Mengenal Imam Busiri

Sekitar enam tahun lalu, saya berkesempatan berziarah ke makam Imam Busiri di kota Iskandariyah, bersama dengan guru kami, Syekh Ayyub Al-Azhari Al-Jazair dan beberapa murid beliau lainnya. Dimana kami mengaji kitab Burdah Imam Busiri dengan beliau. Selain makam Imam Busiri kami juga berziarah ke makam Abu Abbas al-Mursi dan murid beliau yang terkenal, Imam Yaqut al-Ursyi. 


Imam Al-Bushiri (610-695H/ 1213-1296 M), nama lengkapnya, Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Zaid al-Bushiri. Beliau keturunan Berber yang lahir di Dallas, Maghribi dan dibesarkan di Bushir, Mesir, seorang murid waliyullah, Imam  Hasan al-Syadzili, makamnya di Humaitsara, Provinsi Aswan, Mesir. Murid beliau bernama Abu Abbas al-Mursi  bertariqah Syadziliyah.


Imam al Busiri bermazhab Syafi’i, di masa kecilnya beliau dididik oleh ayahnya sendiri dalam mempelajari Al Quran di samping berbagai disiplin ilmu lainnya, selanjutnya belajar kepada para ulama besar di zamannya. Pertemuannya dengan Mesir, terjadi manakala  beliau mulai  memperdalam ilmu agama dan kesusateraan Arab. Di sana beliau  menjadi seorang sastrawan dan penyair yang ulung. Kemahirannya di bidang sastra syair ini melebihi para penyair pada zamannya.


Suatu ketika Imam  al-Busiri menderita sakit lumpuh, sehingga ia tidak dapat bangun dari tempat tidurnya, maka dibuatlah syair-syair yang berisi pujian kepada Rasulullah, dengan maksud memohon syafa’atnya. Di dalam tidur, beliau bermimpi berjumpa dengan Rasulullah, di mana Nabi mengusap wajah Imam al-Bushiri, kemudian Nabi melepaskan jubahnya dan mengenakannya ke tubuh Imam al-Bushiri, dan saat ia bangun dari mimpinya, seketika itu juga ia sembuh dari penyakitnya. Karya agung beliau ini diberi nama dengan Burdah Imam Busiri. Burdah bermakna (selimut), sebab dalam mimpi tersebut Nabi saw melepaskan selimutnya dan beliau kenakan pada  Imam al Busiri.

Qasidah Burdah terdiri dari 160 bait. Setiap baitnya mengandung nilai sastra yang tinggi, menyentuh pembacanya. Imam al-Busiri mengisahkan kehidupan Nabi di dalam Qasidahnya. Diantara renungan yang sangat menarik dan mempengaruhi jiwa terdapat di dalam pasal kedua. Disini Imam Busiri mengulas tentang bahaya hawa nafsu,  mengenai bahayanya hawa nafsu.

فَإِنّ أَمّارَتِ بِالسّـوءِ مَا اتّعَظَتْ      مِنْ جَهْلِهَا بِنَذِيرِ الشّيْبِ وَالَهَرَمِ

Sungguh nafsu amarahku tak dapat menerima nasihat, karena ketidaktahuannya. Peringatan akan jamuan kematian berupa uban di kepala, dan ketidakmampuan jasmani akibat masa tua. Mengenai penggalan syair Imam Busiri ini, pernah saya ulas dalam novel Bulan di Langit Pedir, terbit tahun 2017. Imam Busiri wafat di Iskandariyah tahun 696H. Semoga kita mendapatkan kesempatan kembali berziarah ke makam beliau, di kota pantai, Iskandariyah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *