Hari Santri, Intro Menuju Ranah Global

Oleh: Rizqan Kamil, Alumni Dayah Jeumala Amal tahun 2010. Pernah menempuh Studi di Turki

Sejak 2015, Presiden Jokowi melalui Keputusan Presiden No 22 mendeklarasikan pelaksanaan Hari Santri Nasional pada setiap tanggal 22 September (bukan hari libur Nasional). Keputusan ini dimaksudkan untuk mengenang jasa perjuangan ulama melalui tokoh-tokoh Islam seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, dan banyak lainnya. Dipilihnya tanggal 22 Oktober ini dianggap sebagai pengingat momentum fatwa ‘Resolusi Jihad’ oleh kalangan kiai-kiai di pesantren se-Jawa dan Madura pada tahun 1945.

Mulanya hari santri ini mendapat polemik oleh banyak ahli, terjadinya penolakan dikarenakan kekhawatiran polarisasi dan memunculkan kesenjangan dengan non-santri di waktu mendatang. Namun Keppres Hari Santri tetap disahkan oleh Presiden Jokowi, dengan menimbang kontribusi perjuangan serta pengingat para ulama dan para santri dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia.

Dalam sejarah Indonesia, ulama dan santri mempunyai peranan penting. Sejak kemerdekaan hingga kini, banyak santri yang berprestasi dan menjadi sumber daya berharga bagi negara dalam memajukan ajaran Islam. Fondasi santri sebagai aset negara tidak lepas dari Lembaga Pendidikan Islam Nusantara yang disebut sebagai Pesantren.

Saat ini pesantren telah bertransformasi menjadi berbagai jenis: tradisional, modern, atau perpaduan keduanya. Kehadiran pesantren yang mengedepankan pendidikan agama dan akhlak akan selalu membedakan siswa di Indonesia, terutama yang mengkhususkan diri pada ilmu agama atau kemudian menekuni bidang studi yang lebih luas.

Contoh Teladan
Jauh di pedalaman Thailand Selatan, terdapat satu pondok pesantren dengan nama Pesantren Misbahuddin atau Sekolah Islam Prateepsasana. Pesantren ini terletak di wilayah pedalaman Nakorn Sri Thammarat, kira-kira jauhnya 750 km dari ibukota Bangkok Thailand.  Pesantren ini adalah salah satu dari banyak sekolah agama atau “Pondok Bantan” yang dapat ditemukan di provinsi-provinsi selatan yang bergolak.

Awalnya pesantren ini dibangun sebagai upaya menjaga akidah masyarakat Islam di sekitar perkampungan yang dikelilingi oleh mayoritas Budha. Siapa sangka kelak pesantren ini menjadi tauladan utama bagi sekolah Islam di seluruh Thailand.

Mengutip sejarah, Pesantren Misbahuddin didirikan pada tahun 1941, ketika sejumlah kecil pelajar Muslim Thailand kembali dari Mekkah. Dipimpin oleh Yaakob Pitsuwan Abdul Rauf, mereka memutuskan untuk mendirikan Pondok Bantan kecil, sebagaimana dikenal secara lokal untuk pendidikan dasar fardu’ain bagi anak laki-laki dan perempuan di provinsi selatan Nakorn Sri Thammarat.

Tahun 1967 pesantren ini goyah, satu momen menarik datang. Cucu pimpinan pondok yang berusia 17 tahun memenangkan beasiswa AFS untuk pertukaran pelajar ke Amerika. Tidak tanggung-tanggug, ke Amerika. Tidak pernah terbayangkan di dalam benak mereka, bahwa mereka akan mengirim santri ke benua yang paling dihindari.

Pro-kontra terjadi, separuh pengajar berpandangan jika si anak ini dikirim ke Amerika, si anak kemungkinan akan berubah seiring waktu. Yaakob Pitsuwan Abdul Rauf sebagai pimpinan pesantren awalnya ragu, namun dengan istiqamah dan ikhlas akhirnya melepas cucunya berangkat ke Amerika.
Berlanjut, tebakan para pengajar akhirnya benar.

Bertahun-tahun si anak ini lupa diri dan enggan pulang. Si anak ini terlena, menghabiskan sisa waktu lebih banyak di Amerika. Tanggung jawab untuk mengabdi di Pondok Bantan dikesampingkan, dia terlempar ke jalur lain.

Hingga suatu ketika, dia pulang. Pulang dengan kepala tegak, membawa kebanggaan tak terkira bagi Pondok Bantan beserta kampungnya. Peranannya memetik hasil, melaluinya Pondok Bantan didanai secara besar-besaran oleh negara Timur Tengah, termasuk Islamic Development Bank, juga Sasakawa Peace Foundation yang berbasis di Jepang.

Petualangannya di Amerika ternyata tidak main-main, dia berhasil membawa pulang ijazah S2 dan S3 dari Harvard University, kampus paling elit di dunia. Estafetnya beranjak, dari santri berubah menjadi scholar, kemudian tokoh nasional, terakhir tokoh internasional. Si santri yang hilang dari Pondok Bantan dan kembali itu adalah Surin Pitsuwan, Sekretaris Jendral ASEAN tahun 2008-2012.

Jeumala Sebagai Wadah
Saat ini, Dayah Jeumala Amal tercatat sebagai salah satu pesantren modern tersukses di Aceh. Berdiri pada tahun 1986, kemudian diresmikan oleh Gubernur Aceh Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA pada tahun 1988; per 2022 menampung 1666 santri dari berbagai kabupaten/kota di Aceh. Raihan prestasi nasional sebagai estafet puncak, dianugerahi Rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai pesantren pertama di Indonesia yang memperoleh Sertifikat ISO9001:2008.

Ditambah terbentuknya FOSKADJA (Forum Silaturahmi Komunikasi Alumni Dayah Jeumala Amal), melengkapi fondasi Jeumala Amal sebagai wadah pencetak sumber daya manusia berkualitas tinggi. 

Dalam skala daerah, alumni Dayah Jeumala Amal telah melengkapi berbagai profesi aktif dalam membangun negeri. Sedangkan dalam skala nasional, terdapat berbagai alumni yang telah berhasil menjadi pejabat publik, pegawai BUMN, ustad, dokter, dosen di kampus ternama, hingga aktif sebagai pebisnis di ibukota. Absensi di kancah internasional ternyata sebaliknya, perlu adanya dorongan bagaimana ke depan alumni Jeumala Amal mampu menaklukkan panggung internasional seperti cerita Surin Pitsuwan diatas.

Memang ada puluhan atau ratusan alumni Jeumala Amal yang pernah menempuh studi di luar negeri. Jika dilihat dari segi prestasi, Santri Jeumala Amal berhasil membuktikan diri bahwa mereka layak bertarung di kancah internasional. Akan tetapi mental yang terbentuk jadi PR bersama, bahwa memupuk mental juga perlu proses. Terkait mental, hal ini lumrah dialami oleh anak-anak daerah akibat kekurangan akses langsung contoh teladan atau motivator, ditambah kekhawatiran orang tua dengan pertimbangan “tipis iman” yang akhirnya tidak ingin melepas anaknya untuk merantau jauh.

Mungkin kita perlu mengutip satu pidato Surin Pitsuwan yang dia alami dari pengalaman pribadinya, “Siswa memang perlu dididik secara komprehensif dalam bidang agama. Namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kita mempersiapkan mereka menghadapi tantangan modernisasi sekaligus meyakinkan orang tua agar keimanan anak tetap utuh”.

Perihal diatas, mari kita rangkul dan perkuat pemahaman bahwa pembinaan mental para santri adalah tanggung jawab bersama. Peranan-peranan ini bisa dimulai dari institusi pendidikan seperti Jeumala Amal, orang tua santri, alumni Jeumala, hingga kontribusi pemerintah.

Penting untuk disadari bahwa panggung internasional kini terbuka lebar untuk para santri. Berkaca pada praktik diplomasi Indonesia, Indonesia mengakui memakai diplomasi santri untuk mendorong perdamaian global melalui nilai-nilai agama. Tentu peran santri ini sangat esensial. Sehingga dibalik esensial ini, semoga salah satu pelaku diplomasi santri Indonesia adalah didikan dari Jeumala Amal. Selamat Hari Santri!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *