalil al-Quran dan Hadits sendiri, ada empat perempuan yang sangat dimuliakan Islam, pertama, Sayyidah Asiah, istri Fira’un. Ia tetap berpegang teguh pada prinsip ketauhidan. Kedua, Sayidah Maryam, tahan dalam menghadapi fitnah, perempuan mulia dari keluarga Imran. Alquran melakab mereka sebagai keluarga terbaik (Amr Khalid, 2007). Ketiga, Sayyidah Khadijah istri Rasulullah, di akhir hayatnya ia tidak lagi berharta, demi memperjuangkan Islam. Keempat, Sayyidah Fatimah Al-Zahra, putri Rasulullah, pemilik kehidupan sederhana nan jauh dari materialistik (Nizar, 2018).
Literatur sejarah menyebutkan bahwa penguasa terakhir Granada, Abu Abdillah al-Sagir menangisi kekuasaannya yang telah hilang dari atas bukit. Literatur sejarah menyebut keruntuhan Granada kala itu bersebab Sultan telah begitu lama dikelilingi perempuan tidak baik (Ragib Sirjani, 2002). Jangan lupa bahwa sepanjang sejarah muslimin, perempuan adalah madrasah pertama pembuka peradaban (Salabi, 1997).
Menuju Madrasah Peradaban
Bagi pemerhati keluarga, isu penting terkait perempuan Aceh hari ini adalah menggeliatnya kasus gugat cerai. Di antara penyebabnya adalah masalah ekonomi. Acuan itu dapat dilihat dari data perceraian dari Mahkamah Syariah yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Data dari Januari hingga Juni 2020 ada 3.220 perkara gugatan perceraian yang diterima MS kabupaten/kota di seluruh Aceh. Sebanyak 2.445 kasus di antaranya berakhir dengan perceraian, faktor yang paling dominan adalah terjadinya perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus (Serambi Indonesia, 28 Juli 2020).
Ilmu tentang pernikahan harus dimulai sejak dini. Menanamkan bagi anak dan keluarga bahwa pernikahan itu merupakan sebuah akad yang sangat sakral. Begitu sakralnya bahwa pernikahan itu sendiri disaksikan para malaikat. Pernikahan dimaksud agar terjaminnya hak dan kewajiban antara dua pasangan laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan kehidupan sakinah, mawaddah wa rahmah. Seorang suami haruslah memberikan penghargaan kepada istrinya, karena telah mau memelihara anak dan keturunannya dengan baik. Prioritas selanjutnya bagi pasangan suami istri adalah menjaga.memelihara dan merawat serta memberikan pendidikan yang layak kepada anak-anak, terutama sekali pendidikan ruhiyah. Di sini, peran Istri sangat besar dalam membangun madrasah peradaban sebagai cikal bakal peradaban muslimin.
Kehidupan Rasulullah bersama Sayyidah Khadijah berjalan selama dua puluh lima tahun lamanya, Sayyidah Khadijah telah mengajarkan kita bagaimana menjadi istri teladan, mengorbankan semua apa yang dimiliki untuk kemajuan dakwah Islam. Sampai suatu ketika menjelang wafat, Sayyidah Khadijah tidak lagi memilki kain kafan. Melalui Fatimah, beliau meminta surban Rasulullah untuk dijadikan kain kafannya. Di hadapan Rasul, beliau pernah berkata, jika aku wafat, aku sudah tidak bisa lagi membantu dakwah mulia ini, maka gunakanlah tulang belulangku sebagai jembatanmu untuk meniti jalan dakwah. Dalam sejarah Fathul Mekkah, Rasulullah mendirikan kemah dekat makam istri tercinta, Sayyidah Khadijah.
Kita tidak pernah mendapati dalam sejarah bangsa Arab Jahiliyah, seorang perempuan membunuh suaminya, bahkan Ummu Jamil sekalipun membantu Abu Lahab sebagai suaminya, walaupun bantuan itu berupa kejahatan. Merujuk kembali kepada sejarah perempuan pra Islam, kaum hawa selalu berada pada posisi hina, dijadikan budak para raja. Perempuan tidak mendapatkan kepemilikan mahar, tegasnya mereka tidak mendapatkan hak-haknya sebagai manusia. Islam merubah prilaku itu semua hingga menjadikan perempuan mendapatkan tempat yang mulia. Bahkan al-Quran menempatkan perempuan menjadi salah satu nama surah, al-Nisa.
Pada akhirnya kita mesti kembali kepada konsep Islam, panduan yang telah terbukti memberikan kebahagiaan dan membuahkan peradaban besar. Gugat cerai sebagai masalah kaum hawa di Aceh kiranya akan berkurang jika para ayah dan suami sadar akan kewajibannya terhadap anak-istri. Jadikan sirah nabawiyah sebagai keteladanan keluarga masyarakat Aceh. Dari sini kaum hawa mesti terhormat, cerdas dan beradab. Kelak, para pemimpin peradaban mesti lahir kembali dari negeri ini. Oh para Cut Nyak, para Ti dan Ni jadilah selalu seperti Teue. Engkaulah madrasah peradaban dan penyemangat kami!
(Opini ini keluar sebagai juara pertama dalam Lomba Menulis Santri Aceh yang diadakan oleh RTA tahun 2021)