Fattah, ‘Lontongnya’ Masyarakat Mesir di Saat Lebaran, Berikut Filosofinya

Oleh: Muhammad Dany (Alumnus Dayah Jeumala Amal, Mahasiswa Univ. Al-Azhar Kairo-Mesir)

Fattah merupakan makanan khas Mesir yang pasti anda dapatkan di hampir setiap rumah masyarakat Mesir ketika hari raya, sama halnya lontong di Indonesia. Seakan lebaran belum terasa sempurna jika belum makan lontong. Hanya saja yang berbeda dari keduanya, anda tidak akan menemukan Fattah ini di selain hari lebaran dan pesta, meski proses pembuatannya dibilang mudah, namun mereka enggan membuatnya di selain hari tersebut, mungkin ini merupakan bentuk self reward-nya mereka menjadikan makanan ini ekslusif dinikmati setelah berjuang melakukan ‘pertempuran’ dahsyat melawan hawa nafsu duniawi, perjuangan puasa selama 30 hari penuh serta qiyamullail di dalamnya di idul fitri, dan perjuangan melawan keserakahan harta di idul Adha.
Ada 3 unsur inti di hidangan makanan Fattah yaitu nasi, kerupuk Isy, daging rebus, dan kaldu sapi plus saus tomat yang disirami di atas nasi. Meski sesederhana tapi makanan ini sangat berkarakteristik, sama halnya dengan lontong, warga Mesir yang merantau ke macanegara pasti bakal kangen dengan makanan ini di saat hari raya.
Dilihat dari sisi filosofi, menurut pandangan penulis, makanan ini menunjukkan karekteristik Bangsa Arab yang diwariskan dari masa ke masa dari zaman jahiliyah sampai sekarang.
Pertama: sifat spontanitas, Bangsa Arab merupakan bangsa dengan spontanitas level ‘ultimate’, sadarkah anda bahwa syair-syair arab yang anda dengar selama ini dibuat hanya dengan satu kedipan mata, spontan tanpa harus berpikir panjang, mereka bisa membuat karya hebat ini hanya dengan modal perasaan yang jujur. Bangsa Arab tidak suka membuat sesuatu dengan proses yang panjang seperti pembuatan lontong yang mana proses pembuatnya mesti begadang semalaman. Berbeda dengan Fattah yang bisa dibuat setelah subuh dan dinikmati setelah salat ied.
Kedua: suka dengan suatu yang ringkas, bangsa Arab sangat terkenal dengan keringkasannya dalam menyampaikan atau membahas sesuatu, maka tidak heran jika kitab-kitab ulama Arab yang masih kita pelajari sampai saat ini sangat ringkas dan serat akan makna, Kitab Minhaj Thalibin contohnya, kitab dengan tingkat keringkasannya bisa dibilang cukup rumit, seorang yang sudah pakar dengan fiqh syafii ketika dia lupa hukum suatu masalah maka dia akan kembali bermuara dengan kitab ini serta merekomendasi untuk dihafal, sedangkan yang masih thalabun ilmi pasti akan membacanya dengan penjelasan ulama, sampai ada quotes “Al-Minhaj tidak dibaca kecuali bersama syarahnya.”
Dari makanan ini juga kita melihat bangsa arab yang suka suatu yang ringkas, mungkin saja mereka ‘meringkas’ bumbu rempah-rempah, kunyit, jahe, santan, ketubar, kemiri, lada ‘diringkas’ menjadi satu bumbu yaitu garam, ingat ya ‘garam’ bukan micin! Bangsa Arab yang sudah terbiasa dengan minimnya bumbu maka mungkin mereka makan itu sama halnya seperti kita merasakan masakan khas melayu yang kaya akan bumbu.
Karena Fattah ini cuma ada di hari raya maka sangat jarang wafidin (utusan/pendatang) dari negara lain yang dapat menikmatinya, karena di hari raya wafidin disibukan dengan agendanya masing-masingnya sesama anak rantau seperti silaturrahim ke KBRI, peguyuban setiap kekeluargaan, rumah senior-senior dll. Maka jangan heran full bi zeit (bumbu kacang khas mesir dengan minyak) pasti lebih banyak dibahas dan terlihat di insta story para wafidin di bandingkan Fattah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *