Oleh: Muhammad Karnafi, M.Pd*
Pernahkah kita berpikir bahwa karya tulis yang pernah kita hasilkan terbebas dari plagiat? Bukankah kehadiran teknologi seperti komputer telah membantu kita agar terhindar dari plagiat? Sudah tepatkah usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertanggungjawab (guru, dosen, praktisi, atau lainnya) dalam upaya pencegahan plagiat? Inilah sekelumit pertanyaan, penulis coba uraikan agar budaya yang tidak patut di budayakan dapat diperbaiki.
Perkembangan Teknologi
Kehadiran teknologi telah membantu manusia melakukan berbagai aktivitas dengan cara yang simpel dan terarah. Budaya kerja yang selama ini dibangun secara manual telah berpindah ke praktik digital. Aktivitas rumahan, kantoran, perdagangan, dan pendidikan telah berjalan lancar karena adanya fasilitas memadai seperti adanya komputer, jaringan internet yang tidak lowbet, dan sistem komunikasi yang efektif dari dua arah.
Sejak awal mula ditemukan oleh Charles Babbage (26 Desember 1791 – 18 Oktober 1871) seorang matematikawan asal Inggris yang pertama kali mengemukakan gagasan tentang komputer yang dapat diprogram. Gagasan utama ilmuwan tersebut muncul karena sering terjadi kesalahan dalam perhitungan menggunakan tabel matematika. (https://id.wikipedia.org/wiki/Charles_Babbage). Kini, komputer mampu mengakses berbagai lini kehidupan dalam memenuhi segala bentuk kebutuhan manusia.
Aktivitas rumahan berjalan efektif karena komputer mampu menyematkan berbagai softwere, seperti tokopedia, lazada, dan shopee, dan lain-lain. Aplikasi-aplikasi tersebut bertujuan memenuhi kebutuhan sehari-hari melalui penawaran jasa antar jemput (shooping online atau ojek online). Pekerjaan kantoran pun termasuk elemen yang tidak dapat memisahkan diri dari komputer. Pemenuhan laporan atau tugas wajib lainnya yang bersifat segera dapat diselesaikan sesuai dengan target kerja. Bahkan, komputer turut berpartisipasi memajukan pendidikan. Guru, dosen, siswa, dan mahasiswa dapat memenuhi segala bentuk kewajiban dengan menggunakan komputer. Guru dan dosen dapat berkreativitas penuh terhadap pengembangan karir. Adapun siswa/mahasiswa dapat mengasah minat dan bakatnya melalui budaya menulis seperti karya tulis ilmiah (KTI).
Dampak Digitalisasi/Komputerisasi
Penggunaan komputer bukan tidak memunculkan dampak terhadap manusia apabila penggunaannya tidak tepat. Lost control dari penggunaan komputer dapat membentuk sikap individualisme (antisosial), ketergantungan penggunaan tanpa batas, akses pornografi dan pornoaksi secara bebas. Di samping dampak-dampak sebagaimana penulis uraikan, terdapat satu bentuk penyimpangan digitalisasi lainnya yang lazim terjadi dalam ranah akademik (pendidikan) yakni plagiat.
Tindakan plagiat dapat memunculkan dampak cukup parah seperti hilangnya kredibilitas dan hilangnya rasa percaya diri. Sejak teknologi berkembang, perilaku plagiat seakan-akan telah menjadi budaya yang terus dibudayakan. Sadar atau tidak sadar, budaya plagiat semakin mengakar dan mengkhawatirkan sehingga perlu diantisipasi sejak dini dan semaksimal mungkin agar budaya ini tidak terus menjalar.
Pemahaman Plagiat
Plagiat merupakan tindakan atau perilaku menjiplak (copy–paste) tulisan berbentuk kata, kalimat, paragraf, atau naskah secara sebagian atau penuh dan diakui sebagai ciptaannya sendiri karena enggan mengakui milik orang lain. Leo (2017:447) menyatakan bahwa, “Plagiat adalah mencuri sejumlah gagasan berupa kata-kata, kalimat, paragraf dan diakui sebagai miliknya sendiri tanpa memberikan penghargaan (kredit) kepada pemilik atau sumber gagasan.” Teori lain tentang plagiat tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 17 Tahun 2010 bahwa, “Plagiat merupakan perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.” Dengan kata lain plagiat adalah mencuri karya orang tanpa izin dan syarat yang telah ditetapkan.
Faktor Munculnya Plagiat dan Solusi Pencegahan
Sikap malas membaca buku menjadi faktor utama lahirnya tindakan plagiat. Perilaku acuh tak acuh terhadap bahan bacaan berpengaruh besar bagi pengembangan pola pikir manusia. Hilangnya budaya membaca berdampak terhadap kevakuman ide dan kreativitas, lambat laun tumbuhlah sikap tidak percaya diri. Budaya malas yang dipupuk terus-menerus dapat melahirkan generasi tidak bertalenta sehingga rendah daya saing dan tidak adanya nilai jual-beli yang tinggi.
Proses pembelajaran yang berlangsung di lembaga pendidikan menjadi alasan kedua lahirnya generasi plagiat. Sebagaimana diungkapkan Leo (2017:450) bahwa, “…Proses belajar mengajar yang berlangsung di sekolah-sekolah masih terpusat pada pengajar (teacher oriented) di mana pengajar lebih sibuk menghabiskan sebagian besar waktu untuk mengajar. Siswa/mahasiswa hanya mendengar, mencatat, membaca, dan menghafal. Inilah makna pembelajaran tingkat rendah….”
Sangat jarang pengajar meluangkan waktu sepenuhnya menjadi milik siswa/ mahasiswa untuk menjelajahi ruang pengetahuan. Jika pun ada tentu masih bisa dihitung menggunakan jari tangan. Faktor lain yang menjadikan plagiat tumbuh subur seperti jamur di musim hujan, yakni siswa/mahasiswa tidak mendapat umpan balik dari pengajar terhadap kesalahan-kesalahan yang muncul dari tugas yang telah diberikan. Bahkan, tidak dikoreksi oleh pengajar karena keterbatasan waktu dan tugas lain terus menumpuk. Padahal koreksi atau masukan dengan sejumlah catatan lainnya sangatlah penting bagi mereka agar tidak terperosok pada lubang yang sama.
Faktor lain yang menyebabkan budaya plagiat terus berlanjut yakni kemampuan berbahasa dalam bentuk tulisan masih tergolong rendah. Ketiadaan skill writing tentu menghambat proses pengungkapan ide atau gagasan. Kesalahan-kesalahan yang lazim ditemukan yakni penggunaan huruf kapital yang sering salah, pemakaian tanda baca yang tidak tepat, persepsi singkatan dan akronim yang masih terbatas. Penggunaan huruf miring (italic) dan huruf tebal (bold) tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, dan penggunaan unsur serapan (Bahasa Asing) yang sering salah kaprah. Masalah-masalah pemakaian unsur bahasa sebagaimana yang telah disebutkan, seorang calon penulis dapat mengakses pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) Jilid V melalui laman https://ejaan.kemdikbud.go.id. Adapun bentuk masalah lain dari segi bahasa yakni penguasaan kosakata baku yang sering diabaikan, penggunaan ragam kalimat sering tidak efektif, dan tidak adanya kepaduan antarparagraf. Untuk mengatasi masalah keterbatasan kosakata baku, setiap calon penulis dapat mengakses Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Jilid V melalui laman https://kbbi.kemdikbud.go.id. Adapun pemahaman tentang penggunaan kalimat-kalimat yang baik dan benar, calon penulis dapat memperkaya buku-buku yang mengupas tentang tata Bahasa Indonesia.
Sejumlah kesalahan dalam berbahasa ini dapat diabaikan untuk sementara waktu, karena ada hal penting lain yang harus diperhatikan yakni ajaklah siswa/mahasiswa agar gemar membaca buku kemudian lakukan pendekatan psikologis untuk melatih mereka mahir menulis. Usaha sederhana seperti ini sangat mudah untuk dilakukan, bahkan tidak membutuhkan biaya sekalipun. Hanya saja sikap ‘ogah dan mereka suatu hari nanti pasti bisa’ layaknya racun yang tidak berbisa sehingga lahirlah generasi plagiat.
Cegahlah plagiat sejak dini. Berikan pemahaman dan wawasan sebanyak mungkin agar budaya tersebut dapat dihilangkan. Plagiat dapat terjadi dalam berbagai ranah pengetahuan dan kadang kala terjadi tanpa disadari. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya jenis-jenis plagiat yang selama ini tidak diketahui oleh mereka terutama yang sedang menimba ilmu pengetahuan. Plagiat langsung, plagiat mandiri, plagiat mosaik, plagiat sengaja, dan plagiat tak sengaja merupakan jenis-jenis plagiat yang lazim terjadi di dunia akademik. Kelompok plagiat tersebut identiknya lazim digunakan dalam bentuk tulisan.
Lantas, apakah ada plagiat dari ranah lain? Ada. Beberapa bentuk plagiat lainnya sering ditemukan pada brand product (merek dagang), content creator, musik, dan lainnya. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka yang terjun dalam ranah tersebut melanggar hak cipta (©:copyright). Kedudukannya sama dengan plagiat yang terjadi dari segi Bahasa tulisan. Harus diketahui bahwa mengambil karya orang lain tanpa menyebutkan sumber, merupakan tindakan plagiat.
Plagiat bukanlah budaya yang harus dibudayakan. Ber-plagiat sama halnya merampas hak intelektual seseorang yang telah berkarya dan merupakan satu kejahatan akademik. Berbicara plagiat bukan berarti tidak boleh mengutip tulisan pihak lain dalam tulisan yang sedang dikembangkan. Ada aturan yang berlaku agar seseorang tidak dituding sebagai plagiator (pelaku plagiat), yakni gunakan referensi yang akurat seperti adanya daftar pustaka (bibliography) dan catatan kaki (footnote), serta perdalam sebaik mungkin tata cara mengutip yang telah dianjurkan. Setiap kutipan atau tulisan yang diambil dari sumber bahan berbeda wajib dilakukan pencantuman nama pemilik asli atau sumber asal kutipan tersebut. Selanjutnya, gunakanlah softwere (perangkat lunak) seperti grammarley dan turnitin. Dua perangkat lunak tersebut dapat membantu para penulis mendeteksi kesalahan bentuk kalimat dan mendeteksi bagian kalimat ter-plagiat.
Referensi:
- https://id.wikipedia.org/wiki/Charles_Babbage
- Leo, Sutanto. 2017. Mencerahkan Bakat Menulis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
- Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Jakarta: Mendiknas.
*Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di MA Jeumala Amal