MIMPI KOPI PAGI

Oleh: M.Hanafiah, S.Pd

“Dua puluh tahun dari sekarang, Anda akan lebih dikecewakan oleh hal-hal yang tidak Anda lakukan dibanding hal-hal yang telah Anda lakukan”, begitu ungkapan Mark Twain.

Waktu tak mungkin berputar dan terulang kembali. Karena waktu akan terus bergerak maju. Aku ingin hadir sebagai pagi yang menyapa dengan kehangatan. Akan ku hempas embun yang masih terdekap di dedaunan.  

“Lakukan sekarang atau kehilangan momen untuk itu !!”. Memang tidak mudah, apalagi harus melakukan sesuatu yang bahkan terkesan frontal, kejam dan tidak berperasaan.

“Biarlah mereka dengan pikiran mereka. Hingga waktu memberi pemahaman”.

“Boleh jadi mereka hari ini akan membenci, tapi itu tidak abadi”.

“Banyak hal yang baru terungkap pada waktu yang tidak lagi sama”.

“Pengalaman telah cukup menjelaskan semua”.

“Nikmati saja. Anggaplah sedang menikmati secangkir kopi di pagi hari. Rasanya memang pahit, tetapi nikmatnya membekas lama. Itulah yang membuat rindu”. Ungkapan-ungkapan itu terus terngiang dan menjadi penyemangat.

“Huft..” Aku hembuskan nafas yang terasa memenuhi dadaku.

Bisikan naluriku semakin kuat. Sekuat aroma kopi yang mengepul di pagi hari. Memaksaku untuk bangkit. Lalu berjalan menyusuri bangunan yang tak asing. Pohon-pohon yang berjejer indah dan asri.Aku menuju sebuah kamar yang agak ke sudut, suasana sepi dan lengang. Perlahan aku membuka pintu. Sinar mentari yang tidak pernah pongah menebar cahaya menerpa tubuh-tubuh yang berserak bersama kain dan bantal di antara kasur yang tergelar tak beraturan. Padahalan jam sudah menunjukkan pukul 7.20 wib. Sekitar 20 anak penghuni kamar masih menikmati mimpi. Menjadi polisi, tentara, hakim, ulama, dai, dokter, guru, tenaga ahli, apoteker, perawat, pengusaha dan masih banyak lagi. Sama seperti mimpiku, mungkin juga mimpi semua. Tak jarang aku takut mimpi itu hanya sebatas mimpi. Karena kusaksikan mereka yang terlalu menikmati mimpi. Seperti sekarang, seharusnya mereka sedang mempersiapkan diri untuk mengejar mimpi sehingga mereka akan lebih mudah menggapainya.

“Berharap ini hanya kekhawatiran diriku, dan ini tidak nyata”.

Aku coba selami hati, mengetuk dengan sisa rasa yang masih ku punya. Agak tersendat, karena rasa yang berkecamuk. Berlahan kelopak mata bergerak memandang langit-langit kamar, terlihat laba-laba yang menari diantara jaring-jaring indahnya. Aku tidak ingin fokus ke makhluk kecil yang kadang terlihat ganas memangsa nyamuk yang salah jalan. Terkesan dunia begitu kejam. Tapi tidak bisa menghindar kalau telah terjebak di dalamnya. Maka yang terus kupikirkan adalah bagaimana memaksanya menghempas malas sehingga tidak terjebak dalam kelalaian.

Aku mengarahkan pandang pada tubuh-tubuh yang masih melingkar. Lalu, sayup terdengar rendah suara berbisik. Pelan tapi pasti.

Bangun. Hey bangun”. Salah satu dari mereka yang telah terbangun dan coba membangunkan yang lainnya.

Bagai ada magnet kuat yang menarik carik-carik kertas kecil lalu diangkatnya. Beberapa tubuh bergerak dan bangkit, perlahan meraih sarung yang awut awutan untuk dirapikan. Masih ada yang enggan bergerak. Masih terbujur kaku diselimuti kain yang tak bersahaja. Kugerakkan kakiku yang terasa kaku dan enggan terangkat. Bukan karena kaki yang berat tetapi pententangan antara jiwa yang memaksa dengan ego yang menahannya.

“Biarkan saja, nggak ngaruh ke kamu” Bisik egoku.

“Ayo, mereka bagian dari mimpimu” Kata hatiku.

Gejolak itu terus beradu dalam raga ini. Bingung, harus mengikuti yang mana. Entahlah. Apapun yang terjadi aku harus bergerak. Tidak ingin mematung, apa lagi bagai patung. Ada tapi tiada, hanya bisa menatap tanpa berbuat, hanya bisa melongo tanpa bersuara.

“Bangun”. Tegasku.

Ana sakit”. Terdengar suara lirih.

Kusaksikan mata yang melayu. Dua pipi yang kusam dan bibir yang menghitam. Naluriku bergidik, tentang rasa yang kusembunyikan. Biarlah dia mengendap di pasung jiwa. Kunikmati sensasinya sendiri. Ya hanya sendiri.

“Tolong ambilkan nasi”. Intonasi khas yang kupunya.

Tanpa suara. Diantara mereka terus bergerak. Hanya sekejap, sepiring nasi dengan lauk seadanya telah dibawa.

“Bangun, makan. Setelah itu minum obat”.

Masih tanpa suara, tanpa menunggu lama, semua dilakukan sesuai perintah. Inilah yang membuatku selalu merasa bermakna. Diantara kecewa, selalu ada bangga dan bahagia. Tapi itu tidak cukup. Aku ingin lebih. Lebih banyak lagi. Lebih baik lagi, bahkan lebih dari ekspektasiku.

Aku teringat ungkapan Lou Holtz “Without self-discipline, success is impossible, period.” Selain rasa optimis yang besar untuk dapat meraih kesuksesan, disiplin diri yang tinggi juga merupakan satu faktor penting untuk dapat menggapai masa depan yang lebih cerah.

“Ya, mereka harus disiplin”.

Memang tidak mudah untuk menjadikan semua seperti harapan. Sempat berfikir untuk puas dengan semua yang telah ada. Puas dengan begitu banyak hal yang telah mereka persembahkan. Semua usaha dan hasil yang luar biasa yang telah Allah berikan dalam kebersamaan.

“Puas berarti cukup. Cukup berarti tidak lebih. Artinya semua yang kita dapat tidak akan maksimal”. Begitu yang aku pahami.

Tidak ingin terlarut dalam suasana hati. Aku terus bergerak. Menyusuri jalan diantara gedung-gedung. Di pelataran-pelatan kamar, kulihat wajah-wajah ceria. Mereka bergumul dengan buku dan lembaran. Menikmati candu dalam meraih iltizam. Larut dalam kecintaan akan ilmu.

Mereka masih dari bagian yang sama. Sama-sama anakku. Anak yang tidak pernah mengeluh akan peluh yang menetes. Tidak pernah menyerah dengan lelah. Tidak pernah lalai untuk terus memberi yang terbaik, bukan saja untuk dirinya tetapi untuk adik-adik tersayang.

Aku hanya menatap sambil berlalu. Ketika mata kami berpapasan terlihat tatapan penuh harap sambil menyemburkan senyuman. Bukan karena enggan membalas. Bukan susahnya diri untuk menggerakkan bibir agar terkesan penuh keakraban. Hanya tidak ingin semua rasa terumbar. Bukan tidak hendak menyapa. Hanya ingin mempermainkan rasa sambil merasakan sensasi berbeda. Seumpama menikmati oroma wangi kopi murni dari cawan yang aku seduh sendiri. Pernah berfikir untuk menambahkan setetes gula biar manisnya lebih terasa. Tapi biarlah rasa kopinya lebih kentara, dan manispun dari citarasa biji kopi murni teristimewa.

“Nikmati saja setiap aroma pahit manis itu sendiri. Justru semua akan jelas adanya. Siapa yang benar-benar menganggap ku ada. Siapa yang hanya memanfaatkan”.

Begitulah hidup, dan aku menikmati setiap rasa yang telah mewarnai hidupku di tempat ini. Aku bersyukur Allah menempatku bersama mereka. Semua yang terseduh bagaikan menikmati secangkir kopi di pagi hari.

“Rasanya terlalu nikmat dari racikan yang mampu ku buat. Tapi aku tidak boleh puas. Mimpiku lebih besar lagi. Harapku lebih banyak lagi”.

“Ya. Memang tidak ada yang sempurna. Tetapi aku selalu bermimpi lebih. Allah maha pemberi”. Inilah keyakinan diri.

Aku hanya ingin mencoba mempengaruhi keabadian, meski tidak pernah tahu kapan pengaruhnya berhenti. Setidaknya ada. Aku melakukan yang aku bisa. Meski sering dianggap tak bermakna. Bahkan rasa “benci” aku maknai sebagai proses pembelajaran. Mungkin itulah cara Allah untuk menjadikanku lebih kuat. Lebih ikhlas. Lebih semangat lagi.

“Aku bukan yang terbaik. Aku tidak berharap jadi yang terbaik. Hanya ingin berbuat yang aku mampu. Tidak semua hasil baik untukku. Bukan karena aku. Karena Allah maha tahu yang terbaik untuk hambanya”.

Disinilah mimpiku dalam secangkir kopi di pagi hari. Adakala warna hitam dan rasanya sangat pahit, tapi tidak lama lalu menghilang bagai mimpi. Namun ada mentari pagi yang selalu memberikan begitu banyak harapan.

Aku yakin “Satu langkah kecil dari sebuah niat baik mampu membawa kita menuju sesuatu yang di luar imajinasi”. []

Aku teringat ungkapan Lou Holtz “Without self-discipline, success is impossible, period.” Selain rasa optimis yang besar untuk dapat meraih kesuksesan, disiplin diri yang tinggi juga merupakan satu faktor penting untuk dapat menggapai masa depan yang leb

“Nikmati saja setiap aroma pahit manis itu sendiri. Hanya kita sendiri yang tau rasanya”. Begitu kata hatiku.

Begitulah hidup, dan aku menikmati setiap rasa yang telah mewarnai hidupku di tempat ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *