By; Zarifah Amalia (XI MIA 7)
“Lebih baik di sini …
Rumah kita sendiri …”
Itulah sepenggal lirik senandung dari grup band lama “God Bless” yang terngiang di kepalaku tatkala aku rindu rumah. Benar apa yang dinyanyikan mereka. Kita memang akan merasa lebih baik dan lebih nyaman ketika berada di rumah sendiri ketimbang di rumah orang lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘rumah’ berarti bangunan untuk tempat tinggal atau tempat kediaman. Namun, rumah bukan hanya sebuah bangunan untuk kita tinggal, ia sebuah tempat kecil di dunia dimana kita merasa nyaman, aman, tentram, dihargai, dan disayangi. Saat dunia luar yang kejam menjatuhkan kita, meremehkan kita, menginjak martabat kita, disaat kita merasa tidak berdaya menghadapi dunia besar dan fana ini. Maka, rumah adalah tempat kembali yang paling baik. Sejelek apapun rumah itu, baik itu hanya berupa gubuk kecil, rumah kontrakan yang atapnya bocor, atau perumahan kumuh. Tapi, itulah tempat kembali yang dirindukan orang-orang yang mendiaminya. Dapat dikatakan bahwa rumah itu sendiri lebih baik ketimbang rumah orang lain, walaupun lebih mewah atau besar, tetap saja rumah sendiri memberikan kenyamanan dan kehangatan tiada tara.
Mungkin, itulah alasan yang membuat orang-orang ketika mendengar kata “merantau” langsung membayangkan tempat jauh yang menyulitkan dan penuh tantangan. Apa yang membuat orang-orang mendengar kata “rantau” menjadi takut dan resah? Atau, karena jauh dari tempat ternyaman dan teraman? Ataukah, karena tidak tega meninggalkan orang yang paling dicintai? Ada banyak alasan orang-orang takut merantau, tapi ada satu alasan yang pasti, yaitu takut kehilangan rasa nyaman, atau lebih dikenal dengan zona nyaman.
Zona nyaman adalah zona dimana kita sudah sangat terbiasa dan senang melakukan aktifitas yang selama ini kita jalankan. Zona nyaman adalah zona dimana kita berada di antara orang-orang yang saling kenal mengenal. Bisa dikatakan, zona nyaman adalah zona dimana kita tidak mengenal tantangan dan rintangan. Hidup sebagaimana yang kita jalani biasanya tidak ada perubahan, tidak ada kemajuan, nyaman dan tentram. Sementara itu, sebagaimana dikatakan oleh Marry Riana, motivator wanita nomor 1 di Indonesia, “Jika kita menginginkan keksuksesan, keluarlah dari zona nyaman”.
Yap, benar, maksud yang lebih harfiah lagi adalah “merantaulah”. Dengan merantau kita akan bertemu dengan yang namanya rintangan dan tantangan, yang kan membentuk karakter menjadi kuat dan berani, bias mengatur diri dan pintar dalam manajemen waktu. Karena sudah pasti, yang namanya rintangan akan menempa kita, memaksa untuk mandiri, mau tidak mau, kita akan berubah, berbanding terbalik dengan dengan orang yang tetap berada di zona nyamannya. Mereka tidak akan mandiri, tidak punya banyak pengalaman, tidak ulet dalam mengatur waktunya sendiri. Maka siapa yang menginginkan kesuksesan, dia harus merantau, keluar dari zona nyamannya.
Cobalah sejenak bernostalgia dengan kisah orang-orang yang sudah terdahulu sukses. Misalnya, Imam Bukhari, ia lahir di Uzbekistan, pergi ke sana – ke mari menuntut ilmu dan mengumpulkan hadist nabi hingga 7.653 hadist, yang dibukukan dalam kitab Shahih Bukhari. Sekarang kitab tersebut menjadi referensi kitab hadist yang sangat terkenal dan terpercaya. Imam bukhari sendiri menjadi imam penshahih hadist yang juga demikian. Kesuksesan Imam Bukhari tersebut tidak hanya didapat dengan cara berdiam diri di tempat kelahirannya. Akan tetapi ia pergi menuntut ilmu kepada ulama-ulama terkenal dan mengumpulkkan hadist sampai ke sanad-sanadnya sehingga menjadilah hadist yang shahih.
Contoh lainnya bisa kita jumpai dari penulis novel terkenal “Negeri 5 Menara”, A. Fuadi. Jika dahulu ia tidak mendengarkan ayahnya untuk mondok di Pondok Madani Gontor di Jawa, mungkin novel Negeri 5 Menara tidak akan pernah ada hari ini. A. Fuadi sudah berani keluar dari zona nyamannya, meninggalkan Padang kampung halamannya, berhijrah ke Jawa untuk menuntut ilmu. Coba seandainya waktu itu ia tetap melanjutkan sekolah di kampungnya, mungkin saja pergi ke Kanada dan Amerika hanyalah mimpi di siang bolong. Karena keberaniannya lah ia menghadapi tantangan di tanah rantau. Pergi ke luar negeri bukan lagi sebuah ekspektasi.
Marry Juana, walaupun ia seorang perempuan yang berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Tetapi, dengan keberanian dan tekat yang kuat, ia pergi ke Singapure hanya berbekal do’a dari orang tuanya. Lihatlah sekarang, ia termasuk orang terkaya di Singapure, sekaligus motivator dan wanita yang berkompeten di Indonesia. Semua karena apa? Itulah karena keberanian untuk pergi meninggalkan kenyamanan demi mencapai kehidupan dan kenyamanan yang lebih baik di masa mendatang.
Itulah beberapa tokoh terkenal yang berhasil mencapai kesuksesannya dengan merantau. Bukan hanya itu bukti keberhasilan sebab merantau, aku juga akan menceritakan pengalamanku menuntut ilmu jauh dari rumah dan keluarga.
Umurku 16 tahun, kota kelahiranku Lhokseumawe, Aceh. Sekarang aku duduk di kelas XI Madrasah Aliyah di Dayah Jeumala Amal, Lueng Putu. Sebelumnya, ketika duduk di tingkat Stanawiyah, aku mengenyam pendidikan di Dayah Modern Yapena, Lhokseumawe. Untuk sekolah dasar juga masih di kawasan yang sama, SD Negeri Arun. Waktu itu, tak ada keraguan dan ketakutan sama sekali ketika ibuku berkata aku harus melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di Pesantren. Karena, Pesantren Modern Yapena itu sendiri berjarak hanya beberapa meter dari SDN Arun. Aku tidak lagi merasa takut mendengar nama pesantren tersebut, karena setiap kali aku pergi ke sekolah, pasti melewati gerbang Pesantren terdebut. Lagi pula, rumahku dengan Pesantren hanya berkisar 7 menit saja menggunkan kendaraan pribadi. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Akhirnya genaplah sudah aku menuntut ilmu disana selama 3 tahun.
Selama tinggal disana, aku memang menjadi sedikit lebih mandiri, itu menurut versiku. Karena aku dijenguk orang tua 2 kali dalam seminggu. Baju kotor semua dicuci di rumah, bahkan setiap jum’at kadang aku pulang ke rumah dengan dalih refresing. Waktu terus berjalan, kelas 3 Tsanawiyah semester genap, aku mulai ragu antara melanjutkan di sana atau pindah ke pesantren lainnya. Ibuku menyarankan agar aku pindah ke Dayah Jeumala Amal, karena dulu ibuku juga pernah bersekolah disana. Aku merasa sedikit ragu dan takut, karena Lueng Putu berjarak 3 jam dari rumahku. Namun, aku percaya bahwa Redha Allah ada pada Redha orang tua, jika orang tuaku menginginkann aku bersekolah di Jeumala, maka itulah tempat yang paling baik untukku menuntut ilmu.
Lalu, aku berhijrah dari Lhokseumawe ke Pidie Jaya. Awalnya segala kekhawatiran menghampiriku, mulai dari harus mencuci baju sendiri, menggosok sendiri, sehingga jarang dijenguk orang tua karena terlalu jauh. Semuanya berubah, susana berubah, tempat berubah, teman juga berganti. Awalnya aku pikir aku tidak cocok disini, aku tidak terlalu pintar mengatur waktu, sementara di Jeumala Amal jadwalnya lebih ketat dibanding pesantrenku dulu. Aku jadi bingung kapan harus mencuci, kapan harus menyetrika, kapan harus belajar, kapan harus muraja’ah hafalan, dan kapan harus melakukan hal yang lainnya. Aku ingin pindah, aku minta pidah sekolah sama ibuku, aku tidak betah harus berada terlalu jauh dengan orang tua, aku tidak betah harus mencuci pakaian sendiri.
Ibuku terus memberi aku support agar aku bisa bertahan. Ia menyemangatiku dengan iming-iming “jika aku berhasil bisa betah di Jeumala, maka aku akan berhasil pula kuliah di luar negeri nantinya”. Saat itu, bahkan higga sekarang, kuliah di luar negeri menjadi salah satu impianku. Sebab itu, aku meyakinkan diriku agar bisa betah mondok di Jeumala seperti yang dikatakan ibu.
Aku jadi teringat kata yang aku baca di seuah buku dua tahun yang lalu tatkala di Damora, “Semakin padat jadwal keseharianmu, semakin pintar pula kau dalam mengatur waktu”. Terbukti sudah kata-kata itu sekarang. Saat ini, aku merasa lebih merasa betah tinggal disini. Aku yakin inilah hikmah dari merantau. Aku jadi lebiih mandiri, sduah bisa mencuci baju sendiri, menyetrika sendiri, punya banyak teman baru dengan latar belakang dan tempat yang berbeda, sehingga membuatku semakin banyak mengetahui cerita-cerita dan pengalaman-pengalaman baru.
Sekarang, aku merenung, jika tujuanku merantau dulu hanya untuk menuntut ilmu, di Pesantren pertamaku aku bisa mendapatkannya lebih banyak. Namun, yang lebih spesial ada pada pengalaman baru. Ya, bukan hanya ilmu yang kita cari, tapi juga pengalaman. Karena pengalaman adalah guru yang paling berharga. Jika dulu aku memutuskan untuk tidak pindah, mungkinn aku masih manja seperti dahulu. Mungkin aku hanya akan bertemu dengan orang dan kawan yang sama setiap saatnya, tanpa ilmu atau cerita baru, atau mungkin aku tidak akan bisa mengatur waktu dengan jadwal yang begitu padat, atau bahkan tak akan ada perubahan yang berarti dalam diriku. Aku mendapatkankan banyak hal setelah aku berhijrah, aku jadi tau lebih banyak hal, beragam latar belakang kawan, beragam kebiasaan dari daerah berbeda, aku juga jadi sering ikut lomba dan jadi lebih percaya diri. Hal-hal seperti itu muncul karen aku berani menghadapi tantangan. Begitu juga dengan kita semua, semakin besar tantangan yang harus kita hadapi, semakin hebat pula kita nantinya.
Maka dari itu, merantaulah! Jangan takut dengan tantangan, jangan takut keluar dari zona nyaman, jangan takut untuk beradaptasi, jangan jadi kodok di bawah tempurung. Sebab, itu yang akan membuat kita hebat dan berprestasi. Karena pengalaman adalah guru terbaik.
sekian.