Ramadan Mendidik Kejujuran

Oleh; Azmi Abubakar, Lc., M.H

Tahun 380 sebelum Masehi Plato menulis sebuah magnum opus yang diberi nama Republic. Ia pernah melontarkan bahwa Negara itu harus didasarkan dengan konsep etika. Sebuah Negara haruslah dipimpin kalangan bikjak filsuf. Pemikiran-pemikiran ini kemudian coba digunakan kembali dalam frame Islam oleh Farabi, intelektual Islam yang hidup di era Abbasiyah.

Alfarabi melihat bahwa konsep masyarakat ideal hanya akan dimiliki jika sifat luhur seperti kejujuran ada pada pemimpin dan rakyatnya. Alfarabi lalu mempopulerkan istilah Negara Madinah atau Almadinah Alfadhilah, hal ini tak terlepas dari peran besar Rasulullah mengayomi masyarakat Islam di Madinah kala itu.

Konsep Negara Madinah ini selanjutnya mengantarkan penulis pada analisis bahwa salah satu dari sifat kenabian yang digaungkan pakar filsuf dulu adalah kejujuran. Proses interaksi sesama manusia (hablum minannas) sangat memerlukan kejujuran. Ini pula yang menjadi sifat wajib bagi Rasulullah  yaitu Siddiq.

Amru Khalid juga dalam setiap ceramahnya mengulas dengan apik bagaimana hakikat kejujuran, ada satu masa kejujuran harus diletakkan pada tempatnya sebagaimana yang pernah diakukan nabi Ibrahim. Sangat naïf jika  apa yang terjadi tempat kita justru kejujuran dibuang bukan pula pada tempatnya. (Amru Khalid; 2007)

Respon respon teradap kejujuran ini pernah diwujudkan juga dalam bentuk puisi (syiir) ataupun lewat film. Kejujuran dalam bahasa Arab yang disebut dengan Siddiq terkait erat dengan kata shadaqah. Sebuah pemberian yang hakikatnya adalah bentuk kejujuran jiwa dari seorang manusia. Bulan Ramadhan merupakan momentum untuk mendidik kembali sifat kejujuran dimaksud. Bahwa puasa kita hanya kita persembahkan kepada Allah. Menghayati kembali makna kalimat dalam doa iftitah, shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillah,

Ramadan harus bisa memompa pribadi para orang tua untuk menjadi teladan bagi anak-anaknya. Memahami benar bahwa kehidupan mulia hanyaakan terbentuk lewat kejujuran. Rasulullah telah mencontoh hal ini dalam setiap dimensi kehidupan. Kejujuran telah mampu mengubah tatanan masyarakat yang berperadaban jahiliah dalam waktu yang sangat singkat. Sahabat beliau Abubakar bahkan digelari secara khusus dengan Siddiq karena praktek kejujuran yang sempurna.

Cerita Abdullah bin Mas’ud layak mejadi iktibar bagi kita semua, bagaimana para sahabat tak pernah main-main dengan kejujuran. Janganlah sampai kita menunggu alat tes kejujuran muncul di Aceh lalu secara berjamaah kita mengaungkan gerakan jujur berjamaah. Ramadan justru menjadi momentum super canggih yakni sebagai sekolah ruhani harus menjadi tumpuan untuk mendidik jujur.

Para sufi sudah melewati tahap kejujuran untuk selanjutnya berada pada puncak tertinggi kaum sufi, sehingga dalam bahasanya Rabi’ah Al Adawiyah,  predikat mahabbah kepada Allah adalah segala-galanya. Alquran sendiri menyitir tentang jujur yakni di surah Al-Ahzab 70-71, As-Shaff 2-3,  Al-Isra 53.  Melalui Ramadan, Islam benar-benar mendidik kejujuran, agak sifat ini bisa bertahan ketika muslim meninggalkan Ramadan.

Melalui momentum Ramadan ini, kita gali kembali sifat-sifat kejujuran, lalu kita tanamkan pada orang-orang terdekat disekeliling, terutama kepada generasi muda. Dimana pendidikan kejujuran sendiri sudah mengalami titik nadir. Anak-anak tak malu lagi mencuri uang orang tuanya, ketika ditanya ia akan berbohong. Perilaku berbohong kepada orang tua selanjutnya akan berkembang kearah yang lebih ekstrim ketika dia sudah dewasa.

Psikilog mengistilahkan ketidakjujuran ini sebagai luka psikologis dimana lingkungan juga berpengaruh dalam membetuk hal tersebut. Bagaimana dalam Ramadan ini pula lingkungan yang religius bisa mendorong kepada laku jujur.

Istilah man Arafa Nafsah Arafa Rabbah harus dipahami benar. Mengetahui benar siapa diri kita akan mengantarkan manusia pada tingkah laku  luhur yang dimulai dengan sifat jujur, yakni jujur kepada diri sendiri. Lalu sifat jujur ini dialirkan kepada sesama manusia; kepada orang tua, keluarga, guru dan lintas masyarakat. Bahwa kita adalah bagian kecil dari tantatan masyarakat dunia yang ingin menebarkan kejujuran.

Ramadan harus bisa mendidik para pedagang ketika sore harinya untuk menerapkan kejujuran. Ramadan harus bisa dimanfaatkan para insan ilmu untuk jujur dalam hal intelektual. Berani mengatakan aku tidak tahu jika memang tidak tahu. Sehingga tidak memberikan jawaban-jawaban yang membingungkan masyarakat dalam hal keagamaan. Hal ini sebagaimana tradisi para ulama muktabar yang tak sungkan-sungkan menyebut aku tidak tahu.

Jauh sebelumnya, Plato, Aristoteles dan para filsuf Yunani telah mengakui bahwa kejujuran menjadi sebuah laku utama dalam mengikatkan sebuah peradaban, kejujuran adalah simbol kemajuan. Sikab tidak jujur justru akan menenggelamkan diri manusia pada lembah kehinaan atau durhaka sebagaimana Hadis Rasulullah.

Akhirnya Madrasah Ramadhan harus dimanfaatkan untuk melatih kejujuran, sebagaimana yang pernah dilakukan Rasulullah kepada para sahabat. Sebagai seorang psikolog besar, Rasulullah memahami betul akan karakter sahabat-sahabatnya, dan menariknya kejujuran bisa diselipkan dalam diri sahabat yang memiliki varian karakter tersebut. Aceh yang digaungkan sebagai bangsa teuleubeh semoga lebih mampu untuk menanamkan sifat kejujuran bagi generasinya, Semoga!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *