Sebuah Esai Refleksi oleh Thasoedi (Guru MTs)
Pernahkah kamu mengalami momen di mana kamu berkata terlalu keras — dan baru sadar setelah semua orang diam menatapmu?
Seorang guru menasehati murid-murid yang berbuat salah. Suaranya meninggi, nadanya tegas, sampai udara di ruang kelas terasa menegang. Lalu, tiba-tiba, setelah satu kalimat terakhir keluar dengan nada menggelegar… semua hening.
Dan guru itu — entah bagaimana — merasa “sadar”. Seperti baru bangun dari mimpi, mendengar detak jam di dinding, dan melihat murid-muridnya mematung. Saat itulah rasa awkward menyelinap perlahan. Tidak ada yang tahu harus berkata apa.
Itu bukan marah. Itu momen kikuk yang sering datang setelah kita terlalu mengekspresikan sesuatu — entah emosi, niat baik, atau humor yang meleset. Momen di mana kita ingin menekan tombol “undo”, tapi dunia tidak punya fitur itu. Rasa canggung adalah jeda. Sebuah ruang sunyi antara apa yang kita maksud dengan apa yang dunia tangkap. Kita ingin terlihat bijak, tapi malah terdengar galak. Ingin memuji, tapi terdengar seperti sindiran. Ingin akrab, tapi salah panggil nama.
Awkward adalah semacam delay emosional: jaringan sinyal sosial kita tersendat, tapi kata-kata sudah terkirim. Itu seperti saat kita mengetik pesan “Terima kasih ya, sayang” — padahal maksudnya untuk keluarga — tapi terkirim ke grup kerja. Seketika seluruh sistem kepribadian membeku. Namun, justru dalam jeda itu, manusia diuji: apakah kita panik, pura-pura tak terjadi apa-apa, atau belajar menertawakan diri sendiri?
Kalau dipikir-pikir, awkward sebenarnya adalah cermin sosial paling jujur. Ia menampakkan sisi-sisi yang tidak pernah sempat kita kontrol. Sisi gugup, kikuk, bingung, atau bahkan terlalu bersemangat. Coba ingat, berapa kali kita merasa kikuk setelah berbicara jujur? Setelah berani mengatakan sesuatu yang selama ini dipendam? Canggung bukan berarti kita gagal. Justru sebaliknya: itu tanda bahwa kita berani hadir dengan perasaan asli.
Rasa canggung adalah bayangan yang hanya muncul kalau kita berdiri di bawah cahaya kejujuran.
Di lingkungan seperti dayah — di mana tutur kata dijaga, sopan santun dihormati — momen awkward kadang terasa dua kali lipat lebih “menyentuh”. Tapi mungkin itu justru latihan terbaik untuk keikhlasan: belajar menerima bahwa menjadi manusia tak selalu rapi.
Nah, bagian ini penting. Bagaimana caranya keluar dari momen kikuk tanpa kehilangan harga diri — dan tanpa harus berpura-pura?
Berikut beberapa trik yang aneh tapi ampuh
Misalnya, kalau kamu tiba-tiba menyadari sudah bicara terlalu keras di kelas dan suasana jadi tegang, jangan buru-buru menutupinya dengan humor yang dipaksakan. Tarik napas, tenangkan diri, lalu akui saja dengan nada ringan, “Wah, sepertinya suara bapak barusan agak berlebihan, ya.” Kalimat sederhana seperti itu seringkali membuat ruangan mencair, karena kejujuran adalah penetral paling ampuh bagi ketegangan.
Lain halnya kalau kamu membuat lelucon dan tidak ada yang tertawa. Jangan panik. Jangan pula mencoba menambahkan lelucon lain untuk menutupi yang pertama—itu seperti menggali lubang lebih dalam. Cukup tertawa pelan dan bilang, “Sepertinya waktunya kurang pas, ya.” Dengan begitu, kamu mengubah rasa malu menjadi bentuk kedewasaan sosial. Orang-orang justru akan menghargai cara kamu menertawakan diri sendiri.
Kalau kamu tidak sengaja menyapa orang yang ternyata bukan kenalanmu, jangan langsung pura-pura main HP atau lari kecil seperti dikejar rasa bersalah. Senyum saja dan katakan, “Oh, saya kira kamu teman saya. Tapi ternyata wajahmu bersahabat sekali.” Selesai. Awkward bisa berubah jadi momen ringan, bahkan membuka obrolan baru.
Lalu, untuk momen awkward yang muncul di antara guru dan murid—misalnya setelah nasihat yang terlalu keras atau suasana kelas yang mendadak senyap—jangan langsung memaksa diri melanjutkan pelajaran seolah tak terjadi apa-apa. Kadang, cukup dengan kalimat sederhana seperti, “Oke, kita semua tarik napas dulu ya. Termasuk bapak.” Semua orang akan tersenyum kecil, dan suasana pun perlahan cair.
Sebenarnya, kunci dari semua itu bukanlah menghapus awkward, tapi berdamai dengannya. Rasa canggung adalah bagian dari komunikasi yang hidup, seperti nada fals dalam lagu—kadang mengganggu, tapi justru membuat nada berikutnya terasa lebih benar. Manusia yang tidak pernah canggung mungkin justru kehilangan sisi spontan dan hangatnya.
Kalau mau lebih nyeleneh lagi, ada satu trik sederhana untuk menaklukkan rasa awkward: beri jeda dan ambil alih ritme. Misalnya, setelah suasana kikuk, alihkan fokus dengan sesuatu yang ringan—menulis di papan tulis, menyeduh air minum, atau menanyakan hal sepele seperti “tadi sudah sarapan belum?”. Gerakan kecil seperti itu menandakan bahwa kamu tidak tenggelam dalam rasa canggung, tapi sedang menyesuaikan nada suasana.
Kita juga bisa melihat rasa awkward sebagai latihan empati. Karena setiap kali kita merasa kikuk, kita belajar memahami bahwa orang lain pun bisa salah bicara, salah waktu, atau salah langkah. Dan saat kita mampu tertawa bersama atas hal-hal kecil itu, dunia terasa lebih ramah. Tak ada manusia yang benar-benar mahir dalam menghadapi momen canggung, tapi justru di situlah keindahannya: kita saling belajar dari keheningan yang sama.
Jadi, kalau lain kali kamu terjebak dalam momen yang membeku—entah di kelas, di rapat, di forum, atau di tengah percakapan santai—ingatlah bahwa awkward bukanlah musuh. Ia hanya jeda kecil yang memberi kita kesempatan untuk mengatur ulang diri, menata nada, dan kembali menjadi manusia yang lebih sadar. Kadang, setelah tawa yang kaku dan senyum yang salah arah, kita justru menemukan kehangatan baru yang lebih jujur.
Dan mungkin, pada akhirnya, rasa canggung hanyalah cara lembut semesta untuk berkata: “Hei, santai saja. Kamu tidak harus selalu sempurna untuk bisa diterima.”
